Jadayat : Tuhan Puak

97

TUHAN PUAK

Membangun citra dan identitas komunal, selari dengan kehendak mengepung Tuhan. Bahwa Tuhan adalah milik kita sendiri. Sesuatu yang terangkai dengan keperkasaan Tuhan, tugas ke-Tuhanan, seolah menjadi tugas kita pula. Maka sejarah panjang manusia membangun puak, perkauman, tak bisa dilepaskan dari citra bagaimana kita, kami dan kamu begitu ‘dekat dan mampu memeluk Allah’. Dan setiap kaum membangun ‘kebahagiaan’ bersama Tuhan. Dan setelah Aku menciptakan manusia, maka manusialah yang ‘menciptakan’ Aku”, ujar Tuhan. Setiap kaum dan puak mencipta Tuhan eksklusif dan menjahit kebenarannya masing-masing. Di luar badan dan ruang itu, mereka anggap gelap atau kafir.

Dunia dan sejarahnya berlangsung dalam dialog dan dialektika kafir-mengkafir. Sejak Adam dan Hawa, makhluk manusia sudah ditugaskan hidup dan beranak-pinak dan berpuak-puak di atas bumi. Sebuah perintah, bukan pilihan. Jika boleh memilih ketika itu, bisa saja planet Mars menjadi pilihan Adam? Tapi, tersebab itu sebuah perintah dan wajib; apakah tersebab bagian dari sanksi pembuangan dari Eden? Adam menunaikan kisah tugas dan kewajiban itu. Dan manusia pun bisa beranak pinak di atas bumi yang kemudian diklaim sebagai ‘wakil’ dari dunia yang maha luas itu. Selain lahir, membesar, membuat karier, bergaul antar sesama di atas muka bumi ini, dan manusia pun mengenal sudah yang disebut sebagai kematian. Dan demi membesarkan peristiwa kehilangan itu, manusia menyebutnya sebagai peristiwa ‘meninggal dunia’, bukan ‘meninggal bumi’. Sebab, bumi sudah dicitrakan sebagai wakil atau outletnya dunia. Bahkan kematian anak-anak Adam sesungguhnya adalah kembali ke bumi, bahkan masuk ke dalam bumi. Menjelang dibangkitkan dalam alam yang lain, maka sejarah kematian dan kehidupan selanjutnya adalah peristiwa persalinan yang tiada usai. Anak-anak Adam terkepung oleh serangkaian ‘persalinan demi persalinan’.

Sepanjang narasi persalinan di belakang hari dan di depan hari itulah, semua puak di atas bumi yang berasal dari satu tunas itu, membangun dan menjahit kebenaran mereka masing-masing sejalan dengan interaksi ruang dan waktu yang berkelebat di depan mereka. Dan mereka yang bersemayam di pucuk gunung, terpelanting di celah samudera, menjadi serangkaian makhluk ‘pariah’ yang meminta-minta kepada Tuhan; ingin menjadi demikian dekat kepada sang Dewata, kepada Alllah, kepada Khalik dan seterusnya dengan cuap dan singgit masing-masing sejalan dengan ‘kepungan’ pengetahuan yang terbatas mengenai kisah pencarian dan pembukaan hijab.

Kebenaran, ialah sejarah mengenai jahitan sepihak tentang batas dan pintunya. Pintu itu ditutup secara sepihak. Pintu bumi yang menjadi outlet [pelantar] dunia itu, amatlah jamak atau banyak. Dia mengalami penghakiman sepihak, melalui klaim sepihak demi menggagahkan puaknya di depan sejarah.  Dan ini telah berlangsung jutaan tahun. Persalinan peradaban manusia dalam modus gelombang peradaban, ialah sejarah memberi batas dan menutup pintu dengan cara sepihak. Tak sedikit pula klaim sepihak mengenai tanah dan asal usul sebuah puak, hanyalah klaim verbal; tak diikuti dengan perbuatan kebudayaan yang kaya ranggi atau besar tinggi memucuk. Setelah kita klaim secara sepihak, seolah memperoleh restu buana, restu Tuhan dan kita pun menuntut anu dan segala perkakas yang disesuaikan dengan klaim si fulan.

Riau mengklaim jadi pusat kebudayaan Melayu secara sepihak, yang dirangkai dengan sederet perbuatan kebudayaan yang tergolong kecil dan minor. Dan kita pun membangun tembok pembatas, sekaligus menutup pintu secara sepihak. Hasilnya, deraian perilaku kebudayaan yang menyembul dari puncak perilaku ini tak lebih dari festival rebana dan kompang yang dianggap mewakili puncak kebudayaan Melayu. Jika ini yang dimaksud Melayu dan puncak Melayu yang Islam itu, wahai terlalu murah dan ringkasnya harga tiket kita untuk menjadi penghuni surga? Jika begini surga yang kita persepsikan, dikasi gratis pun saya tak mau menjadi penghuni surga itu.

Jika rebana dianggap sebagai bagian dari perilaku dan perbuatan musikalitas, alangkah rendahnya kita mempersepsi keindahan bumi yang hanya terhasil dari pukulan perkusi dan membranofon, yang tak diungkai melalui kekuatan melodia, yang tak bertapak pada keperkasaan partitur. Alangkah murahnya kita mempersepsikan tiket untuk masuk surga. Hehehe. Nun di negeri nun, musik masuk dalam rumpun ilmu, bukan seni semata. Maka muncullah sekolah-sekolah musik, pembangunan konservatorium. Seni musik kita, hanya menjalani klaim sepihak; ketika dia bertabiat sopan, santun menurut ukuran kita disebut sebagai musik yang dekat dengan tabiat dan ‘alam’ islami. Padahal sejatinya, ialah gambaran ketidak-mampuan dan ketidak-becusan kita dalam menggarap seni musik yang unggul secara piawai. Dia menjadi gambaran eksklusivisme kaum-kaum kalah, yang hanya menang secara sepihak dengan benteng batas dan pintu yang ditutup secara sepihak pula.

Seakan Tuhan (hanya) mengikhlaskan musik hanya sekedar rebana semata, adalah juga  hasil  konstruksi sepihak. Kalau ini yang dipersepsikan sebagai bagian dan pusat kebudayaan Melayu itu, tentulah terlalu kecil persepsi pusat tadi. Kita tak merindukan lagu-lagu Melayu klasik dan kontemporer bisa dibaca notasinya melalui bentangan partitur; bisa dibawa dan dimainkan secara instrumentalia oleh makhluk-makhluk di tanah-tanah nun. Orang-orang pengusung kebudayaan Jawa dan Bali telah melakukan pengalihan karya dalam bentuk partitur musik, sehingga dengan ringan orang-orang Barat, Asia Timur menembang dan memainkan (resital) lagu-lagu klasik Jawa dan Bali. Upaya kuratorial inilah yang tak pernah dimuliakan di tanah ini. Kita hanya setakat memfestivalkan karya puncak antar kampung dalam kandang kebudayaan yang rendah ini, kemudian diikuti dengan klaim sepihak, bahwa kita adalah pusar dan as-nya (axe) dunia Melayu. Beberapa tahun silam, saya diminta untuk melerai dan menjadi pelegitimasi mengenai sebuah suak tanah yang mengklaim sebagai ‘bunda tanah Melayu’. Hai entah sampai bila perilaku klaim sepihak ini mengalami usai dan sudah…. Kita membangun eksklusivisme murahan?

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan