Cerpen Muhammad Rizal Ical: Gurauan Berkasih

58
Tulisan Terkait

Rempang: Husnu Abadi

Loading

GURAUAN BERKASIH

Guruh bersambung kilat menyambar diserta gerimis mengundang. Sesekali petir menggelegar. Sekilas cahaya menerangi arah haluan. Dalam gelap malam yang pekat, pelabuhan Bengkalis mulai tampak.  Suara nakhoda begitu lantang memerintahkan kepada ABK[1] untuk bersiap-siap melemparkan sauh. Dengan sigap tangan-tangan kokoh dan terlatih melaksanakan tugas. Pukul sebelas malam kapal besar yang berasal dari Makasar sudah mengapung di Selat Bengkalis. Menunggu pagi tiba barulah mereka akan bersandar di pelabuhan. Sejuk cuaca menggoda mata untuk bersembunyi di sebalik selimut. Mendengkur pulas dalam istirahat puas.

Daeng Marwan tertunduk diam. Lelaki Bugis berusia 25 tahun itu nampak tersenyum. Sebelum menuju kabin, dia berdo’a sebagai bentuk ungkapan syukur karena pelayaran ini berakhir selamat. Tidak ada halangan yang berarti, tiba sesuai jadwal yang telah dirancang. Hatinya berbunga-bunga, Dia sudah memutuskan untuk tinggal di Bengkalis. Sebaris senyum tampannya memandang sebuah foto. Foto seorang gadis berbaju Melayu. Cantik sekali memakai selendang berwarna kuning gading. Tak sabar menunggu mentari bersinar. Siang yang akan mempertemukan dirinya dengan Normah, sesuai janji yang tertulis di belakang foto itu.

Pergilah berlayar, daeng! Kemana pun negeri yang kau kehendaki. Hanya saja ingatlah satu hal bahwa aku akan setia menunggu di pulau ini” tulisan itulah yang membuat semangatnya menderap kuat. Sebagai lelaki Bugis yang berpegang kepada janji, tekad sudah membulat untuk meminang Normah menjadi sandaran cinta sehidup semati. Sebelum matanya terlelap sekali lagi dia memandangi foto, dalam hatinya berbisik, “Senge’ka rimula wenni Kubali sen’tokko Rigiling tinroku,”[2] dalam bahasa Bugis. Daeng Marwantersenyum dan kemudian mematikan lampu.

Pagi mulai meninggi. Pelabuhan Bengkalis mulai terlihat ramai. Puluhan kapal bersandar. Hilir mudik orang mulai berlalu lalang. Sejak menjadi ibukota Residen Pantai Timur, tampak pelabuhan Bengkalis sibuk dengan beragam giat. Dalam catatan Gubernur Jendral VOC  Balthasar Bort tahun 1655-1677, menuliskan bahwa Bengkalis adalah pelabuhan dagang yang banyak disinggahi para pedagang antara bangsa dan menjadi tempat bertemunya pedagang Jawa, Palembang, Indragiri, Aceh, Makasar, Kedah, Johor, Pahang, Petani, Kamboja, dan Cina.

Daeng Marwan melangkahkan kaki menuju kedai kopi yang tak jauh dari pelabuhan. Kedatangnnya disambut dengan ramah oleh nyonya pemilik kedai. Wanita bermata sipit itu mengernyitkan dahi seakan hendak menebak siapakah lelaki tampan berbadan tegap itu?

“Masih ingatkah dengan saya, nyonya?” tanya Daeng Marwan.

lu[3] Daeng Marwan?” dia bertanya dengan logat Cina yang kental.

“Betul sekali, nyonya? Saya Daeng Marwan,” sambil meneguk seteguk kopi dan mengunyah perlahan sepotong roti kawin.

“Pukul berapa lu sampai?” Nyonya berusia 40 tahun itu duduk mendekat.

“Sekitar pukul sepuluh malam tadi,” jawaban sopan Daeng Marwan seuntai dengan senyuman tampannya. Kumis tipis dan jenggot tertata rapi menambah kesan jantan pada dirinya.

“Masih ingat dengan Normah?” hampir tersedak Daeng Marwan ketika nyonya menyebutkan nama itu. Bagaimana dia bisa lupa?. Normahlah alasan mengapa dia kembali menempuh jarak berbatu, menjejak kaki di negeri yang masyhur dengan pindang terubuk[4], Bengkalis.

Dia termenung sejenak. Di sini, pernah hadir cinta membara hangat menggelora sempat membuat perasaan sengsara menunggu jawaban dari gadis pelipur lara. Bersyukur jawaban Normah membawanya keluar dari penjara cinta yang membelenggu dalam ketidakpastian.

Setahun lalu, cinta berputik dua insan menjeling tertarik sama suka membangun rasa diulik tatapan mesra saling mengusik dalam surat-surat cinta mengusik igauan sepanjang malam.

“Assalamu’alaikum, Normah! Pertemuan kita tadi pagi telah mengubah hidupku. Aku mulai berpikir untuk segera berhenti dari bekerja sebagai seorang pelaut. Melihatmu seakan-akan aku berada di rumah cinta. Keinginanku untuk menikahimu begitu menggebu-gebu. Mungkin dirimu berpikir ini terlalu cepat tetapi bagiku inilah yang dinamakan gerak cinta dari sang pencipta. Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Perasaan ingin terus berada di sisimu. Semoga Allah menjauhkan aku dari bencana nafsu sesat. Normah! Apakah aku bertepuk sebelah tangan?”  

Bunga cinta tumbuh bersemi, mekar menambah pesona bumi. Daeng Marwan telah meminta kepada kedua orang tua Normah, untuk dijadikan istri. Semua sudah dirancang tinggal menunggu akad resmi kemudian dia akan bergelar suami.

Daeng Marwan merasakan bahagia datang memeluk sudah ada tempat merajuk, bergurau senda saling memujuk dan dapat pula meredam segala kecamuk. Terasa hidup semakin berarti beserta impian indah segera menanti, ungkapan terucap pasti dan berakhir kelak menunggu mati.

Sebentuk cincin tersarung cantik di jemari Normah, tanda pertunangan yang disaksikan ramai orang sebagai tanda matan[5]hendak mempersunting Normah.

Hari-hari terus bergulir bertukar bulan berganti tahun.  musim cinta bertahta dengan harapan bermukim dan berlanjut menuju hubungan intim. Hampir semusim sudah Daeng Marwan tinggal di pulau Bengkalis. Besok pagi dia akan berangkat menuju pulang. Malam hari dia menyempatkan untuk berkunjung ke rumah Normah. Sekadar pamit dan menyampaikan bahwa dia akan kembali lagi untuk menikahi Normah. Sebelum kembali ke pelabuhan, Normah menyelipkan sebuah surat kepada Daeng Marwan dan mengatakn untuk dibaca setibanya di kapal.

Daeng! Sungguh enggan berpisah denganmu. Hati ini terasa hampa. Pertunangan ini benar-benar membuatku sangat bahagia. Akhirnya, do’a di setiap sujudku terjawab sudah. Sejak dulu aku sangat ingin memiliki suami seorang yang berbeda negeri denganku, agar aku kelak bisa melihat negeri orang dan melihat dunia dari sisi yang berbeda. Segeralah datang, Daeng! Aku menunggumu di pulau ini. Setelah menikah nanti bawalah aku kemanapun engkau pergi.”

Lamunan Daeng Marwan terhenti karena nyonya berdehem kuat.

“Apa maksud nyonya bertanya demikian? Tentulah saya ingat dan kalau bukan karena janjiku kepada Normah takkan mungkin aku datang ke sini lagi.” Marwan bersungguh dengan ucapannya. Tetapi raut wajah nyonya seakan menyiratkan sesuatu yang berbeda. Daeng Marwan menangkap kesan itu.

“Normah sudah menikah, Daeng Marwan!” bagai mendengar petir di siang hari tatkala kalimat itu muncul dari mulut nyonya.

“Benarkah, nyonya? nyonya sedang tidak bergurau, bukan?” gemetar bibir Daeng Marwan bertanya. Pikirannya menjadi kacau. Mengapa begitu cepat Normah berpaling hati? Sudah tidak cintakah lagi kepada dirinya? Benar-benar berkecamuk pikiran Daeng Marwan.

***

Malam itu Normah meminta sepupunya untuk menemaninya menuju pelabuhan. Berpayung daung pisang di tengah hujan menderas. Normah berhenti di kedai Nyonya dan Fatma disuruhnya untuk bertanya kepada kepala syahbandar apakah kapal dari Makasar sudah tiba? Ketika mendengar kabar bahwa kapal sudah mengapung dan besok pagi akan bersandar, Normah sangat senang dan merencanakan sesuatu dengan nyonya. Dia tahu pasti besok pagi Daeng Marwan akan minum kopi terlebih dahulu di kedai nyonya. Norman merencanakan sesuatu untuk menguji keseriusan Daeng Marwan terhadap hubungan mereka.

“Aman itu, Normah. Kalau soal ini biar gua yang atur.” Nyonya setuju dengan rancangan Normah.

“Terima kasih nyonya. Kalau bukan karena marwah sebagai gadis Melayu, ingin sekali rasanya aku bertemu dengan Daeng Marwan malam ini”

“Hahaha, gua[6] paham tetapi simpan dan tanggung dulu rindumu hingga besok, setelah berjumpa luahkan isi hatimu” nyonya berkata pelan. Dia sudah menganggap Normah seperti anak sendiri. Dulu, Normah selalu menemani Nyonya tidur di rumahnya ketika suami nyonya berobat ke Siak.

****

“Rupanya  Normah hanya menganggapku sekadar persinggahan, nyonya. Dia berpikir simpul kataku cuma menyanyah[7], padahal  sungguh hati terlanjur bergairah. Dia telah memerangkapku dalam cinta semu dan sekarang harapanku benar-benar musnah”. Daeng Norman sangat sedih sekali. Terlihat dari raut wajahnya yang muram. “Manis ucapannya berjanji untuk menungguku, lembut menguntai tetapi sayang penuh kepalsuan. Aku sangat mengaguminya dan Normah membuat diriku  melambung terbang hingga kahyangan sekaligus menjatuhkanku dengan pukau khayalan. Nyonya! Tahukah nyonya bahwa jelingan mesra Normah membuatku lemah tiada kuasa. Aku percaya penuh, jika tak ingat Tuhan sungguh hampir aja terjerumus binasa. Untunglah aku cepat teringat bahaya dosa” Wajah Daeng Marwan tetap tertunduk. Dalam benak pikirnya punah sudah harapan untung bersanding dengan Normah.

“Sekarang, apa yang akan kaulakukan, Daeng?” Tanya nyonya bersuara datar.

“Tak ada lagi yang kuharapkan di sini, Nyonya. Setelah habis urusanku di Bengkalis, aku akan pergi dan tak akan kermbali lagi. Biarlah harapan hidup bersama Normah aku bawa hingga ke mati. Aku akan pergi membawa luka cinta yang perih menganga. Aku….” Suara Daeng Marwan tersekat ketika mendengar sebuah suara.

“Dan apakah Daeng rela aku menderita seumur hidup karena tak jadi menikah dengan lelaki pujaan hati?” suara lembut itu sangat akrab di telinga Daeng Marwan. Dia membalikkan badan. Wajah sendu dan cantik milik Normah tertunduk. Meski rindu menggebu kepada kekasih hati, Normah tetap harus menjaga supaya jangan sampai melanggar batas halal dan haram.

“Normah! Benarkah apa yang aku dengar dari nyonya? Benarkah dirimu sudah menikah? Dengan siapa?” pertanyaan bertubi-tubi itu tak lantas dijawab Normah. Suasana hening dikejutkan dengan suara nyonya yang tertawa terbahak. Daeng Marwan terheran-heran. berulang kali bolak balik dia memandang wajah Normah dan nyonya yang sama-sama tertawa. Kuluman senyum Normah memberi paham kepada Daeng Marwan bahwa dia telah dijadikan bahan kelakar.

Bengkalis, 04 Januari 2022


[1] Anak Buah Kapal

[2] Kenanglah aku ketika malam mulai gelap. Niscaya akan kukenang pula dirimu ketika aku terjaga dipertengahan malam.

[3] Lu=Kamu

[4] Sejenis ikan yang menjadi legenda di Bengkalis

[5] Serius

[6] Gua=saya

[7] Gurauan

  • Muhammad Rizal Ical, lahir di Desa Lukit-Kepulauan Meranti, 10 Juni 1980, Bekerja sebagai PNS di MAN 1 Plus Keterampilan Bengkalis dan Dosen Budaya Melayu di STAIN Bengkalis. Sudah setahun menulsi syair di Tiras Times. Penggemar sastra Melayu klasik ini tinggal di Jl Kelapapati Laut Bengkalis.

Untuk pemuatan karya sastra (Puisi, Cerpen, Pentigraf, Esai, Pantun, Kritik, Resensi, Peristiwa Budaya, dan tulisan sastra lainnya) silakan dikirim melalui surel:

redaksi.tirastimes@gmail.com

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan