Bengkalis, Aku Izin Pulang!: Cerpen Marzuli Ridwan Al-bantany

Kepada Hamidah selalu kuceritakan, bahwa Bengkalis adalah kampung kedua setelah tanah kelahiranku di Tanjung Pura, Langkat – Sumatera Utara. Kesamaan dan kemiripan adat istiadat Melayu yang ada di kampungku dan Bengkalis ini, membuat aku selalu betah tinggal di sini,- betah dalam menuntut ilmu di Politeknik Negeri Bengkalis, yang saban hari pula membaur dengan masyarakatnya yang baik dan ramah.

Aku menyadari, tidak mudah meninggalkan kota kecil ini begitu saja. Banyak cerita manis, pahit dan duka silih berganti menghampiriku. Lebih-lebih lagi masa selama empat tahun aku mengenyam pendidikan di kampus itu, sudah tentu menjadikanku bagian penting dari kehidupan masyarakatnya, hidup saling berdampingan, saling berinteraksi, menjalankan hak dan kewajiban sehari-hari.

Entah mengapa, langkah kakiku terasa begitu berat petang ini, seakan tak sanggup meninggalkan pulau yang syahdu ini. Inilah pulau dengan kota kecil yang selama ini menjagaku dengan ikhlas, menentramkan jiwaku yang gundah, menjadi pelipur lara dan obat kerinduanku akan ayah dan ibu di kampung halaman nun jauh di sana. Sungguh Bengkalis merupakan sebuah negeri yang aman dan damai, dengan keasrian dan kemolekannya tersendiri,- yang akan selamanya tetap kukenang dan kuingat.

Di beberapa kesempatan, kepada Hamidah sahabat baikku yang merupakan anak dara kelahiran pulau Bengkalis itu juga selalu kusampaikan, bahwa di mataku, pulau Bengkalis,- dimana di pulau ini berdiri dengan megah sebuah perguruan tinggi negeri tempatku menyelesaikan studi, menyimpan berbagai keindahan dan potensi alamnya yang selalu memikat. Bagiku, Bengkalis layak menjadi sebuah negeri yang maju, termasuk memiliki kemudahan transportasi penyeberangan Roro,- yang alangkah baiknya juga jika dibangun sebuah jembatan yang menghubungi antara daratan Sumatera dengan pulau Bengkalis, karena syarat-syarat untuk mewujudkannya tampaknya telah pun terpenuhi bagi mengatasi persoalan aktivitas penyeberangan Roro yang akhir-akhir ini mengalami masalah.

Soal berbagai potensi di Bengkalis yang dapat dikembangkan, sebut saja seperti potensi di bidang sektor pariwisata, pendidikan, bahkan seni dan budayanya, juga termasuk akan berbagai hasil alamnya yang melimpah, seperti aneka macam buah-buahan dan lain sebagainya. Andaikan berbagai potensi ini mampu dikemas dan dikembangkan secara baik, tentu pulau kecil yang indah dan asri ini akan tampil menjadi daerah yang jauh lebih maju, ramai dikunjungi para tamu dan wisatawan, yang sudah tentu pula akan mendongkrak pendapatan bagi daerah dan meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat dan penduduknya.

Rasanya tak berlebihan bila hal itu kukatakan demikian, karena pulau Bengkalis ini adalah pulau yang unik, pulau yang orang-orang menyebutnya sebagai pulau impian, pulau yang letaknya sangat strategis,- berada di bentangan Selat Malaka sebagai jalur perlintasan dan perdagangan dunia.

Dan benar saja, meski Bengkalis merupakan sebuah pulau kecil yang seakan terisolir, karena banyak hal di tengah kehidupan masyarakat yang perlu dibenahi secara arif dan bijaksana, namun pulau ini menyimpan berjuta cerita dan sejarahnya yang selalu menarik untuk dikenang dan didiskusikan, menjadi penggugah semangat dan motivasi untuk terus bangkit dan berkembang.

Tak kalah menariknya pula, meski hanya sebuah pulau yang terpisah dari daratan Sumatera, di pulau ini terletak pusat pemerintahan daerah, dan bahkan boleh dikatakan juga sebagai pusat pendidikan karena terdapat berbagai lembaga pendidikan di sini, mulai dari sekolah dasar, SLTP, SLTA dan bahkan terdapatnya lembaga-lembaga perguruan tinggi, seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Datuk Laksamana Bengkalis, Institut Syariah Negeri Junjungan (ISNJ) Bengkalis, dan Politeknik Negeri Bengkalis.

“Rina! Lihat itu! Kapal Roro yang akan menjemputmu sudah merapat. Bersiap-siaplah, sebentar lagi kita akan berangkat!”

Aku bagai tersadar dari lamunanku yang panjang tentang kota kecil ini. Kata-kata Hamidah separuh berteriak tepat di ujung daun telingaku sebelah kiri di pangkal petang di pelabuhan Roro Air Putih di Tanjung Pagar Air Putih ini benar-benar mengejutkanku. Aku mengusap-ngusap lembut dadaku. Jantungku seperti akan copot saja mendengar teriakan Hamidah itu.

“Kau itu, Hamidah… Bikin aku kaget saja!” kataku setengah mencubit pipinya.

Hamidah, gadis Melayu dengan setelan
gamis biru berkerudung coklat itu hanya tersenyum menatapku. Namun di balik senyumannya yang khas itu, sepertinya ia sedang menyimpan suatu kesedihan yang mendalam, sebab waktu berpisah denganku demikian dekat, demikian hampir.

Aku memahami perasaannya yang sedang bergelora. Perpisahan ini pun, sudah tentu baginya sesuatu yang sangat menyakitkan, sebab persahabatan aku dan dirinya telah terjalin begitu lama, sejak pertama kali duduk di semester pertama di kampus itu.

Aku sekali lagi memaklumi kesedihannya. Namun aku tak mungkin menghindari perpisahan ini, karena langkahku masih panjang, begitu pula dengannya. Dalam hatiku, ku hanya berkata, “Izinkan aku pulang, Hamidah! Kau adalah sahabat baikku. Semoga Allah senantiasa menjagamu.”

Sehabis Zhuhur tadi, aku dan Hamidah segera bergegas ke Pelabuhan Tanjung Pagar Air Putih. Dengan menggunakan sepeda motor ia mengantarku ke pelabuhan Roro. Bahkan ia juga memutuskan untuk ikut bersamaku menyeberangi Selat Bengkalis ke pelabuhan Roro Sungai Selari – Sungai Pakning, hanya sekadar untuk membantuku membawa sebuah ransel dan beberapa barang bawaanku yang lain.

Tapi yang kusadari dari semua itu, bukan semata-mata tawaran bantuan yang ia berikan kepadaku, melainkan sebuah moment kebersamaan antara aku dan dia yang ia kehendaki, karena pertemuan ini adalah kebersamaan kami yang terakhir kalinya, sebelum waktu berpisah betul-betul menjemput kami berdua.

Aku masih ingat, beberapa hari lalu bersama Hamidah, dan juga seribuan mahasiswa Politeknik Negeri Bengkalis telah diwisuda. Kami yang datang dari berbagai daerah di Indonesia ini merasa sangat beruntung karena dapat berkuliah di kampus itu. Selain merupakan salah satu lembaga perguruan tinggi vokasi berstatus negeri, tak jarang mahasiswa-mahasiswa yang berkuliah di sini merupakan mahasiswa-mahasiswa yang memperoleh berbagai bantuan beasiswa, baik itu beasiswa Bidik Misi, beasiswa prestasi dan lainnya.

Aku merasa bersyukur, akhirnya melalui proses yang panjang dan melelahkan, studiku di salah satu jurusan di Politeknik Negeri Bengkalis akhirnya tuntas. Aku resmi menyandang gelar sarjana terapan, meski kadang aku pun tak yakin bisa menyelesaikan kuliah karena ekonomi keluargaku yang biasa-biasa saja. Tapi bak kata pepatah Melayu mengatakan, di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Alhamdulillah, impian itu akhirnya menjadi kenyataan.

Di tengah kesibukan kendaraan roda dua dan empat yang antre untuk menyeberang di pelabuhan Roro Air Putih, dipadu pula oleh suara klakson kendaraan dan obrolan para penumpang, aku dan Hamidah bergegas menuju kapal Roro yang siap mengantarkan kami ke seberang. Kala itu, rasa sayup seperti menusuk-nusuk ke dalam hati sanubariku.

“Aku sebenarnya tak ingin berpisah juga, Hamidah! Tapi…” suaraku tercekat.

“Aku juga tidak, Rina! Tapi kita harus kuat. Kita sudah berjanji untuk mengejar impian kita masing-masing,” jawabnya dengan senyum yang seakan dipaksakan.

Aku terdiam.

Seketika kulihat Hamidah menahan airmata. Airmata itu kian menggumpal dan berlinangan. Aku pun begitu, tak sanggup menahan rasa haru yang menderu dan mengalir deras di dadaku. Aku dan Hamidah berpelukan, menangis di antara tatapan mata para penumpang yang memenuhi kapal Roro bernama KMP Swarna Putri ini.

“Aku akan merindukanmu, Hamidah! Kita sudah melalui banyak hal bersama-sama.”

Hamidah tersenyum lembut. “Aku juga akan merindukanmu. Tapi kita akan tetap berhubungan. Kita akan saling cerita tentang kehidupan kita.”

Aku mengangguk, mencoba menahan tangis. “Aku janji.”

Suara dari pengeras suara di kapal Roro mengumumkan bahwa kapal akan segera merapat dan bersandar. Para penumpang diminta agar bersiap-siap untuk turun serta memperhatikan segala barang bawaan agar tidak tertinggal di dalam kapal.

“Rina, jangan lupa kirim pesan kalau kamu sudah sampai, ya!” suara Hamidah terasa begitu bergetar.

“Siap, Hamidah. Setibanya di kampung, akan segera kukabarimu nanti,” jawabku seraya memeluk tubuh Hamidah dengan erat.

“Kita akan bertemu lagi, Rina! Aku yakin.”

Aku mengangguk, lalu melepaskan pelukannya “Aku harus pergi. Doakan aku ya!”

Di kapal Roro yang penuh cerita itu, Hamidah kutinggalkan. Ia akan kembali pulang ke pulau Bengkalis, pulau yang menyimpan sejuta kenangan. Dari kejauhan kulihat ia mengusap airmatanya yang mengalir deras di pipinya. Ya, airmata yang tampaknya lebih deras dari rintik hujan yang mulai berjatuhan dan membasahi dermaga pelabuhan Roro Sungai Selari petang ini.

“Aku akan menunggu kabar darimu, Rina!” pekiknya seakan tak peduli pada mesin kapal yang terus menderu dan segera kembali ke Bengkalis membawa penumpang dan kendaraan yang telah mengantre.

“Terima kasih Hamidah. Engkau dan Bengkalis akan selamanya kukenang. Perpisahan ini hanya sementara. Akan tiba masanya kita kembali berjumpa,” ucapku dalam hati seraya perlahan melambaikan tangan ke arahnya. Perlahan pula kulepas semua tatapannya.

“Selamat tinggal, Hamidah. Terima kasih untuk semuanya!”

Laut Selat Bengkalis petang itu benar-benar teduh, seakan turut melepas kepulanganku ke kampung halaman. Meski dalam rintik hujan yang perlahan mulai jatuh, pesannya seakan begitu sangat jelas. “Kapan-kapan kembalilah engkau Rina! Bila rasa rindumu itu benar-benar tak lagi tertahankan.”

Oh Bengkalis! Izinkan aku pulang, menapaki langkah, menyusuri jalan yang akan kuciptakan sendiri setelah ini. Setelah sebagian mimpi kuraih di sini,- di negeri yang sampai kapanpun juga akan selalu kuingati.*)

Bengkalis, jelang akhir Oktober 2025

Marzuli Ridwan Al-bantany, adalah sastrawan dan budayawan. Bermastautin di Bengkalis, Riau. Diantara nuku cerpen yang pernah diterbitkannya berjudul Burung-Burung yang Mengkapling Surga (FAM Publishing, 2018) dan Pada Senja yang Basah (Dotplus Publisher, 2021).

Comments (0)
Add Comment