Saya setuju tagar #kaburajadulu sebagai sebuah kritik, tapi saya menolaknya sebagai sebuah gerakan emosional.
Negeri kita memang sedang kacau. Pengangguran meningkat, lapangan kerja menyempit. Nilai tukar fluktuatif tanpa kepastian. Daya beli rendah, banyak usaha gulung tikar. Masa depan ekonomi suram.
Tanggung jawab besar tentu di pundak pemerintah. Rakyat butuh makan. Rakyat butuh hidup tenang. Rakyat butuh bayar cicilan, bayar pajak, bayar pendidikan anak. Rakyat berhak hidup layak.
Maka #KaburAjaDulu sebagai sebuah kritik terhadap pemerintah menurut saya sah-sah saja. Ketika di tanah air sendiri kehidupan tak terjamin, ketika banyak yang bunuh diri karena terlilit utang dan tak bisa makan, ketika banyak yang menjadi gelandangan dan terpaksa menengadahkan tangan, dan ternyata pemerintah masih sibuk buang-buang uang.
Kita dorong pemerintah untuk berbenah. Sembari juga turut melakukan perbaikan-perbaikan. Dimulai dari yang kecil tapi berdampak besar. Jualan kecil-kecilan untuk menopang hidup, berbagi dan membantu yang lain yang membutuhkan, membuka lapangan kerja, hingga turut menyumbang pendapatan negara.
Lahan subur negeri ini masih terbentang. Ide-ide kreatif masih bisa terus dikembangkan. Peluang penghasilan bukan hanya dengan jadi karyawan. Banyak affiliator yang sukses, content creator yang sukses. Amati, tiru, modifikasi. Tentu tak bisa instan, semua butuh proses dan kerja keras.
Di usia produktif, tenaga masih kuat, pikiran cemerlang. Dua modal itu cukup untuk menghasilkan uang. Namun pemuda tidak hanya dituntut itu. Ia dituntut bagaimana memperbaiki bangsanya. Jika kita menganggap hari ini rasa-rasanya seperti masih hidup di zaman penjajahan, maka mari kita lihat bagaimana para pemuda Indonesia patriotik berjuang untuk kemerdekaan.
Mereka tak meninggalkan Indonesia dan berpikir hidup nyaman damai di negeri orang. Mereka berjuang untuk negerinya dengan seluruh energi yang mereka miliki. Mereka mempertaruhkan hidup mereka untuk tanah air, meski harus berkali-kali masuk penjara, diburu, dikejar-kejar oleh tentara Belanda.
Tan Malaka memang lari ke berbagai negara. Tapi bukan untuk menikmati hidup enak. Ia diburu interpol. Melakukan penyamaran demi penyamaran. Menyusuri hutan dan ngarai. Tapi yang hidup dalam pikirannya hanya satu: Indonesia merdeka. Setelah 20 tahun mengembara, akhirnya ia menyaksikan “Republik Indonesia” itu berdiri. Persis seperti yang ditulisnya dalam buku “Naar De Republiek“. Tan Malaka bahagia, meski pada akhirnya ia harus mati di tangan bangsanya sendiri. Ia telah menemukan cinta sejatinya, darahnya yang tumpah di bumi pertiwi.
Jika kamu pemuda, hayatilah perjuangan Tan Malaka. Jangan terlalu banyak menye-menye. Jangan terlalu rapuh. Bekerja keraslah di negerimu. Karena jika tidak, orang asing yang akan berbondong-bondong datang ke negerimu. Mereka akan menguasai sumber daya alammu, menguasai ekonomi, lalu merampas tanahmu. Jangan takut hidup susah, atur gaya hidupmu, kurangi foya-foya dan perkaya dirimu dengan ilmu. Rakuslah pada ilmu, karena itulah yang akan menyelamatkan hidupmu dan juga bangsamu.
Teruslah menjadi baik, teruslah kritis, teruslah cintai negeri ini hingga kamu siap berkorban apapun untuknya.
Jangan kabur. Negeri ini membutuhkanmu.
Sidoarjo, 18 Februari 2025
Penulis buku “Menyalalah!“