Karakter Melayu: Membaca Persebatian Melayu yang Kokoh: Catatan Riki Utomi

Untuk ketiga kalinya saya mendapatkan kembali buku karangan sastrawan-budayawan Riau ini, Dr. Griven H Putera, M.Ag. Buku berjudul Karakter Melayu (Kumpulan Percikan Pemikiran) terbitan Meja Tamu (2025). Sebuah buku terbarunya yang menggugah dan sarat permenungan. Menggugah karena sebagai penulis yang piawai, Griven sangat lancar dalam menyuarakan suara isi hati dan pikirannya. Dia seperti tidak pernah kehabisan ide dalam menyuarakan pikirannya hingga segala bentuk perihal hidup ini dapat menjadi bahan tulisan yang bernas. Untuk itulah, hasil tulisannya ini mampu menggugah, memberikan daya bangkit bagi pembaca untuk merenungkan tentang segala hal yang tetap bermuara kepada akar Melayu. Selain itu, tulisan-tulisannya dalam buku ini juga sarat permenungan. Permenungan akan konteks bahwa kita sebagai insan dan hamba Allah SWT sudah semestinya senantiasa bercermin diri (baca: instrospeksi diri) dalam menjalani kehidupan ini. Permenungan yang jauh akan berujung kepada cerminan tentang hakikat: siapa sesungguhnya kita? Mengapa kita ada?

Buku tebal dengan beragam tema ini menyuarakan tentang perihal kehidupan; sosial, politik, sejarah, budaya, pendidikan, religius, ekonomi, psikologi, antropologi, linguistik, sastra, yang dikemas dengan ragam bahasa ringan yang mudah dipahami oleh pembaca umumnya. Keberagaman pembahasan itu tidak terlepas dari konteks kajian agamis, hingga pembaca dapat merenung tentang sesuatu secara religius. Juga, tentu saja, Griven mengarahkan kembali hal-hal itu dengan membawanya ke dalam ranah Melayu. Bahwa sebagai orang Melayu, kita tetap menyelaraskan segalanya kepada akar budaya ini sebagaimana dalam aforisme “adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah.”

Selain itu, Griven mencoba menawarkan tentang karakter itu sendiri kepada pembaca. Karakter? Kita pasti tidak asing dengan diksi itu. KBBI edisi VI menerangkan /karakter/ memliki arti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak. Dari diksi itu, tulisan-tulisan dalam buku ini ingin menyuarakan kepada pembaca untuk kembali kepada karakter yang sesungguhnya. Hendaklah kita—yang notabenenya—sebagai orang Melayu ini menjunjung tinggi karakter itu. Karakter Melayu yang sejak dulu sudah ada dan bersebati (bersatu padu; sangat mesra, sesuai) dengan tata pergaulan orang Malayu menjadikan pribadi yang utuh, bersinergi dengan agama Islam, pantang berbuat zalim, patuh pada pantang-larang, menjunjung adat-istiadat, dan selalu menjaga silaturahmi, serta santun berbahasa.

Mengapa haus bersebati? Karena orang Melayu adalah sejatinya orang Islam. Orang Melayu sangat memiliki karakter unggul dalam menjalankan kehidupan ini. Segala tindak-tanduknya adalah cerminan ajaran Islam yang bersumber dari kitab suci Al-Qur’an. Begitulah cerminan yang saya tangkap dari ragam-ulas dalam karangan Griven dalam buku terbarunya ini. Hal itu dapat kita telisik dari judul awal buku ini “Pelayan”. Bahwasanya pemimpin sebenarnya adalah “pelayan”. Pelayan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Orang yang dijadikan pemimpin haruslah cerdas dan memiliki jiwa (karaker) yang kuat. Artinya, dia dapat dipercaya bagi orang-orang yang akan akan dipimpinnya. Untuk itulah dia (pemimpin) mampu untuk diharapkan membawa sesuatu kepada jalan yang benar, yang nantinya dapat memberikan manfaat (kesejahteraan) bagi orang-orang yang dipimpinnya. Artinya lagi, dia dapat menjadi pelayan yang baik karena mau mendengar keluh-kesah dan risau-gundah orang-orang di bawahnya (rakyatnya).

Oleh karena manusia ini merupakan khalifah fi al-ardh, maka menjadi pelayan itu sejatinya jadi kodrat diri. Kodrat kesejatian manusia adalah melayani atau pelayan bagi Tuhan dan melayani alam semesta. Semua orang diminta jadi pelayan. Semua diharap menjadi orang yang berhati pelayan atau merasa rendah. Ya, rendah hati. (hal. 2). Baginda Rasulallah SAW berkata, setiap manusia merupakan pemimpin dan setiap pemimpin dimimta tanggungjawabnya. Seperti dapat kita contohkan suami pelayan bagi istrinya, istri pelayan bagi suaminya. Guru pelayan bagi muridnya, murid pelayan bagi gurunya. Ulama pelayan bagi umatnya dan umat pun semestinya pelayan pula bagi ulamanya. Pemimpin pelayan bagi rakyatnya dan rakyatpun siap menilai keinginan pemimpinnya yang adil dan amanah.

Berikutnya tulisan berjudul “Lidah Tak Bersarung” sarat bernuansa kiasan dengan makna tersirat. Judul dengan frasa indah ini sebagai perlambang bagi tindak-tutur orang Melayu yang mana dalam berlisan (berbicara) penuh perlambangan, yang menandakan bahwa orang Melayu memiliki ragam tutur yang tinggi. Lidah sebagai alat bicara manusia memiliki peran vital dalam melangsungkan kehidupan. Dengan lidah, manusia mampu berkomunikasi antar-sesamanya. Namun, lidah yang tidak bertulang ini harus digunakan dengan sebaik-baiknya, jangan sampai karenanya menjadi rusak hubungan pergaulan itu. Sebab, salah menempatkan kata-kata oleh lidah, menjadikan “mulut berbisa”. Untuk itulah sebagai orang yang bermarwah dan menjunjung adat Melayu, orang Melayu sangat menjaga lisannya. Seperti apa lidah tak bersarung? Seperti yang diuraikan dalam buku ini, “dalam kebudayaan sebagian cerdik-cendikia kami di Melaka Kecil, yang dimaksud ungkapan itu adalah orang yang bicara sembarangan, yang berkata lancang tanpa pikir panjang, yang tidak dapat mengontrol lidahnya.” (hal. 7).

Dalam tulisan ini dapat kita ambil hikmah bahwa menjaga lisan sangat begitu penting. Hendaknya manusia mampu mengelola lisannya (lidahnya) dalam berkata-kata; dalam kondisi seperti apa, dalam hal apa, berbicara dengan siapa. Ketika sedang berbicara sebaiknya pula menunjukkan sikap karakter yang berbudi. Sebab sebagaimana pepatah mengatakan “bahasa menunjukkan bangsa”. Seseorang yang mampu menggunakan bahasa yang santun (apalagi pemimpin) akan menunjukkan karakter pribadinya yang baik, secara lebih luas, ia akan dinilai sebagai orang yang berbangsa (memiliki jati diri yang kuat).

Lanjut Griven dalam tulisannya, kualitas manusia juga diukur dari ucapannya. Dari buah pikiran yang keluar melalui kata-katanya. Semakin berkualitas seorang insan maka semakin berkualitas pula kata yang keluar dari lidahnya, semakin berkualitas sesuatu yang dipostingnya, termasuk di sosial media. Apa ukuran kualitas lidah? Ketika kata-kata yang keluar dapat menjernihkan yang keruh, menyelesaikan yang kusut dalam masyarkat. Menyejukkan dan menjadi setawar-sedingin; memberi solusi. (hal. 8).

Hal ini sudah semestinya sejalan dengan karakter kita sebagai orang Melayu. Dalam menjalankan fungsinya sebagai bagian dari masyarakat, kita hidup berdampingan dengan masyarakat lainnya. Untuk itu, menjaga lisan dalam berkata-kata harus diperhatikan dengan baik. Seperti pula yang dikatakan oleh pujangga besar Raja Ali Haji dalam Gurindam Dua Belas, “apabila terpelihara lidah, niscaya dapat daripadanya faedah.”

Tulisan ini sangat menyentuh bagi saya. Di sini hal paling mendasar dibangun kembali dengan daya gugah agar kita merenung, mencermati kembali karakter pribadi kita. Sudahkah kita mampu berbuat itu? Bagaimana cerminan pribadi kita dalam berkata-kata. Boleh juga, kita telisik lebih jauh para pemimpin kita—dalam mengayomi rakyat—dalam bertindak-tutur, sudahkah mampu memberi kesan baik dalam berbahasa?

Penggalan berikut, setidaknya mampu menjadi pelajaran bagi kita dalam menyikapi hal-hal tersebut, “dahulu para cerdik-cendekia, para alim ulama berkitabullah menggunakan lidahnya untuk ‘bersilat’ dan mencerahkan akal budi kaum bangsanya. Dengan bahasa bersampul dan berkias melakukan berbagai pengajaran dan pelajaran bagi masyarkatnya. Sehingga muncullah pantun, syair, seloka, gurindam, petatah-petitih serta berbagai bentuk sastra tinggi sebagai pancaran dari akal dan hati. Sebagai wujud ia merupakan kaum berbangsa yang terdidik.” (hal. 9).

Berikutnya tulisan yang berjudul “Membantu” terasa begitu menggugah. Tulisan yang di dalamnya dikisahkan tentang orang-orang saleh yang meiliki karakter tinggi dan tingkah laku mulia. Sehingga keberadaannya—tanpa disadarinya—dinilai Allah SWT dengan penilaian yang tinggi hingga mendapatkan ganjaran ampunan yang luas dan rezeki melimpah yang tidak terkira baik di dunia maupaun di akhirat. Griven dalam tulisannya ini, secara tak langung memberikan motivasi kepada pembaca untuk juga mampu berbuat kebaikan seperti tokoh-tokoh tersebut. Sekali lagi, tokoh-tokoh dalam kisah itu memang pernah ada dan nyata, bukan fiksi.

Dikisahkan ada seorang ulama dari Marwaz Khurasan yaitu Abdullah Ibn Mubarak (118-181 H). Setelah menunaikan ibadah haji, suatu ketika dalam tidurnya ia bermimpi. Ada dua malaikat turun dari langit dan saling bertanya jumlah jamaah haji tahun itu. Dialog kedua malaikat sampailah kepada perihal “berapa orang yang memperoleh haji mabrur?” Malaikat satunya menjawab, “Hanya satu orang saja. Akan tetapi yang seorang itu menyebabkan yang lain diterima ibadah haji mereka.” Hal itu membuat malaikat yang bertanya penasaran siapa gerangan orang itu. Di jawab malaikat itu, “dia adalah Al Muwafaq dari Damsyiq.”

Dari mimpinya itu membuat ulama Abdullah Ibn Mubarak penasaran dan langsung ingin menjumpai Al Muwafaq. Setidaknya pasti ada rahasia mengapa hanya dia yang mendapatkan mabrur itu. Setelah sang ulama berjumpa dengan Al Muwafaq, ulama itu malah lebih tercengang, sebab pengakuan Al Muwafaq sendiri malah batal pada tahun itu untuk melaksanakan haji. Satu sisi, cerita mimpi itu juga membuat Al Muwafaq tak kalah terkejut. Kemudian ia pun menceritakan apa yang terjadi kepada ulama Abdullah Ibn Mubarak, bahwa dulu ia memang hendak berakat haji bersama istrinya, bahkan sudah mengumpulkan tabungan sebanyak 350 dirham selama kurang lebih 40 tahun. Tapi suatu ketika, istrinya yang sedang hamil tak sengaja menghidu masakan yang enak. Maka, ia pun mencoba menelusuri siapa yang memasaknya. Akhirnya Al Muwafaq menemukan rumah kecil sederhana milik seorang janda miskin beranak tiga.

Al Muwafaq pun meminta izin untuk menginginkan sedikit makanan yang dimasak oleh janda itu. Namun perempuan janda itu malah tidak ingin memberi. Hal itu membuat Al Muwafaq heran. Lalu perempuan janda itu menceritakan bahwa sudah beberapa hari anak-anak yang masih kecil itu tidak makan karena memang tidak memiliki sesuatu yang dapat dimakan. Lalu ia menemukan seokor keledai yang sudah mati. Tanpa pikir panjang ia mengambil keledai itu lalu memasaknya. Mendengar cerita itu Al Muwafaq pun terenyuh, dan pulang ke rumah untuk mengambil dan menyerahkan semua tabungan hajinya—juga atas dasar izin istrinya—kepada perempuan janda miskin itu.

Penggalan kisah di atas begitu menggugah. Bahwa sebagai manusia yang berkarakter dengan iman yang kuat, selalu peka (tanggap) pada kesusahan orang lain. Atas dasar iman yang kuat itulah seseorang akan mudah untuk membantu, menolong, rela berkorban tanpa pikir untung-rugi dan tanpa pandang bulu. Sebab, ia yakin harta yang dimilikinya sejatinya hanya milik Allah SWT, sehingga suatu saat kelak akan dibalas oleh Allah SWT dengan harta lain yang lebih banyak tanpa disadari. Begitulah keteladanan karakter sosok Al Muwafaq yang rela berbuat kebaikan dengan sangat ikhlas kepada orang lain yang sedang kesusahan.

Lanjut Griven dalam sebuah penggalan tulisannya, “menurut Imam al-Qusyairi an-Naisaburi; sementara sebagian kalangan sufi, bahwa derma (sakha) adalah tahap pertama disusul oleh juud, kemudian mengutamakan orang lain (itsar). Orang yang memberikan kepada sebagian manusia dan menyisakan untuk sebagian lainnya, ia adalah pemilik sakha’. Sedangkan orang yang menyerahkan lebih banyak miliknya dan menyisakan sedikit untuk dirinya, adalah sikap juud. Orang yang berada dalam keadaan sangat membutuhkan, tetapi masih mengutamakan kebutuhan orang lain dengan memberikan miliknya yang hanya cukup untuk hidupnya, itulah sifat itsar. (hal. 145).

Selanjutnya tulisan berjudul “Rasa Takut?” memberikan gambaran dari hal takut itu sendiri. Rasa takut yang seperti apakah yang seharusnya dimiliki manusia? Takut yang seperti apa sebaiknya untuk menjadi landasan hidup ini agar kita tidak terjerumus ke dalam hal yang salah. Untuk itulah perlunya penanaman karakter yang kuat dalam diri kita sebagai insan. Sebagai orang yang beriman kepada Allah SWT, sudah tentu kita menanamkan rasa takut hanya kepada-Nya. Sebab Dia-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Namun, seperti gambaran dalam tulisan ini, rasa takut (baca: yang berlebihan) juga mampu memberikan kesan menusia menjadi tidak terkontrol. Takut yang berlebihan itu seperti takut karena kekuasaannya akan diambil orang lain. Hal ini dalam sejarah, seperti para Fir’aun. Oleh sebab takutnya yang salah, takutnya yang begitu berlebihan sehingga ia berbuat kejam dan fasik yaitu membunuh bayi-bayi laki-laki dari kaum Bani Israil, karena disinyalisasi bahwa kelak akan ada anak dari kaum Bani Israil yang menggoyang kekuasaannya. Namun ketakutannya itu akhirnya menjadi kenyataan dan membuatnya musnah karena ulah kekejamannya sendiri. Atas kuasa Allah SWT, Nabi Musa AS terhindar dari perbuatan fasik Fir’aun tersebut. Malah Nabi Musa AS diasuh oleh keluarga mereka sewaktu masih bayi. Inilah bukti kekuasaan Allah SWT. Untuk itulah, perlunya iman yang kuat bagi seorang muslim agar terhindar dari rasa takut yang salah. Rasa takut yang mesti dipelihara hanya rasa takut kepada Allah SWT. Sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 44.

Dari tulisan ini Griven membawa pembaca agar termotivasi untuk menyikapi hal-hal tersebut. Memang hal ini harus diluruskan, disadarkan kembali agar kita tidak jatuh atau terjerumus ke dalam hal yang tidak diinginkan, semacam kesyirikan. Mengapa? Boleh jadi, karena takut yang tidak terkontrol dan tidak berdasarkan logika, juga tidak berlandaskan iman itu, manusia tergelincir dalam hal syirik. Percaya kepada hal-hal gaib yang bukan berlandaskan atas dasar ajaran Islam untuk mendapatkan apa yang diinginkan, tanpa bergantung kepada Allah SWT. Ini sangat berbahaya bagi umat Islam. Sebaliknya kita harus menanamkan karakter iman yang kuat dalam hati bahwasanya hanya Allah SWT yang Maha Pemberi Rezeki dan Maha Penolong bagi hamba-Nya.

Seperti kata Griven dalam penggalan tulisannya, “setiap mukmin sejatinya memelihara rasa takutnya agar ia dicintai Tuhannya. Takut berbuah cinta itu membuat ia ‘ditakuti’ semua mahkluk. Sebab hanya menyandarkan rasa takut kepada-Nya semata, maka semua yang ada akan merasa ‘takut’ dan cinta kepadanya. Ada pula rasa takut yang mesti dibuang dalam kehidupan, yaitu rasa takut berlebihan pada makhluk, baik kepada raja, jin, dan mahkluk teror lainnya. Ketakutan berlebihan (over dosis) pada mahkluk-mahkluk seperti ini dapat saja mengubah kadar iman kita. Takut yang dapat membuat kesyirikan.” (hal. 272).

Terakhir bahasan saya pada buku inspiratif ini yaitu pada judul “Ekstra Maksimal”. Sebuah tulisan dari Griven yang sangat memotivasi bagi saya dan untuk pembaca pada umumnya. Bahwasanya dalam hal apapun manusia mesti menjalankannya dengan sungguh-sungguh, serius, tidak main-main, karena pekerjaan pada dasarnya menginginkan hasil yang baik. Hasil yang baik akan membuat orang lain senang dan puas. Begitulah hendaknya karakter yang harus dimiliki orang kita sebagai puak bangsa Melayu. Sejak dulu, orang-orang Melayu akan melakukan pekerjaan dengan tekun dan teliti, rutin dan terkaji, peka dan peduli, hingga memperoleh sesuatu yang teruji dan bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain, baik pada masanya maupun pada masa yang akan datang. Lihatlah Gurindam Dua Belas, Tuhfat Al Nafis, Bustan al Katibin, Kitab Pengetahuan Bahasa (Kamus Bahasa Melayu Riau-Lingga), Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair Hukum Nikah, Syair Sultan Abdul Muluk, gubahan pujangga besar Melayu Raja Ali Haji yang hingga kini masih menjadi pelajaran berharga bagi semua insan. Juga karangan-karangan Hamzah Fansuri Syair Perahu, Syair Dagang, Syair Sidang Fakir, Asrar Al-Arifin (Rahasia Kaum Arif), Sharab al-Asyikin (Minuman Para Perindu). Juga karangan-karangan sastra dari Rusyidiah Klab yaitu perkumpulan pengarang Riau yang berdiri pada penghujung abad ke-19, berjaya pada awal abad ke-20 dengan aktor intelektualnya Raja Ali Kelana.

Semua contoh di atas adalah bukti bahwa sejak dulu puak Melayu telah memiliki karakter etos kerja yang tinggi. Mereka melakukan segala sesuatu dengan maksimal untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal tersebut bukan hanya dilakukan oleh kaum-kaum bangsawan, namun juga oleh masyarakat kecil yang mana ketika mereka melaut, bertani, berniaga, akan dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tetap berpedoman pada ajaran Islam. Hal ini pula yang membuat bangsa Melayu dikenal dengan sikap etos kerja tinggi dan intelektualnya.

Menurut Didin Hafidhuddin (dalam tulisan Bang Griven ini), itqan merupakan kesungguhan dan kemantapan dalam melaksanakan suatu tugas, sehingga dikerjakan secara maksimal, tidak asal-asalan, sampai pekerjaan tersebut tuntas dan selesai dengan baik. Itqan dapat juga disebut sebagai bekerja dengan fokus, dengan ilmu, dengan keterampilan dan efektif. Jadi itqan merupakan etos kerja seorang muslim. (hal. 133).

Hal ini (baca: itqan) sudah dipraktikkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya serta para ulama sesudahnya. Dikisahkan bahwa Al Farabi telah membaca 200 kali On The Soul dan 40 kali Phisics karya Aristoteles sebelum melahirkan karya-karya besarnya. Ibnu Athiyyah al Andalusi juga telah menamatkan Kitab Shahih Bukhari sebanyak 700 kali sebelum ia menulis takfsirnya. Bahkan seorang sahabat Nabi SAW, yaitu Zaid bin Tsabit—yang juga sebagai sekretaris Nabi pada masa itu—juga memiliki sifat itqan. Ia menunjukkan keseriusannya dengan memasang target tinggi untuk capaian-capaiannya dalam belajar. Pada masa itu, ia ditugaskan oleh Baginda Nabi SAW ke perkampungan Yahudi guna mempelajari bahasa Yahudi karena saat itu banyak surat yang masuk menggunakan bahasa Yahudi. Tidak menunggu waktu lama bagi Zaid untuk menguasai bahasa itu, dengan kesungguhan dan keseriusannya, ia alhamdulillah mampu menguasainya dalam waktu 17 hari. Artinya, selain sosok Zaid yang jenius, ia telah memasang target tinggi dalam capaiannya sendiri. Sehingga apa yang diperolehnya mampu memberikan nilai lebih; manfaat bagi dirinya dan orang lain.

Sejatinya hal-hal lain dalam buku yang sarat permenungan dan motivasi hidup ini sungguh luar biasa. Griven sebagai penulis menelusuri sendi-sendi kehudupan dari yang kecil, sederhana, sampai kepada persoalan besar yang membutuhkan perhatian jauh. Adapun istilah-istilah religius dalam tulisannya turut memperkaya kosa kata bagi pembaca untuk tahu dengan diksi sebenarnya sehingga membawa pembaca masuk dalam pembahasannya. Selian itu, Griven turut kritis dalam menyampaikan opini tentang segala hal yang urgen bagi negara ini secara luas. Hal itu dapat ditelusiri kembali dari judul “Menemukan Pemimpin Idaman,” “Pemimpin dan Rakyatnya,” “Tubuh dan Kepemimpinnan (1), (2), dan (3)”, “Sang Panutan”. Tentu pula tulisan yang bernyawa Melayu tidak lepas dari goresan tangannya, seperti “Musyawarah Melayu,” “Etos Kerja Melayu,” “Melayu dan Ramadan,” “Nilai Karakter Melayu Islami dalam Tunjuk Ajar Melayu Tenas Effendi,” dan “Pewarisan Karakter Melayu.”

Seluruh karangan dalam buku Karakter Melayu (Kumpulan Percikan Pemikiran) karya Griven ini patut menjadi referensi bagi siapa saja. Baik pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pejabat legislatif, pejabat pemerintahan, atau kalangan kaum muda milenial saat ini sebagai pewaris ilmu dan masa depan bagi daerah ini. Membaca dan menikmati karya terbaru sastrawan-budayawan energik ini, setidaknya—begitu yang saya rasakan—mampu memberi kembali daya gugah untuk membuka minda dan semangat dalam berkarya menulis. Semakin kita banyak membaca akan menambah wawasan pengetahuan. Bung Hatta pernah bilang, “Tidak masalah jika aku harus di penjara. Namun, aku ingin di penjara bersama buku, karena dengan buku aku menjadi bebas.” (*)

Selatpanjang, 26 Februari 2025

Riki Utomi kelahiran Pekanbaru 19 Mei. Alumnus Prodi. Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Islam Riau. Menulis puisi, cerpen, esai, dan novel. Sejumlah karyanya pernah tersiar di Kompas, Koran Tempo, Pikiran Rakyat, Media Indonesia, Suara Merdeka, Lampung Post, Banjarmasin Post, Inilah Koran, Riau Pos, Batam Pos, Kendari Pos, Bangka Pos, Padang Ekspres, Rakyat Sumbar, Haluan Kepri, Haluan Riau, Metro Riau, Koran Riau, Serambi Indonesia, Tanjungpinang Pos, Radar Banyuwangi, RuangLiteraSIP, Magrib.id, Buletin Jejak, Apajake, Ngewiyak, Sastramedia.com, Nusantaranews.co, Riau Realita, Tiras Times, Harian Detil, Majalah Sabili, Majalah Sagang, Majalah Tanjak, Majalah Elipsis. Sejumlah cerpennya terangkum dalam antologi bersama: Kolase Hujan (Yayasan Sagang, 2009), Negeri Anyaman (Yayasan Sagang, 2010), Robohkan Lagi Pagar Itu, Datuk! (Yayasan Sagang, 2011), Dari Seberang Perbatasan (Yayasan Sagang, 2012), Melabuh Kesumat (Yayasan Sagang, 2013), Negeri Asap (Yayasan Sagang, 2014), Hikayat Bunian (Yayasan Sagang, 2015), 100 Tahun Cerpen Riau (Yayasan Sagang, 2014). Meraih juara 1 lomba cerpen mahasiswa nasional dari Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Riau 2005, juara 2 lomba Esai se-Riau dari Universitas Lancang Kuning 2015, juara 1 lomba Cipta Puisi Melayu Modern dari SukuSeni Riau 2023, meraih Anugerah Acarya Sastra 2015 dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa DKI Jakarta, Penghargaan Anugerah Pemangku Seni Sastra dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Riau 2016. Penulis juga masuk dalam Ensiklopedi Sastra Riau (Palagan Press, 2011). Buku fiksinya yang telah terbit Mata Empat (Cerpen, 2013), Sebuah Wajah di Roti Panggang (Cerpen, 2015), Mata Kaca (cerpen, 2017), Anak-Anak yang berjalan Miring (cerpen, 2020), Menjaring Kata Menyelam Makna (esai, 2021), Belajar Sastra Itu Asyik (nonfiksi, 2011), Jelatik (novel, 2021). Kini sebagai pendidik dan bermukim di Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. (*)

Comments (0)
Add Comment