Bedah Buku Rio Rozalmi dalam Milad FLP Ahad, 23 Februari 2025
Penulis memilih dominasi plot yang berujung pada kematian. Bicara tentang perpisahan lewat kematian. Kematian dianggap sakral dan pada beberapa cerpen masih belum Nampak logika kematian, proses, atau kausalitas kematian. Died ending dianggap jurus paling bagus untuk menentukan arah kedukaan, semenjak dahulu penulis-penulis lain, bahkan dalam Romeo dan Juliet, kematian sudah digadang-gadang bakal menjadi entitas paling baik untuk membunuh ‘rasa’ pembaca. Namun, apakah kematian masih relevan di tengah banyaknya komoditas cerita prosa penulis lain yang serupa. Perlu observasi, atau memperluas konflik agar penulis tidak melulu terjebak pada cerita berbasis kematian.
Osamu Dazai dalam Ningen Shikaku mengisahkan tokoh Oba Yozo yang mengalami konflik batin dalam sosial di masyarakat dan memilih jalan bunuh diri. Olenka karya Danarto jelas menunjukkan emosi, pemikiran dan ragam perspektif tentang kematian.
Jenis kematian dalam cerita: Bunuh diri, Pembunuhan, Insiden, Alami.
Emosi dalam ranah kematian: perasaan takut dan cemas, penerimaan dan rasa tenang.
(Lismalinda dalam Kajian Signifikansi Kematian, Sosiologi Sastra, UGM: 2016)
1. Kematian sebagai pembentuk tujuan kehidupan (set up goals)
2. Kematian sebagai sarana penghapus rintangan (remove an obstacles)
3. Kematian sebagai pembentuk ‘cult’
Lokalitas dan Adat
Penulis menarik garis persinggungan pada beberapa cerpennya berhubungan dengan adat. Sebagai sebuah cerpen “Melewakan Gala” memang patut menjadi salah satu cerpen terbaik. Pada cerpen ini kisah pergantian datuk dalam adat minang dikerjakan dengan kompleksitas observasi. Cerpen ini memberikan gambaran, bagi orang non-minangkabau untuk begitu kentalnya adat dalam sendi kehidupan minangkabau. Begitu juga dengan cerpen Nur Jawilah Merintih, penulis membentuk ingatan tentang potret masyarakat yang begitu mencintai hewan atau pacuan jawi daripada keluarga dan anaknya. Konflik dibenturkan dengan adat adalah sebuah hal klasik namun masih punya daya gigit untuk membuka ruang renung baru untuk dikaitkan dengan masa kini. Persis seperti mereka yang lebih ‘sayang’ dengan anjing daripada anaknya, bahkan banyak yang menyebutkan beranak anjing.
Realitas Sehari-hari atau Justru Absurditas
Penulis melakukan cuplikan pada beberapa cerpen tentang keseharian, menangkap seting Kota Pekanbaru berulang-ulang. Ini merupakan hal yang sangat berani karena jarang sekali cerpenis Riau sekalipun menangkap Kota Pekanbaru sebagai sebuah kota urban yang seksi untuk diungkap. Keseharian kaum papa yang dibalut dengan cinta agama, balutan khas. Punya mimpi besar namun sulit menaklukkannya. Realitas ini mestinya dikemas dengan deskripsi yang lebih lengkap lagi, jika mau dan sadar bahwa Pekanbaru adalah kota yang perlu dijual kemolekan dan ragamnya kepada pembaca. Justru ini merupakan kekuatan dan daya ledak untuk membuka imajinasi tentang apa dan mengapa harus Pekanbaru. Di saat penulis lain sibuk melihat dengan kacamata daerah lain, atau bahkan nusantara, penulis PD dengan tematik setingnya. Tak muluk-muluk, ketika penulis lain sibuk bercerita lingkungan, sejarah dan lainnya. Ia memilih apa yang tidak jauh dari pembaca. Namun, apakah deskripsinya sudah kompleks sebagai sebuah cerita, karena pembaca justru sudah khatam dalam persepsi keseharian. Klise atau baru?