Senin (22/09) gedung Anjungan Seni Idrus Tintin disesaki oleh penonton yang datang untuk menyaksikan pertunjukan kelompok Medan Teater dengan judul “Meja Makan Mikir-Mikir”. Pentas yang dilangsungkan malam hari ini dimulai dengan dua pementasan dari Teater Ketjik (SMAN 7) dan Senja 5 (SMAN 5) Pekanbaru. Penonton tampak antusias menyaksikan dua pertunjukan dengan lokalitas melayu yang kuat. Sampai akhirnya pada pertunjukan utama dari Medan Teater.
Pertunjukan Medan Teater dimulai dengan munculnya lima aktor dengan busana yang terang mencolok. Seolah mereka datang dari latar belakang yang berbeda-beda. Penggunaan musik disko yang muncul pada kemunculan aktor menjadi sesuatu yang elegan untuk menghantarkan cerita mereka tentang heterogenitas masalah aktor. Mereka muncul dengan membawa masalah masing-masing berupa keresahan, kegelisahan, kehilangan tentang masa kekuatan pangan.
Meja Makan yang digunakan berkali-kali sebagai tempat makan kerap menjadi ruang perdebatan, pertengkaran dan melempar wacana tentang hakikat makan. Apakah makan hanya untuk mengenyangkan perut atau makan menjadi sesuatu ritual yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Dialog-dialog bernas yang aktor mainkan seolah-olah adalah narasi esai ilmiah yang dipotong-potong. Esai-esai kontemporer tentang ketahanan pangan dan masa depan pangan.
Munawar sebagai sutradara cukup cerdik memasukkan isu-isu kekinian tentang lingkungan yang berdampak pada ketahanan pangan. Mulai dari kegelisahan atas sungai-sungai di Medan, semisal Kampung Lalang yang mulai keruh, perihal lain tentang masa kecil anak-anak yang hilang tempat bermain. Makan hanya sebatas pemenuhan ‘kampung tengah’ atau perut. Makan tidak memiliki makna selain untuk bertahan hidup. Belum lagi setiap menyantap makanan, muncul fenomena sosial berupa flexing atau pamer terhadapa makanan yang disajikan.
Munawar juga memasukkan kritiknya atas investasi besar-besaran lewat tubuh aktornya. Bahwa pembangunan infrastruktur fisik nomor satu, sementara pembangunan manusia, lingkungan dan mental itu nomor keseribu. Begitulah negeri ini kini menjadi tempat dan ladang berburu bagi orang-orang yang rakus. Isu kerakusan itu pun ditambahi dengan penggunaan Artifisial Intelegence (AI) yang melimpah ruah. Masuk ke dalam meja makan, pekerjaan hingga masalah rumah tangga. AI menjadi perkara yang disorot dalam menentukan premis bagaimana mendapatkan makanan yang sehat, bagaimana mendapatkan pekerjaan di kala ekonomi sedang morat marit. Isu inilah yang mereka tawarkan dalam pentas keliling menuju Festival Teater Sumatera di Palembang akhir bulan ini.
Lima aktor yang bermain dengan lincah di atas panggung mampu memerankan berbagai peran yang disematkan. Penciptaan tokoh dalam lakon ini bisa jadi adalah temuan-temuan peran yang kemudian digabungkan dalam proses kreatif khas anak Medan yang kental dengan sentilan gaya medan. Bahasa-bahasa slang serta dialek Medan dihadirkan dari awal hingga akhir. Penonton cukup mengerti dan dekat dengan dialek tersebut. Pentas ini pun mampu mengocok perut dari awal hingga akhir. Komedi satir dan sarkas yang muncul kerap dikaitkan dengan isu-isu kekinian. Mulai dari percintaan sampai program MBG dari pemerintah.
Kiranya Bob, Parmin, Isty, Shinta dan Aucintia mampu membuat penonton bertahan dalam pertunjukan dengan durasi kurang lebih satu jam tersebut. Penataan panggung yang berubah-ubah, hingga gerak dan musik disko bercampur etnik menjadi sebuah pengalaman baru bagi penonton malam itu. Namun, tetap saja meski begitu ada beberapa hal teknis yang perlu diulang kembali. Semisal perpindahan beberapa adegan yang sudah ditebak dan bagian-bagian kosong yang perlu diperkuat kembali. Selebihnya Medan Teater telah berhasil membuka mata masyarakat untuk kembali berpikir. Apakah makan di meja makan hanya untu makan atau menjadi ruang berpikir untuk bertanya dari mana makanan itu berasal? Pertunjukan yang ditaja Medan Teater bekerja sama dengan Rumah Budaya Tengku Mahkota tersebut berhasil menunjukkan tipikal Medan yang keras. Medan yang ditempah oleh peradaban heterogen dan kini harus berjibaku dengan pertanyaan-pertanyaan masa depan pangan.
* Ketua Jaringan Teater Riau (2022-2024)