Penamban *): Cerpen Rida K Liamsi

Jam berdentang 12 kali. Bok melihat ayahnya bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu rumah. Agak sempoyongan. Turun melalui tangga kayu dari serambi rumah panggung mereka, menuju halaman rumah. Menuju tepi pantai. Bok mengikutnya dari belakang.

Di bawah pohon Ketapang pantai yang rindang, ayahnya berhenti. Memadang langit tengah malam yang agak pekat itu, lalu mengeluarkan puput (seruling) bambunya yang terselip di pinggangnya. Dan kemudian meniupnya.

“Puuuut puuut puuut …..” Biasanya tujuh kali dan pada tiupan ke tujuh agak panjang dan mendayu. Seperti suara rayuan. Tapi kali ini, baru yang kelima, ayahnya seperti terkulai. Rubuh ke tanah.

Bok bergerak menyambar tubuh ayahnya. Meraih puput bambu untuk meneruskan tiupan ke enam dan ketujuh. Tapi Kemudian dia membatalkan niatnya itu, lalu berteriak panjang. “Tolong….tolong …. tolong …… “ suara teriakannya bergaung ke segenap kampung.

Orang orang berlarian ke tepi pantai. Mereka ini para nelayan penjaring tamban **) Biasanya mereka ini begitu puput selesai ditiup tujuh kali, akan bergegas menuju perahu mereka. Tanpa suara, begitulah petuahnya. Naik ke perahu dan berkayuh ke laut lepas . Menuju tempat penanda ikan tamban berkerumun dan melabuh jaring jaring mereka dan menyekap kerumunan tamban-tamban itu.

Ayah Bok memang pawang tamban, ikan palangis yang menjadi sasaran para penjaring tamban. Ayah Bok, begitu tengah malam tiba, akan meniup puput bambu itu, setelah lebih dahulu membaca mantera mantera penjinak tamban. Mantera pemanggil roh kehidupan laut, agar berbelas kasih, mengantar tamban-tamban ke jaring para nelayan. Berbagi rezeki.

Itulah ritual yang sudah ada turun temurun, dilakukan warga kampung itu. Tapi sebulan hanya 15 hari mereka melaut dan menjaring tamban. Tak boleh lebih, kecuali atas mufakat kampung untuk kepentingan adat . Kalau lebih berarti serakah dan laut akan menghukum mereka, dan tamban akan lari.

Ayah Bok sudah lima tahun menjadi pawang penamban. Tak ada yang sanggup menggantikannya. Sebab setiap dia meniup puput bambu itu, ikan ikan tamban akan berkerumun , dan jaring jaring akan penuh. Berpetak petak sampan akan penuh dengan ikan tamban. Nelayan nelayan akan gembira dengan hasil tangkapan mereka dan berteriak riuh rendah kembali ke pantai seperti menang perang. Keberhasilan itu membuat nelayan nelayan itu sangat menghormati ayah Bok.

Pernah ada upaya yang mencoba untuk menggantikan ayah Bok. Regenerasi kata mereka karena ayah Bok sudah tua. Tapi tak ada yang berhasil membawa tamban ke jaring jaring nelayan . Hasil tangkapan menurun. Nelayan tak puas dan merasa rugi . Akhirnya tugas sebagai pawang penamban itu tetap dipegang ayah Bok.

Bok sendiri pernah ikut kontes menjadi pawang. Berlomba dengan beberapa tokoh di kampung itu, termasuk anak anak muda. Berlomba meniup puput dan membaca mantera. Meskipun Bok terpilih sebagai calon pawang yang paling baik, tapi tamban yang datang menuju jaring tak bisa sehebat ayahnya. Dan nelayan di kampung tetap minta ayah Bok terus jadi pawang.

Bok ingin betul jadi pawang. Memang penghasilan sebagai pawang cukup besar, karena semua hasil penangkapan para nelayan harus diserahkan sedikitnya sepersepuluh kepada Pawang dan penghasilan pawang terkadang lebih besar daripada nelayan, tergantung jumlah yang pergi melaut dan hasil tangkapan.

Tak ada nelayan yang keberatan . Mereka suka dan ikhlas, karena suara puput ayah Bok seperti sihir, yang menggerakan tamban-tamban itu menuju jaring nelayan. Dan rezki mereka selalu melimpah. Rezki ayah Bok juga melimpah. Karena itu dia bisa beristeri lebih dari satu.

Namun Bok ingin jadi pawang bukan soal penghasilan, tapi terlebih karena dia ingin menikahi Dara, anak gadis kampung itu yang paling cantik, dan Bok pun sudah lama tergila-gila padanya. Seorang penari joget. Dara pun menyukai Bok, tapi Bok tak berani meminang Dara karena perempuan yang jadi kembang kampung itu hanya mau dinikahi, jika Bok bisa menjamin hidup mereka. Hidup terhormat dan dihormati orang.

“Kalau kita kawin, dan abang tak ada penghasilan tetap, dengan apa kita kelak menghidupi anak anak kita. Membantu saudara saudara kita. Dara anak paling tua. Abang juga,“ kata Dara ketika Bok mencoba mengajaknya menikah.

“Kan abang jadi penjaring tamban juga. Ada perahu sendiri. Rezeki yang membuatku bersemangat …..“ kata Bok.

“Tapi kan cuma penjaring, bukan Pawang. Kan Pawang itu sama derajat dengan Penghulu Kampung kita. Sama dengan pak Iman. Seperti Kepala Sekolah. Kalau ada pertemuan, kan Pawang duduk di depan, dekat pak Penghulu. Tapi kalau penjaring kan hanya orang biasa saja . Dari pada menikah dengan penjaring, lebih baik Dara jadi isteri muda pak Penghulu.“ Dara berkata sambil mengilai, dan membuat muka Bok, merah padam.
.
“Tapi abang kan anak Pawang. Rezeki ayah abang kan rezeki abang juga. Kehormatan ayah abang kan kemuliaan abang juga.“ Bok berkeras dengan pendapatnya.

“Kalau ayah abang masih hidup. Dia kan dah hampir 70 tahun. Kalau dia tak ada lagi, abang kan jadi penamban saja. Kenapa abang tak jadi Pawang, gantikan ayah abang?“ kata Dara lagi menambah panas hati Bok.

Pulang dari pertemuan dengan Dara, Bok bertemu ayahnya. Membujuk ayahnya supaya mundur saja dari jabatan Pawang, dan digantikan dengan dia. Tapi ayahnya, menolak.

“Jampi kau belum terlalu makbul. Tamban yang dijaring nelayan masih sedikit. Kalau ayah mundur, bagaimana nasib nelayan kampung kita ? Ayah juga tak mau jabatan itu direbut orang lain.“ Mata tua ayahnya berkilat. Ada kesan tak percaya terpendam di sana.

“Tapi mantra yang Bok baca ya yang ayah ajarkan. Puput yang Bok tiup, bunyinya sama juga. Bok kan calon pawang yang terbaik dan menang lomba.“ Bok mendebat ayahnya.

“Tapi kau belum merasuk. Belum bersebati dengah Dayang laut. Belum tergerak roh laut untuk mengarak tamban ke jermal. Mantera kau masih jampi sambil lalu.“

Bok kecewa dan marah dengan sikap ayahnya. Apalagi beberapa hari kemudian, Dara datang memberitahu Bok, bahwa pak Penghulu telah mengirim orang untuk meminangnya jadi isteri mudanya. Untung ayahnya, tidak langsung terima dan minta persetujuan Dara lebih dulu.

“Kalau abang tetap jadi penjaring tamban, Dara nikah saja dengan pak Penghulu. Kecuali abang jadi Pawang, Dara tolak pinangan pak Penghulu itu,“ lanjut Dara. Setengah merajuk, setengah mengancam.

Kata kata Dara itulah yang terus terngiang dan diingat Bok ketika tubuh ayahnya yang lunglai itu rebah di pangkuannya, di bibir pantai. Napasnya sudah satu satu. Orang kampung sudah berdatangan.

Dukun Rejab, memegang nadi di pengelangan ayah Bok. Lama dia menekan pembuluh darah itu. Tiba tiba Tok Rejab menggeleng. Dan menatap mata pak Penghulu yang juga hadir. Mata pak Imam dan Kepala Sekolah.

“Sepertinya, Pawang kita ini, termakan barang yang berbahaya. Salah salah tak bisa ditolong lagi,“ kata Tok Rejab dengan suara bergetar.

“Racun?“ Pak Penghulu langsung menyambar. Menjeling Bok dan tampak curiga . Bok adalah rivalnya dalam merebut hati Dara.

“Belum tentu racun, tapi mungkin makanan yang pantang dan berbahaya,“ kata Tok Dukun itu lagi. “Tubuh Pawang tak kuat melawan makanan yang sudah berubah menjadi racun. Seperti orang makan sayur bayam yang telah bermalam,“ lanjutnya.

Tubuh ayah Bok makin berkeringat. Dingin. Mukanya pucat. Di tengah perdebatan para pemuka Kampung itu tentang apakah ayah Bok memang termakan racun, atau bukan, dan siapa yang bertanggungjawab, ayah Bok meninggal. Ratap tangis pecah. Terutama dari dua isterinya. Bok juga terisak-isak. Dia mencium pipi ayahnya yang tiba tiba tampak keriput dan lelah.

Bok merasa dialah yang telah membunuh ayahnya. Meracunnya, meskipun dia tidak bermaksud demikian . Dia memang berharap ayahnya sakit. Agak lama, supaya ayahnya istirahat jadi Pawang. Dan mundur. Lalu dia yang akan menggantikannya. Dia ingin membuktikan pada ayahnya bahwa dia bisa jadi Pawang yang hebat. Bisa memanggil tamban untuk memenuhi jaring nelayan kampungnya. Jika ayahnya sakit agak lama, dan mundur selamanya, maka Bok akan jadi Pawang yang baru. Dan dia bisa menikahi Dara.

Bok ingat, sore kemaren, ketika ayahnya memberitahu bahwa dia kepingin makan sayur lemak dengan perencah salai tamban, Bok pergi membeli sayur daun kucai (daun bawang) dan pakis cukup banyak dan ikan asin juga, untuk makan malam mereka. Padahal dia tahu ayahnya pantang makan sayur Kucai. Dulu ayahnya sempat sakit agak lama gara gara makan sayur kucai dan daun pakis yang dimasak lemak. Dalam pikiran Bok yang lagi dirasuk asmara itu, kalau nanti habis makan sayur kucai dan daun pakis perut ayahnya sakit, ya, dia akan segera membelikan obat. Yang penting ayahnya istirahat dulu jadi pawang, dia menggantikanya barang sekali dua kali turun menamban

Tapi takdir berkata lain. Sayur kucai itu telah membuat ayahnya sesak nafas. Lambungnya memberontak. Dia muntah muntah sepanjang malam. Ketika pawang tua itu, nekad tetap pergi meniup puput memanggil penamban, tubuhnya ambruk. Dan kemudian malaikat maut merenggut nyawanya.

Bok benar benar menyesal. Benar benar merasa dialah yang telah membunuh ayahnya. Dia menangis sejadi jadinya. Sengguguk di atas dada tua yang sudah tak bernyawa itu.

“Abang menolak jadi Pawang menggantikan ayah abang?“ tanya Dara dengan nada kecewa. Dara tahu, setelah pemakaman ayah Bok, dan setelah rapat orang-orang kampung mencari pengganti pawang yang meninggal itu, Bok lah yang dipilih sebagai pengganti, karena dialah dulu yang paling baik sebagai calon pawang. Tapi Bok menolak.

“Ya, abang mau merantau saja. Pergi ke kampung lain, atau ke kota besar,“ kata Bok dengan suara parau.

“Lalu bagaimana hubungan kita?“ tiba tiba Dara menangis.

“Menikah sajalah dengan Pak Penghulu! Dara boleh duduk di depan majlis. Di sebelah pak Penghulu,“ lanjut Bok sambil bangkit dari duduk.

Matahari petang, bersemburat kuning. Bok berdiri di tepi pantai, di bawah rindang pohon ketapang pantai. Memandang jauh ke seberang laut. Dia seakan mendengar suara puput dan deru kerumunan ikan tamban yang berkumpul di pancang-pancang nibung, penanda tempat jaring-jaring dilabuhkan. Bok tak mendengar suara Dara. Entah ke mana dan bagaimana keputusan perempuan itu. Bok menggenggam kotak cincin di saku celananya . Cincin yang mulanya dia siapkan untuk meminang Dara.

2022/2024

*) Penamban, istilah nelayan penjaring tamban di Lingga.
**) Tamban (sardenella lamuru)

Catatan: Rida K Liamsi, seorang penyair. Sekarang menetap di Tanjungpinang, Kepri. Dapat dihubungi melalui emai : rliamsipku@gmail.com

Comments (1)
Add Comment
  • M.Alfa Ruqi

    Terbaik Bapak🔥