Markudut kaget. Saat membuka media sosialnya, jantungnya seakan-akan mau lepas dari katupnya. Nafasnya naik turun.
Kritik yang disampaikannya lewat koran kepada Kepala Kampung tentang rencana pembangunan Tugu Kampung yang dianggapnya mubazir dan terkesan tanpa perencanaan yang baik, membuatnya harus menerima banyak hujatan. Hinaan hingga cacian yang sangat sadis.
Media sosialnya dilempari komentar cacian, hinaan hingga hujatan yang teramat kejam. Mengusik nuraninya sebagai manusia.
“Sekarang kamu baru pahamkan apa yang pernah dulu aku sampaikan dan pernah aku terima dulu saat mengkritisi Pak Pemimpin Kampung kita ini,” ungkap Matgeriul, sahabat Markudut saat mereka sedang menikmati secangkir kopi di sebuah warung kopi di ujung Kampung. Matahari di atas kepala.
Markudut terdiam. Matanya menatap ke arah jalanan yang rusak parah yang tidak pernah diperhatikan Pemerintah. Jalanan itu membuat pengendara motor harus berhati-hati. Kendaraan yang melewati jalanan itu harus terbatuk-batuk.
“Itulah resiko yang kita terima ketika kita mengkritisi kinerja Kepala Kampung kita yang tidak becus memimpin Kampung ini,” lanjut Matgeriul sembari menghirup kopi.
“Ya. Tapi saya tidak akan pernah berhenti mengkritisi kinerja Kepala Kampung kita ini sebagai bentuk pertanggungjawaban moral saya kepada publik karena telah mengajak warga Kampung ini untuk memilih dia sebagai pemimpin kita,” ucap Markudut.
Mendengar jawaban Markudut, Matgeriul memberikan acungan dua jempol tangannya kepada Markudut.
“Semangat kawan. Teruslah Mencintai Kampung kita ini,” ucap Matgeriul. Markudut tersenyum mendengar narasi heroik sahabatnya itu.
Sejujurnya, bukan hanya lewat komentar sadis di media sosial saja yang diterima Markudut. Ada pula ancaman yang masuk ke nomor handphonenya dari nomor yang tidak dikenalnya. Bahkan dirinya pernah diserempet sebuah mobil pada malam hari saat pulang dari acara kondangan. Semua itu tidak menyurutkan semangatnya untuk mengkritisi kebijakan Pak Kepala Kampung.
“Saya mengkritisi kebijakan Pak Kepala Kampung sebagai pemimpin kampung kita ini. Bukan pribadi beliau. Kalau beliau bukan Kepala Kampung kita, saya tidak akan pernah mengkritisi beliau. Dulu saat beliau tidak mengemban amanah sebagai pemimpin Kampung atau orang biasa seperti kita ini, saya tidak pernah sama sekali mengkritisi bahkan menyinggung beliau. Hubungan pribadi kami sangat baik,” jelas Markudut kepada beberapa warga Kampung yang menanyakan kenapa dirinya hobi mengkritisi Kepala Kampung.
Di mata Matgeriul dan warga Kampung, apa yang disampaikan Markudut, tokoh muda Kampung sungguh memberikan pencerdasan bagi warga Kampung.
Apalagi kritik yang disampaikan Markudut di ruang publik itu , sesuai dengan fakta yang terjadi di lapangan. Bermuatan data.
Markudut tidak mengada-ada. Tidak pula memfitnah Kepala Kampung sebagai pemimpin. Hanya menyampaikan pendapat untuk kemajuan Kampung mereka.
“Hanya itu niat saya sebagai warga Kampung. Tak lebih dan tak kurang,” jelasnya.
Apalagi, Markudut pernah menjadi bagian dari Tim Pemenangan Pak Kepala Kampung saat kontestasi politik beberapa tahun lalu yang menghantarkan Pak Kepala Kampung mengemban amanah sebagai Pemimpin Kampung mereka.
“Apa yang disampaikan Markudut adalah bentuk pertanggungjawaban moral beliau sebagai orang yang pernah membantu Kepala Kampung saat pemilihan Kepala Kampung yang lalu,” cerita Matgeriul kepada beberapa warga Kampung saat mereka berkumpul di Pos Ronda Kampung. Cahaya rembulan diatas kepala.
“Betul, Yang menjadi masalah terlalu banyak orang Kampung kita ini yang menjadi pengilen Kepala Kampung kita ini,” sahut seorang warga Kampung yang memakai baju kaos bergambar calon Kepala Daerah.
“Mereka yang menjadi pengilen Kepala Kampung takut kredibilitas mereka rusak di mata Pak Kepala Kampung. Mereka menjaga citra mereka dihadapan Pak Kepala Kampung dengan cara membabi buta melawan warga Kampung yang mengkritisi kebijakan Pak Kepala Kampung,” sambung warga Kampung yang lainnya.
“Soal kritik yang disampaikan warga Kampung itu sesuai fakta, bagi kaum pengilen Kepala Kampung tidak penting. Dalam pikiran mereka, yang utama adalah jangan ada yang mengkritisi kebijakan Pak Kepala Kampung,” kata warga Kampung yang lainnya.
“Pertanyaannya, apakah mereka dibayar? Mendapat gaji? Naik pangkat?Dan apakah mereka sejahtera dengan menjadi pengilen Kepala Kampung kita itu?” tanya seorang warga Kampung yang memakai topi berlogo sebuah merek dagang terkenal.
Warga Kampung yang berada di Pos Ronda terdiam. Tidak ada yang menjawab. Seketika hening menghampiri Pos Ronda.
Di sebuah rumah yang terletak di ujung Kampung, sekelompok orang sedang berkumpul. Mereka berdiskusi dengan sangat serius. Suara mereka lantang. Bahkan terdengar perdebatan diantara sesama mereka. Sinar rembulan malam mulai menuruni langit.
“Siapapun yang mengkritisi kinerja Kepala Kampung, harus kita lawan. Harus kita serang. Jangan kasih kesempatan dan ruang bagi mereka, warga Kampung ini untuk mengkritisi kebijakan Pak Kepala Kampung,” pinta seorang warga Kampung yang dikenal sebagai loyalis Kepala Kampung.
” Walaupun kritik yang disampaikan warga Kampung itu fakta?” tanya seseorang dari mereka.
“Iya. Kita jangan memberikan ruang sejengkal pun kepada warga Kampung untuk bersuara menyampaikan kritik kepada Pimpinan Kampung kita ini,” sahut loyalis Kepala Kampung dengan suara lantang.
Suara lantang loyalis Kepala Kampung menakutkan cecak yang sedang merayap di plafon rumah. Menakutkan anjing hutan yang sedang mencari mangsa di dekat hutan kecil tak jauh dari rumah mereka berkumpul.
Bagi warga Kampung, kaum loyalis Kepala Kampung itu dikenal dengan sebutan pengilen.
Mereka secara berkerumun menghantam warga Kampung yang mengkritisi kebijakan Pak Kepala Kampung. Terutama di media sosial. Komentar kelompok loyalis Kepala Kampung ini sangat sadis dengan bahasa yang kejam. Bahkan terkadang amat vulgar diksi yang mereka tulis.
“Kalau Pak Kepala Kampung masih berkuasa, kita tidak susah,” ungkap seorang loyalis Kepala Kampung.
“Itu aku setuju. Cuma persoalannya, Pak Kepala Kampung kita itukan kekuasaannya terbatas. Ada durasi waktunya.
Tidak bisa berkuasa seumur hidup, Sementara kita ini sudah distempel sebagai loyalis beliau,” keluh seorang loyalis Kepala Kampung lainnya.
“Betul Kawan. Kalau Pak Kepala Kampung kita tidak berkuasa lagi, masih mungkinkah kita-kita ini menjadi pembela beliau? Kita ini membela Pak Kepala Kampung karena mendapatkan sesuatu,” ungkap loyalis Kepala Kampung yang lainnya.
Semua terdiam. Mulut mereka terkunci.
Markudut merasakan sesuatu yang sangat aneh. Ada sebuah keganjilan yang dirasakannya.
Kritik keras yang dilancarkannya kepada Kepala Kampung di koran tentang pembangunan sebuah Posyandu tidak mendapat respon dari para loyalis Kepala Kampung. Tidak ada respon negatif yang diterimanya lewat media sosialnya. Bahkan yang teramat membingungkannya, semua nitizen yang berkomentar di kolom komentar media sosialnya, justru mendukungnya. Memberikan apresiasi yang tinggi untuk kritiknya kepada Kepala Kampung. Sesuatu yang belum pernah diterimanya selama menjadi kritikus Kepala Kampung.
“Mungkin mereka, kaum pengilen Kepala Kampung sudah sadar diri,” ungkap seorang warga Kampung.
“Iya. Mereka paham bahwa jabatan Kepala Kampung yang mereka bela tidak seumur hidup. Ada batas waktunya,” ujar warga yang lainnya.
“Bisa-bisa, mereka memang sudah tidak menjadi pengilen lagi, karena jobnya sudah selesai,” sambung warga Kampung lainnya dengan diiringi derai tawa para warga Kampung.
Di program Breaking News sebuah televisi berita, seorang reporter televisi melaporkan penangkapan seorang anggota tim relawan mantan seorang Presiden oleh aparat keamanan.
Terlihat dalam gambar di televisi, mantan relawan Presiden itu dibawa ke sebuah rumah tahanan dengan tangan terborgol.
Dulunya relawan itu dikenal sebagai loyalis manten Presiden dan amat getol membela secara membabi buta mantan Presiden di berbagai program talk show acara televisi.
Toboali, Agustus 2025
Catatan:
Pengilen ( bahasa Toboali) : Pembela
Rusmin Sopian adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca ( GPMB) Kabupaten Bangka Selatan.
FB @RusminToboali
Ig @RusminToboali
Cerpennya tersebar di berbagai media lokal dan luar Bangka Belitung.
Saat ini tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik dan kakek seorang cucu yang bernama Nayyara Aghnia Yuna.