Di ufuk senja yang memerah, surau tua itu berdiri seperti rahasia yang terus terpelihara, menyimpan begitu banyak cerita dan kisah lama. Juga doa-doa yang tak pernah diam,- mengalun, menggema saban waktu dalam setiap rentak musim dan keadaan yang terus berlalu.
Tok Halim, tuan Siak atau sang penjaga surau yang sudah renta, hidup sebatang kara di sebuah bilik kecil di surau itu. Anak-anaknya telah pergi merantau ke kota mengejar impian, meninggalkannya seorang diri beserta surau kecil yang mulai lapuk dan kenangan yang membisu.
Meski tinggal seorang diri di surau itu sejak beberapa purnama belakangan ini, malam-malam Tok Halim tak selamanya sunyi. Ia kadang ditemani Ahmad,- bocah lelaki sebelas tahun anak Leman, tetangganya yang baik hati,- yang rumahnya tak terlalu jauh dari surau. Emak Ahmad juga-lah yang setiap hari selalu memasakkan makanan untuknya.
Surau sekaligus menjadi tempat berteduh bagi Tok Halim itu bagai sebuah kapal tua yang kehilangan layar, perlahan-lahan kehilangan keelokan dan keindahannya. Dinding-dindingnya mulai retak, dan atapnya bocor di beberapa tempat. Tok Halim dengan segala keterbatasan yang dimiliki, berusaha menjaga surau itu agar tetap bersih, meski badai kehidupan selalu saja datang menerpa.
Tok Halim sadar betul, sebuah rumah peninggalan orang tuanya, yang selama ini ditempati bersama almarhumah isterinya di baruh, sudah sangat tidak layak lagi. Selain itu, suasana di sekitar rumah tersebut kini semakin sunyi dan jauh dari pemukiman warga, karena banyak diantara mereka memilih pindah ke darat, bahkan ada juga yang pindah ke kota dan kampung sebelah.
Dengan sangat menyesal, di usianya yang semakin renta tak berdaya, Tok Halim terpaksa meninggalkan rumah kesayangannya itu. Pikirnya, biarlah nanti rumah tua beserta tanahnya itu diurus oleh anak-anaknya di kemudian hari.
***
Suatu hari, Tok Halim jatuh sakit. Surau yang biasanya terawat dengan baik, kini mulai dipenuhi debu dan kotoran. Warga kampung yang biasanya menghormati Tok Halim, mulai menuduhnya lalai. Bahkan ada diantara warga dengan tanpa usul periksa mencurigainya telah menghilangkan beberapa barang berharga milik surau.
“Kau sudah tidak sanggup lagi menjaga surau ini! Lebih baik kau serahkan saja kepada kami,” kata Pak Haji, seorang warga kampung yang terkenal keras dan banyak protes.
“Aku masih bisa, Pak Haji. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk memulihkan diri,” jawab Tok Halim datar.
Namun, tak ada yang tahu bahwa Tok Halim yang telah berkepala tujuh ini sebenarnya masih berusaha sekuat tenaga untuk menjaga surau itu, meskipun tubuhnya lemah dan sering sakit-sakitan.
***
Menjelang tengah malam di kampung Tok Halim yang sunyi, bulan di dada langit tak mengambang dengan sempurna. Hanya beberapa butir bintang kecil malu-malu menampakkan diri dalam kepungan awan nan berarak. Dari balik pintu samping surau, ada dua kelebat sosok manusia memaksa masuk ke dalam. Dua makhluk yang tak dikenali ini mencoba mengambil barang-barang yang ada di surau, lebih tepatnya lagi di bagian mihrab surau.
Tok Halim yang masih terjaga menyadari hal itu. Sementara Ahmad yang sudah terlelap di sampingnya sejak selepas Isya tadi dibangunkannya dengan suara yang sangat perlahan dan hati-hati.
Di dalam remang cahaya yang hanya disinari sebuah bola lampu kecil di bagian dalam surau itu, Tok Halim terus memperhatikan gerak gerik dua pencuri yang sedang melakukan aksinya. Dari celah daun pintu bilik-nya yang sedikit agak terbuka, matanya bagai mata elang yang terus mengawasi. Ia sepertinya telah merencanakan suatu tindakan yang bisa saja dilakukan bila keadaan benar-benar memaksa.
“Ahmad, engkau di sini saja dulu! Jangan kemana-mana, ya!”
Ahmad, yang dirinya antara sadar dan tidak, hanya mengangguk-ngangguk menuruti perintah Tok Halim. Ia kemudian membetulkan duduknya serta memperhatikan orang itu, namun tetap waspada dan membaca situasi.
Seketika pula dan tanpa pikir panjang, Tok Halim yang masih menyimpan darah muda dan sisa-sisa kependekarannya itu kemudian mengendap-ngendap. Ia harus keluar dari bilik dan berusaha mencegah, melawan kedua pencuri itu. Dan tak ayal lagi, pertarungan sengit pun terjadi dan tak terelakkan. Tapi naas, dalam pergulatan itu Tok Halim terluka. Paha kanannya terkana tusukan sebilah pisau yang dipergunakan salah seorang dari pencuri itu.
Mendengar Tok Halim mengaduh kesakitan, kedua pencuri itu kemudian pontang-panting melarikan diri tanpa sebarang barang curian pun yang berhasil dibawa pergi. Walau demikian, Tok Halim merasa puas, beberapa pukulan kerasnya tadi sempat mendarat tepat ke pipi kiri salah seorang dari pencuri itu. Pukulan Tok Halim membuat pencuri itu terpelanting di sudut lemari yang menyimpan berbagai perkakas elektronik milik surau.
Malam itu sekitar pukul satu lewat setelah kejadian yang menggemparkan, Tok Halim sesegera mungkin dibawa ke Puskesmas terdekat oleh Leman untuk mendapatkan perawatan. Meski lukanya tergolong parah dan banyak mengeluarkan darah segar, namun Tok Hasan masih dalam keadaan sadar dan dapat berkata-kata.
Setelah beberapa jam penangangan serius selesai dilakukan terhadap luka tusukan yang dialami Tok Halim, menjelang Subuh ia baru dibenarkan pulang oleh dokter dan perawat yang menangani. Hanya saja Tok Halim belum dibolehkan bergerak secara bebas, karena lukanya memerlukan waktu yang cukup untuk sembuh.
Keesokan harinya, Ahmad yang pada malam itu berada di surau menemani Tok Halim, dan bahkan secara langsung menyaksikan kejadian itu, menghampiri Pak Idris, salah seorang pengurus surau dan beberapa warga kampung yang tengah menjenguk Tok Halim di rumahnya. Di hadapan mereka, Ahmad menunjukkan video yang sempat direkamnya melalui sebuah ponsel dari sebalik pintu bilik Tok Halim.
“Lihat ini, Pak Idris! Tok Halim melawan pencuri-pencuri itu!” kata Ahmad dengan polos serta matanya yang berbinar seketika.
Pak Idris dan beberapa warga kampung yang melihat video itu, merasa terkejut dan sangat bersalah. Mereka malu kepada Tok Halim. Begitu pula Pak Haji yang kebetulan turut menjenguk,- yang selama ini selalu berprasangka bukan-bukan mengenai Tok Halim. Mereka sadar, bahwa Tok Halim bukanlah lelaki yang lalai, melainkan seorang tuan Siak, penjaga surau yang setia dan berani.
“Ya Allah! Kami selama ini telah salah menilaimu, Tok Halim!” kata Pak Haji dengan nada penuh sesalan, dan dengan tulus meminta maaf.
***
Tiga hari setelah musibah itu berlaku ke atas diri Tok Halim, warga kampung beramai-ramai mendatangi rumah Leman untuk menemuinya. Mereka dengan penuh penyesalan meminta maaf kepada Tok Halim yang kini sedang dirawat. Mereka pula berjanji untuk selalu membantu dan menjaga surau itu bersama-sama nanti.
Sementara Tok Halim, meski mengalami luka yang cukup serius dalam suatu peristiwa yang tak diinginkannya di malam itu, tampak tersenyum lega. Ia tahu bahwa surau tua itu sebenarnya tidak hanya tempat ibadah, melainkan juga menjadi simbol persatuan, persaudaraan dan kebersamaan yang kokoh antar sesama warga dan jamaah yang memakmurkannya.
“Terima kasih. Aku senang kalian hari ini telah menyadari semuanya,” ucap Tok Halim dengan nada suara yang terdengar agak parau, menahan semua rasa nyeri pada paha kanannya yang dibaluti kain perban.
***
Matahari sebentar lagi akan terbenam di ufuk barat. Tok Halim masih terbaring lemah di atas tilam di ruang tengah rumah Leman yang sederhana itu. Namun hatinya merasa sangat damai dan tenang sekali. Ia tahu bahwa surau tua itu selamnya akan tetap berdiri, dipenuhi oleh orang-orang yang ingin shalat berjamaah dan mengaji. Tok Halim juga yakin, anak-anaknya akan kembali jua suatu hari nanti.
Untuk saat ini, ia hanya berdoa dan berharap agar bisa kembali ke surau itu, menyapu dan membersihkan pekarangannya. Ia juga rindu akan alunan doa-doa yang lembut, dan merasakan hangatnya kebersamaan setiap jamaah yang datang di waktu-waktu shalat fardhu tiba. Ya, termasuk mereka para warga kampung yang kini telah sadar betapa pentingnya memakmurkan surau, kembali menjalin manisnya hubungan silaturrahmi dan kasih sayang antar sesama.
Belum selesai ia membayangkan betapa indahnya kebersamaan dan suasana penuh persaudaraan di surau tua itu, tiba-tiba pintu depan rumah Leman terdengar suara seseorang mengucapkan dan terbuka. Tanpa diduga, anak-anak Tok Halim muncul di depan pintu ditemani Ahmad. Anak-anak Tok Halim rupanya telah mendengar tentang peristiwa itu, dan secara bersama-sama menyempatkan pulang menemui dirinya yang tengah mendapat musibah.
“Ayah! Kami sangat menyesal karena tidak mampu menjaga Ayah,” ucap Bidin, anak Tok Halim yang sulung.
“Kami tak seharusnya membiarkan ayah sendiri di surau itu,” sambung Zainab yang berurai juga air mata. Anak bungsunya itu menangis tersedu-sedu di pelukan Tok Halim.
“Betul, Ayah! Maafkan kami. Kami janji setelah ini akan selalu ada untuk Ayah,” timpal Bidin lagi seraya mendekat dan memeluk tubuh Tok Halim yang tengah terbaring lemah. Hal yang sama juga dilakukan Atan, anak keduanya. Mereka kemudian saling berangkulan dan menangis sejadi-jadinya.
Melihat anak-anaknya datang dan menyesali semua yang telah terjadi, Tok Halim tersenyum merasa bahagia. Ia tahu bahwa anak-anaknya masih peduli padanya, dan surau tua itu seolah-olah menjadi saksi atas segala penyesalan dari anak-anaknya yang selama ini menelantarkannya.
“Anak-anakku…! Aku sangat bangga dengan kalian. Aku juga tahu kalian adalah anak-anakku yang baik. Hanya saja mungkin kalian terlalu fokus dengan pekerjaan dan kesibukan kalian masing-masing!”
Seketika suasana di rumah Leman di senja yang bertuah itu menjadi hening. Angin dan dedaunan seperti mati. Untuk beberapa saat kemudian tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Tok Halim dan ketiga anaknya. Begitu juga dengan Ahmad, anak semata wayang Leman itu yang sejak tadi duduk teroekur, pun diam mematung memperhatikan episode-spisode berikutnya dari pertemuan antara ayah dan anak yang mengharukan itu.
“Aku ingin sekali mendengar suara kalian mengaji di surau tua kita itu, seperti waktu kalian masih kecil dulu, belajar mengaji bersama almarhum Pak Imam Saidi,” tiba-tiba Tok Halim berucap demikian. Nada suaranya masih tetap lemah, namun mengandung pesan dan penuh harapan.
Bidin, Atan dan Zainab mengangguk. Mereka saling pandang. Ketiganya pun berjanji akan mengabulkan permintaan ayahnya itu.
***
Suasana senja menjelang Magrib di rumah Leman petang itu benar-benar diliputi kesyahduan yang menderu. Tak lama waktu berselang, terdengar pula lantunan ayat-ayat suci al-Quran dari pengeras suara yang ada surau, menandakan sebentar lagi azan Magrib akan segera berkumandang. Tok Halim yang mendengar suara itu sayup-sayup, kiranya hafal betul, bahwa suara itu adalah suara Bidin putra sulungnya.
Bagai mendapatkan sebuah energi baru, seketika lelaki yang telah berusia senja itu memaksa diri untuk bangkit dari tempat tidur. Kepada Leman, Ahmad dan Atan ia meminta agar bersedia menuntun dan memapahnya ke sumber suara yang sangat dikenalinya itu. Benar saja, ia kini telah dihinggapi rasa rindu yang kian dalam. Rindu pada suara anak sulungnya yang sedang mengaji, lebih-lebih lagi kepada tumpukan-tumpukan al-Quran dan surat Yasin, serta aroma surau yang dalam seminggu dua ini ia tinggalkan.*
Bengkalis, Agustus 2025
Marzuli Ridwan Al-bantany, adalah penulis dan penyair. Ia bermastatutin di Bengkalis Riau. Sejumlah buku cerpen yang pernah ditulis dan dibukukannya berjudul Burung-Burung yang Mengkapling Surga (FAM Publishing, 2018), dan Pada Senja yang Basah (Dotplus Publisher, 2021).