Ayah Pahlawan Keluarga: Cerpen Kumala Dewi

671

Loading

Bendera Merah Putih telah berkibar di angkasa nan biru menantang langit yang luas. Merdeka itu teriakan yang terdengar dengan pekikan nyata. Dahsyat sekali menggema di ruang angkasa biru. Baju lusuh banyak bintang disana sini seakan mentertawakan diriku kata ayah. Ayah mulai bercerita satu persatu kejadian yang pernah dialaminya. Saya pernah tidak makan beberapa hari cuman minum air putih saja. Kerak nasi rasanya bukan main seenak nasi goreng sekarang.
“Wahai anak-anakku ayah bergumam, seandainya saya mati bagaimana kehidupan kalian nantinya”. Dunia sangat luas kadang tidak bertepian, pandailah menggunakannya. Ayah seorang petani karet menyadap pohon karet setiap hari. Musim hujan pun mulai menghampiri kehidupan keluarga. Rintik –rintik hujan membasahi bumi yang mulai kering. Kepanikan diwajah ayah mulai kelihatan keuangan keluarga mulai tipis.
“Aduh-aduh perutku sakit rintihan Fahira anak ayah paling bungsu. Elin sering sakit perut suka jajan sembarangan. Kerutan wajah ayah mulai bergelombang bagaikan gelombang samudera Indonesia. Permasalahan pertama mulai muncul sakitnya bisa berlarut-larut. Aduh ! keluh ayah sambil menatap rintik-rintik hujan. Belum lagi belanja mingguan tambah anakku sakit, yah…terpaksalah bawa berobat. Ujung-ujungnya duit.
Ayah … ayah… ayah… Sayid anak ayah yang paling tua memanggil sambil melompat-lompat kegirangan. Alhamdulillah aku lulus SNMPTN di USU sambil memeluk ayahnya. Ayah pendidikannya cuman sampai kelas lima SD tak paham apa yang di ucapkan oleh si Sayid. Bigung bercampur sedih masih memikirkan ekonomi keluarga. Masih memikirkan bagaimana mendapatkan uang di musim hujan ini. Biasanya ayah menyadap pohon karet sekarang nggak lagi. Waduh …sambil memukul kepala dengan tepukan kecil. Bagaimana ini gawat, benar benar gawat seperti perang Agresi Belanda I saja.
“Ayah dengan suara lembut dan senyum Sayid menyapanya”. Coba tenangkan dulu pikiran ayah bawa senyum Pepsodent yah. Sayid sambil bercanda dan menggoda ayahnya. Gak usah panik dan risau nanti ada jalan keluarnya. Hmmm sambil tersenyum ayah memandang anaknya Sayid. Aku bangga denganmu nak kejarlah impian dan ciita-citamu. Ayah berkata cuman mengobati dan memberikan harapan kepada anaknya. Ini permasalahan kedua oleh ayah.
Ayah juga memiliki anak kembar keduanya perempuan manis dan cantik. Kembar ini sudah duduk dibangku SLTP mereka sifatnya agak rewel dan sedikit manja. Aduh si kembar punya permintaan yang membuat ayah tambah panik. Kepanikan mulai memuncak sampai keubun-ubunnya. Kenapa tidak kembar minta belikan sepeda motor baru, aduh…kata ayah benar–benar pusing tujuh keliling kepalaku ini. Permasalahan ketiga mulai muncul kepermukaan.
Si Fahira sakit perut harus dibawa berobat kedokter namun BPJS-nya masih berutang sudah beberapa bulan tak dibayar. Keuangan keluraga menipis semenjak musim hujan mulai muncul. Uang belanja dapur pun surut ibarat air laut pasang surut. Ayah mendekati anaknya memulai bicara sambil tersenyum simpul. “ Saya takkan membiarkan kalian terhimpit kesulitan yang pernah ayah alami semasa kecil”. Cuman gara-gara uang sekolah berhenti ditengah jalan, padahal jalan masih panjang, kata ayah kepada anaknya. Ayah sangat berharap kepada kalian semuanya jadilah yang terbaik.
Iya ayah jawab keempat anaknya, inshaallah kami akan menjunjung tinggi nasehat ayah selama kami hidup di dunia. Alangkah bahagianya ayah mendengarkan jawaban anak-anaknya. Di luar dugaan jawaban yang polos terlontar dari mulut mungil anak-anaknya.
Bagaimana kelanjutan cerita kelulusan Sayid di USU Medan? Pertanyaan sulit untuk dijawab teka-teki silang tingkat tinggi. Hitung-hitung angkanya agak sulit nih, perlu perjuangan berat medannya berliku-liku dengan tanjakan tujuh tingkatan. Ibarat kata seperti itu kata ayah kepada Sayid. Bagaimana ini yah! Kata Sayid kepada ayahnya. Perhitungannya bayar UKT nantinya setiap bulan biaya kehidupan sehari-hari juga angka tak terduga. Tanggapan ayah bagaimana apakah ayah setuju apa tidak, Sayid bertanya lagi kepada ayah. Jawab singkat dari mulut ayah Inshaallah lanjutkan pendidikannmu itu.
Kepala ayah berdenyut-denyut rasa mau pecah permasalahan ada tiga untuk diselesaikan bersamaan dan beruntun. Apakah ayah bisa menyelesaikannya? Bagaimanakah ayah menyelesaikannya? Sebuah pertanyaan esai yang harus di jawab panjang dan lebar. Tepat akurat dan terpercaya, sungguh sulit kata ayah. Pikir-pikir dulu dan hitung hitung matematika tingkat sulit. Semoga ayah bisa menyelesaikan segala urusan keluarganya dengan baik. Di suatu malam ayah terbangun lansung ke kamar mandi sambil berwuduk. Salat Tahajjud dan salat Witir berdoa untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami keluarganya.
Bu sapa ayah kepada istrinya, iya jawab ibu dengan tenang. Ada apa kata ibu sambil menyodorkan kopi panas buatannya. Kita masih memilki harta yang bisa dijualkan? O… kata ibu sambil senyum manis masih ada yah. Ibu menjawab dengan nada datar saja. Emangnya kenapa yah tanya ibu padanya. Ayah berkata terputus-putus anu bu, eh maaf bu apa boleh bercerita?. Ayah bertanya kembali pada ibu. Boleh yah jawab ibu. Kita perlu banyak uang pada bulan ini semuanya harus diselesaikan.
Beban ayah terlalu berat untuk dipikul sendiri sementara ibu hanya bekerja di rumah mengurus rumah tangga dan anak-anak. Melunasi BPJS yang menunggak tak begitu memberatkan ayah, ongkos kuliah Sayid paling berat sekali untuk membeli motor baru bisa belakangan saja. Otak berputar bagaikan sumbu poros yang sedang bekerja. Ayah bicara dalam hati, ada beberapa harta berharga yang dapat di jual. Apakah ayah mau menjual beberapa ekor ternaknya? Mungkin saja iya.
Nguak, nguak, nguak bunyi suara kerbau ayah di kandangnya tak jauh dari rumah. Sambil mengangkat tangan menghitung jumlah kerbaunya. Kerbau jantan biasanya harga pasaran mahal. Ayah berangkat menuju pasar sekitar kampung sambil membawa beberapa ekor kerbaunya. Di tengah jalan menuju pasar ayah di sapa teman, sambil bertanya. “ Mau kemana bang tegur sapa orang itu pada ayah. “ Ke pasar rencananya mau menjual beberapa ternak ini” jawab ayah seadanya. O begitu ya, jawab orang tadi. Tanya lagi bang kenapa dijual kerbau ini, masih jauh lagi bulan haji. Tanya orang tersebut dengan seenaknya. Masih nyinyir orang yang menyapa ayah di jalan tadi. Agak sulit saya menjawabnya kata ayah dengan nada datar. Orang itu pun berlalu meninggalakan ayah dijalan. Ayah pun mulai berjalan menuju pasar.
Hati ayah penuh kecemasan dan ragu, benar juga kata orang tadi. Seandainya saya jual kerbau ini pada bulan seperti ini harganya agak murah. Kalau bulan haji bisa mahal terjual. Berkecamuk di benak ayah ibarat perang dunia ketiga. Waduh… sambil berkata sendiri di tengah jalan. Astaghfirullah ayah mengucap kenapa setan mudah masuk kepikiran saya. Yah begitulah jalan kehidupan selalu ada masalah. Kadang kita diberikan ke lapangan ayah berseru dalam hatinya. Tapi ini sulit rasanya saya coba untuk menyelesaikan demi anakku yang terkasih.
Tak berapa lama ayah sampai dipasar sambil mencari toke pembeli ternaknya. Menunggu beberapa saatnya bagaikan beribu tahun lamanya. Pak Haji Syukur menghampiri ayah sambil melihat kerbau dagangan ayah. Tawar menawar antara ayah dengan pak Haji Syukur agak lama sekali. Eh…akan tetapi pak Haji menawarnya tak masuk akal. Ah .. terlalu murah pak, seru ayah. Mahalkanlah sedikit harganya pak ini keperluan mendesak untuk anak-anakku. Akhirnya tidak ada kata kesepakatan hari pun mulai siang namun ayah masih di pasar menunggu pembeli kerbaunya.
Matahari mulai condong ke arah Barat pertanda mulai sore ayah pulang menuju rumah dengan penuh rasa kecewa. Kerbau-kerbaunya di masukan ke kandang satu persatu. Ah … ayah merasa letih dan kecewa. Sesampai di rumah ayah melihat anak-anaknya yang masih mengununggunya. Ayah … ayah … ayah … sapa semua anaknya. Sabar ayah makan dulu dan istirahat kata Sayid anaknya. Mereka makan malam bersama dengan menu seadanya. Malam semakin larut dan cuaca dingin menusuk tulang. Malam pun berlalu.
Di ufuk timur kelihatan mulai terang pagi menyonsong kehidupan manusia. Perlahan matahari muncul dengan wajahnya penuh senyum pesona. Menyapa pagi penuh makna. Pagi – pagi buta ayah sudah bangun untuk mencari nafkah. Tiba – tiba dari kejauhan terdengar suara seseorang memanggil manggil, bang… bang… bang…begitu bunyinya. Eh… ternyata seseorang mencari ayah rupanya. Pedagang kerbau yang di temui ayah semalam di pasar. Ada apa kata ayah kepada pak Haji Syukur tersebut. Kok masih pagi sudah mencari saya tanya ayah memangnya ada apa pak Haji? Ayah masih bertanya. Anu.. anu.. anu..bang begitu kata yang terucap oleh pak Haji Syukur. Ini mau lihat ternak abang nih boleh nggak ya, tanya beliau pada ayah. Boleh ayah pun menjawab.
Akhirnya pak Haji Syukur membeli beberapa ekor kerbau ternak ayah. Terjual mahal juga ternaknya bisa untuk membayar tunggakan BPJS untuk membawa Fahira berobat ke dokter. Sayid penuh senyum dan bahagia mendengar ternak ayah laku terjual. Untuk biaya kuliahnya pun sudah di ambang kenyataan. Si kembar pun dapat kendaraan motor yang diimpikannya. Alhamdulillah seru ayah pada anak-anaknya semua sudah diselesaikan dengan penuh keikhlasan.
Ayah memang betul-betul gigih memperjuangkan ekonomi keluarga. Terima kasih ayah seru Fahira. Oh ayahku terima kasih semuanya kata Sayid. Si kembar mencium kening ayahnya tanda ucapkan terima kasih. Ayah pahlawan keluarga. Fahira, Sayid dan Si kembar hening dalam suka cita. Mereka berdoa agar ayah murah rezeki dan dalam perlindungan Allah SWT.

Kumala Dewi, M.Pd lahir di Kuok, 15 September 1977. Pendidikan terakhir S2 UNP Padang tamat tahun 2014. Sebagai guru SDN 014 Siabu Kecamatan Kuok pada tahun 2005 mulai tahun 2006 – 2023 mengajar di SDN 016 Pulau Jambu Kecamatan kuok Kabupaten Kampar. Pada tahun 2023 ini pindah tugas di UPT SD Negeri 006 Kuok Kecamatan Kuok Kabupaten Kampar Provinsi Riau.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

1 Komentar
  1. Syahru Ramadhan mengatakan

    Very good sir