

12 April 2024. Daun yang berjatuhan di sepanjang jalan menari indah disapa oleh angin sepoi pertanda musim gugur telah tiba. Jalanan di sekitar Patung Liberty itu terasa sunyi. Kicauan merpati terdengar merdu sebab tak banyak orang berlalu lalang. Semenjak saat itu, New York terasa hampa. New York pada awalnya adalah tempat ia pulang. Semenjak luka itu, New York adalah tempat yang selalu ia hindari. Gressida Hartigan terpaksa menemani sahabat karibnya untuk kembali ke tempat itu. Padahal Gress sudah hampir melupakan kenangan itu. Kembali ke sini membuatnya Deja Vu. Disya, sahabat karib Gress memiliki pekerjaan ke New York dan ini kali pertama Disya ke sana. Sebagai orang yang sudah 5 tahun menetap di New York, Disya meminta Gress menemani nya. Gress sudah bersikeras untuk menolak ajakan itu, tetapi orang tua Disya memohon agar anak semata wayang mereka tidak tersesat nanti. Mendengar perkataan orang tua disya, Gress pun tidak bisa menolak ajakan itu.
“Gress, temenin i ke museum dong. Pleaseeee…. u tahu sendiri i gabisa baca map.” Disya memohon. Metropolitan Museum of Art, sebuah museum yang terletak ditengah kota New York.
“No. Sama temen u aja pergi nya. I masih cape Dis. Lagian ya, kita tuh kemarin udah seharian di Lego Land.” Gress menggeleng dan menarik selimutnya. Merubah posisi tidurnya membelakangi Disya.
“Awwhh, come on. I penasaran banget sama museum satu itu. Katanya bagus banget, U sendiri udah pernah kesana kan sama-”
“Stop. Fine I’ll go.” Gress menghela napas dan menutup mulut Disya menggunakan jari telunjuk nya. Disya bersorak girang dan segera bersiap untuk pergi.
Dengan mengenakan sweater, celana jeans serta jaket bleazer berwarna cream. Gress menemani Disya menuju The Museum of art. Mereka berdua menaiki bus untuk menuju kesana. Suasana Kota New York kini tidak terlalu ramai. Mungkin karena hari ini adalah hari istirahat para pekerja kantoran. Sepanjang perjalanan, Air on the G string from suite No.3 mengalun indah di dalam bus. Gress ingat lagu ini. Alunan lembut yang masuk dan menusuk hati nya. Bell bus tanda telah sampai di tujuan berbunyi. Mereka berdua segera turun dari bus. Angin menyambut kedatangan mereka.
“GRESS, INDAH BANGET!!!” sorak Disya sambil sibuk memotret gedung museum itu.
“I know.” Gress hanya tersenyum dan beranjak masuk ke dalam museum bersama dengan Disya.
Didalam museum itu. Disya sibuk memotret dan terpesona dengan patung serta lukisan. Sedangkan Gress sedari tadi hanya berdiri didepan salah satu lukisan, termenung. Lukisan Bridge Over the Lily Pond (1899) karya Claude Monet termasuk salah satu kenangan yag ingin dia lupakan. Lukisan itu menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka. Dari situ lah kisah itu dimulai.
Hari itu adalah hari dimana seorang Gressida Hartigan sedang mencari referensi untuk tugas kuliah nya. Ia terkesima dengan lukisan Bridge Over the Lily Pond (1899) karya Claude Monet. Gress menyalin seluruh informasi yang ada di bawah lukisan tersebut hingga seorang pria seumuran dirinya menghampiri.
“Excuse me, Kamu lagi nyari referensi juga ya?” Tanya pria itu dengan senyum yang terpampang di wajahnya. Dengan Bahasa inggris yang fasih, Gress menjawab kembali dengan ramah. Dari pertemuan itu, Gress mengenal seseorang yang sangat penting baginya. Orang itu bernama Nathaniel Zuckwenberg. Pria itu satu fakultas dengan Gress. Dia juga orang yang pergi ke Kota New York untuk menempuh ilmu lebih tinggi. Nathan adalah pria berkebangsaan Belanda.
Semenjak hari itu, Gress dan Nathan menjadi dekat. Mereka sering pergi bersama untuk mencari referensi atau sekedar menikmati keindahan museum serta Kota New York. Mereka bahkan sampai menjalin hubungan asmara. Orang-orang di kampus sering sekali iri pada mereka karena kedekatan serta keseruan mereka sebagai pasangan. Mereka benar-benar pasangan yang langka dan serasi.
5 April 2017, ini adalah hari ulang tahun Gress yang selalu dinantikan oleh Nathan. Di ulang tahun yang ke 22 ini, Nathan ingin mengajak Gress berjalan-jalan dimana mereka pertama kali bertemu, Metropolitan Museum of Art. Pagi hari itu, Nathan sudah menjemput Gress menggunakan mobil nya. Seharian itu Nathan memanjakan Gress dengan mengajak nya berbelanja, makan di restoran mewah serta bermain di pantai. Setelah sore hari tiba, mereka sampai di Metropolitan Museum of Art. Gress merasa kebingungan karena Nathan memarkirkan mobilnya.
“Loh? Kita mau ngapain disini?” Tanya Gress sambil turu dari mobil, sedangan Nathan sudah berdiri sambil memegang gagang pintu mobil. Memperlakukan Gress layaknya ratu.
“Bring back our memories, Gress. This way, Mi Lady.” Nathan menggegam tangan Gress, Gress terkekeh pelan, begitu pula Nathan.
II. Andante grazio menggema di dalam museum. Museum di malam hari terasa sepi. Itulah hal ter enak yang pernah mereka rasakan. Metropolitan Museum of Art sangat damai dimalam hari. Mereka melihat-lihat lukisan serta patung-patung disana. Hingga sampai lah mereka di lukisan itu. Lukisan yang menjadi saksi bisu pertemuan mereka. Nathan dan Gress menikmati lukisan itu. Kini alunan Fantasia in D Minor, K. 397 terdengar. Senyum Nathan menghilang dan berubah menjadi sendu. Gress yang mengetahui hal itu tak tinggal diam. Ia menggenggam tangan kekasihnya.
“Hey, what’s wrong?” Ucap Gress risau. Nathan hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Nothing. Ah- Gress. Bolehkah aku menanyakan sesuatu? Tapi kumohon, jangan bersedih.” Gress mengangguk dan menelan ludah. Ia tau ini adalah masalah yag serius. Nathan mengambil napas dalam-dalam.
“Maaf jika kau berharap lebih dengan ku. Mungkin ini akan menjadi perayaan terakhir kita bersama dan aku…aku sungguh minta maaf.” Napas Gress tercekat. Apa maksudnya? Gress benar-benar tak mengerti.
Nathan merasa bahwa ia harus mengatakan semuanya sebelum terlambat. Malam itu Gress pulang sambil menangis. Ia butuh penjelasan tentang hal itu. Gress memutuskan untuk tidur dan tak menghiraukan hal itu lagi. Kali ini dia akan berfokus pada study nya. Seiring berjalannya waktu, Gress dan Nathan kini benar-benar tidak bertemu. Mereka benar-benar telah selesai. Gress kini menghabiskan waktu luangnya untuk menikmati drama di apartemennya.
“Heh, jangan bengong, nanti u kemasukan hantu museum. HAHAHAH.” Disya menepuk bahu Gress. Gress tersadarkan dari lamunanya dan ikut tertawa bersama Disya. Setelah puas melihat seni di museum itu, mereka pun segera kembali ke apartemen dan beristirahat karena hari masih sangat panjang. Dua hari berlalu, kini Disya mengajak Gress mengunjungi Patung Frederic Auguste Bartholdi atau yang biasa dikenal dengan nama Liberty. Patung yang menjadi simbol kota New York ini sangat ramai diminati di banyak kalangan. Tujuan Disya kali ini murni untuk menenangkan diri dan bukan mencari ide seperti saat di Metropolitan Museum of Art dua hari lalu.
Disya dan Gress memutuskan untuk pergi kesana di sore hari karena suasana siang hari sangat panas. Sore hari pun tiba. Seperti biasa mereka pergi menggunakan bus. Sesampainya di kawasan itu, Disya ingin berjalan-jalan sendiri begitu pula dengan Gress. Gress memilih untuk berjalan kaki menyusuri daerah sekitar patung. Ditemani oleh angin sepoi-sepoi serta burung merpati yang berkicauan. Angin itu menghembus lembut, membuat rambut hitam panjang Gress tergerai. Disepanjang jalan itu, ia terpikir dengan salah satu kenangan menyakitkan. Kenangan yang membuatnya benci Kota ini serta bersumpah untuk tidak kembali kemari.
Malam itu. Angin dan cuaca sepertinya tidak berada di pihak Gress. Padahal sebelum pergi ke sini, langit malam sangat cerah dan mendukungnya untuk membersihkan pikiran sambil mendengar Moonlight Sonata 1st Movement. Pikiran dan kenangannya bersama Nathan. Tapi nyatanya, awan menutupi bulan yang bersinar cerah. Angin kini seperti benci pada nya dan menusuk kulitnya. Hingga ia tersadarkan dengan nada dering smartphone nya. Itu adalah nomor Nathan. Gress menjawab telfon itu. Mata Gress terbelalak mendengar kabar dari telfon tersebut. Gress sontak berlari dan masuk ke dalam taxi. Menuju rumah sakit yang sudah ia ketahui. Sesampainya dirumah sakit, ia terlambat. Kini orang yang sangat penting dalam hidupnya telah hilang selamanya. Gress teringat dengan malam ulang tahunnya yang ke 22.
“Maaf jika kau berharap lebih dengan ku. Mungkin ini akan menjadi perayaan terakhir kita bersama dan aku…aku sungguh minta maaf.” Suara Nathan menggema dikepala nya. Kini Gress paham yang Nathan maksud. Kali ini Gress berusaha melepasnya. Agar Nathan menjadi tenang dialam sana. Semenjak kematian seorang Nathaniel Zuckwenberg, Gress memutuskan untuk menyelesaikan study nya dan memilih mencari pekerjaan di Indonesia. Kembali ke tempat asalnya.
“Gress, I udah lesai nih, eh u kok sering bengong sih… sorry kalau I buat u jadi inget hal yang ingin u lupain.” Gress hanya tersenyum lembut kepada sahabat karibnya itu. Ia tak menyalahkan siapapun di sini. Ini memang sudah takdir yang ia miliki. Kini Gress sudah bisa menerima takdirnya. Jika ia merindukan orang itu, Ia hanya berdiam diri dikamar, membiarkan angin malam menusuk kulitnya dan memeluk dirinya sendiri.
15 April 2017, adalah hari seni sedunia. Hari dimana dunia seni muncul. Hari dimana semua orang berbahagia dan berkunjung ke festival seni. Tetapi tidak dengan Gress. Hari itu adalah hari yang sangat ia benci. Hari yang paling susah ia lupakan. Hari dimana ia menangis, memeluk dirinya sendiri dikamar tidur sembari mengingat dirinya, Nathan, serta kisah mereka di lukisan Bridge Over the Lily Pond.
“Aku akan selalu mengenang mu lewat lukisan itu, Nathan.”
– Gressida Hartigan 15 April 2024
TAMAT.
5 Mei 2024
Yansi Aresta Camila X.4 MAN 1 Pekanbaru