

Judul ini terasa puitis sekali, namun tulisan ini akan menceritakan perjalanan dan jibaku menghidupkan sastra di Riau ini. Perjuangan mengerlipkan sastra lewat karya-karyanya adalah hujan yang menyejukkan dan menumbuhkan ladang sastra di Riau. Karya-karya sastra yang saling melengkapi sesuai dengan karakteristik komunitas sastra yang diikutinya. Ada yang menghujankan Riau dengan literasi konservasi (Komunitas Rumah Sunting), kemelayuannya (Suku Seni Riau), sastra anak (Salmah Creative Writing), prosa (Forum Lingkar Pena Riau), seni teater (Jaringan Teater Riau), literasi digital (Ayse Brand), dan komunitas lain yang selalu berupaya menghujankan sastra Riau dengan identitasnya masing-masing.
Hujan Bukan Gerimis
Hujan yang dituangkannya memberikan kesejukan serta geliat kebersamaan dengan konsep komplementer. Saling melengkapi hujan-hujan yang lain. Tidak ada yang menganggap yang memberi kesejukan lewat hujan hanya komunitasnya sedangkan yang lain hanya angin, rinai, dan hanya gerimis.
Istilah gerimis ini menjadi ide ketika hasil bincang sederhana sesama penggiat komunitas masih ada anggapan gerakan sastra yang dilakukan oleh komunitas sastra lain itu seperti gerimis. Tentu menggelitik, lantas bila hanya dianggap gerimis, maka siapakah yang menjadi hujan?
Sangat disayangkan pernyataan tersebut muncul dikala kita sedang bersama membangun kekuatan sastra Riau dengan multigerakannya untuk mengangkat literasi Riau ke permukaan yang tinggi. Sepertinya perlu membuka cakrawala sejarah dan meluangkan menilik jendela-jendela media sosial komunitas-komunitas lain yang terus bergerak dengan caranya masing-masing untuk menghujankan sastra di Riau ini. Tidak menjadi “katak dalam tempurung”. Sempitnya dunia.
Sastra Dungu
Istilah inipun menarik dikemukakan selain istilah gerimis. Istilah yang muncul dari salah satu penggiat sastra di Riau ini melalui media sosialnya. Guliran istilah itu tentunya menjadi lebih menarik kala dituangkan dalam tulisan agar tampil lebih elegan.
Istilah dungu tentunya kita semua sudah mengenalnya. Bahasa sederhananya kebodohan. Sastra dungu mengandung arti sastra (karya dan aktifitasnya) membuat penulis karya sastra atau pelaku sastra menjadi bodoh dengan sastra tersebut.
Kebodohan dalam bersastra dapat saja terjadi karena hadirnya politik sastra oleh sekelompok orang yang menjadikan pelaku sastra sebagai obyek kegiatannya atau memudarnya idealisme pelaku sastra dalam menyikapi kegiatan dalam bersastra. Silah ditafsirkan sendiri pernyataan tersebut. Harapannya tulisan ini menjadi bahan kontemplasi bahkan polemik berikutnya. Salam sastra!
Bambang Kariyawan Ys., penulis dan Pengurus Pusat Forum Lingkar Pena.