Rindu Dan Tapak-Tapak Melayu di Benua Biru | Catatan Bambang Kariyawan Ys

191

RINDU DAN TAPAK-TAPAK MELAYU DI BENUA BIRU

Bila saatnya datang

Saat itulah kau harus pulang

Ketika ilalang terus menggelitik riang

Ujung jarimu yang mengambang

Di antara butiran salju yang mulai hilang

(Pulang, h. 183)

Pernahkah kita merasakan sensasi membuat puisi yang kita persembahkan buat seseorang? Tentunya seseorang tersebut kita tuangkan dalam puisi karena ada kesan khusus dan mendalam akan pengalamanan yang dijalani. Biasanya kepingan dan Pernik kenangan bersama seseorang tersebut akan kita letakkan pada bait-bait puisi kita. Kita pilih diksi terbaik akan kenangan bersamanya. Puisi yang dihasilkan terasa berkesan dan ketika kita sampaikan pada yang kita tujukan. Biasanya akan berlanjut pada kerekatan hati yang lebih antar penyair dan penerima puisi persembahan tersebut. Istilah lainnya puisi mengikat silaturahmi.

Dari 43 puisi dalam Pulang terdapat  9 puisi yang secara khusus ditujuan untuk seseorang dengan dicantumkan nama. Meski sebenarnya puisi ditulis tentunya ditujukan untuk personal, keadaan, dan lain sebagainya. Kepada “Damsiah”, “Zia dan Abhiv”, “Mansur S”, “HJ”, “RDK”, “Samson Rambah Pasir”, “YY”, “Al Azhar”, dan “Peppy dan Nizar”. Puisi persembahan akan mengharubiru ditulis untuk orang terbaik dalam selimut kerinduan di peantauan.

Dodoimu, ibu

Terus terngiang

Memanggilku untuk pulang

Di sekat-sekat waktu

Rindu terus bertalu

(Musim Gugur Pertama: Damsiah, h. 31)

Simbol-simbol perantauan ke benua biru dengan putaran musimnya pun hadir. Diksi “musim gugur”, “musim dingin”, “musim semi”, “musim panas”, “salju” menambah aroma benua biru begitu dekat dalam puisi-puisi ini. Diperkuat dengan lokasi-lokasi yang telah menjadi ikon Eropa dihadirkan sebagai kekuatan puisi. Simbol-simbol tersebut dituangkan dalam buku ini sebagai cara sederhana menjejakkan sejarah kecil yang akan merangkai menjadi sejarah besar nantinya.

Tapak Melayu di Benua Biru

Secara tersembunyi penyair berupaya menjejakkan tapak-tapak Melayu dengan cara halus. Lokasi perjalanan yang dilalui penyair di benua biru menjadi tempat berimajinasi seolah-olah Melayu hadir di sana. Pada puisi “Menakar Angin”, Puncak Alpen menjadi imajinasi penyair tentang ruh Tengku Tengah yang ingin mengubah sejarah. Penyair menarik spirit Tengku Tengah kala kegamangan hadir dalam dirinya menjalani hidup di perantauan yang teramat jauh.

Dekap selalu harap

Buang ratap

Jangan pernah menyimpan keluh

Hanya akan membuatmu luluh

Maknailah perjalanan hidup Tengku Tengah

Begitu kuat ia menepis gundah

Tak kenal kata pasrah

Tak pernah menyerah

Tak hendak kalah

Ia telah mengubah haluan sejarah (h. 64).

Puisi ini tentunya tak lepas sebagai persembahan untuk pengarang dari novel sejarah tersebut.

Dalam puisi lain yang berjudul “Kau sebagai Puisi” pada negeri “yang tak kau temui malam di ujung siangnya” (baca: Enschede, sesuai titimangsa) imajinasi Melayu dihadirkan melalui sosok Tun Teja, Sang Sapurba, dan Raja Ali Haji. Menghadirkan tokoh-tokoh Melayu tersebut penyair anggap sebagai kerinduannya akan tanah air melalui puisi.

Aku tak pernah berhenti mengagumimu sebagai puisi

Berita Lainnya

Di denting waktu yang beranjak pergi

Selalu kutulis rindu di napas-napas bisu (h. 93)

Dalam puisi “Membaca Eiffel” kita dapat melihat tapak-tapak Melayu lewat bait-bait lagu legenda Melayu untuk menidurkan anak “Dodoi Si Dodoi” karya … Lagu itu menyimbolkan kernduan akan masa kecil dininabobokkan dengan lagu-lagu yang penuh pesan kebaikan.

Tengah malam menatap Eiffel

Di jantung Paris

Kedekap harap

Kugenggam mimpi

Kutulis rapi lalu kupahat di hati

Lamat kudengar timang kanak-kanakku dulu

Dodoi si dodoi ahai sayang (h. 107)

Pada puisi “Musim Gugur Hang Tuah”, terlihat jelas bagaimana upaya penyair ingin menghadirkan tapat-tapak Melayu melalui Hang Tuah pada musim gugur yang jelas takkan pernah dilaluinya di negeri Bintan, Tumasek, dan Malaka. Upaya imajinasi dilakukan penyair membalut rindu dirinya melalui bait-bait:

Di dedaunan yang mulai memerah

Aku melihat bayang-bayang Hang Tuah

Tak ada amarah

Hanya gairah yang membuncah

Di denting waktu yang beranjak pergi

Selalu kutulis rindu di napas-napas bisu

Izinkan aku mengecup semerbak huruf-hurufmu

Yang menderu

Di ujung tangis di akhir sedu sedanku (h. 127).

Pada puisi “Menari dan Puisi”, simbol-simbol Melayu diungkapnya secara sederhana ketika sahabat terbaiknya mengunjunginya ke benua biru dan memberikannya kejutan.

Di jantung Den hag kita menari dan berpuisi

Diskusi tiada henti

Tentang Mak Yong yang hampir mati

Begitu setia kau merawat tradisi

Sekantong batang buruk dan bilis gulung

Membuat hati gembira segunung (h. 175).

Akhirnya perjalanan panjang menyenangkan dan melelahkan di negeri perantauan harus diakhiri dengan “Pulang”.

Tak ada yang bisa melarang

Bila saatnya datang

Saat itulah kau harus pulang.

Bambang Kariyawan Ys., sastrawan.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan

1 Komentar
  1. YY mengatakan

    Membaca ini semua, membuatku ingin memiliki bukunya..