RINDU DAN TAPAK-TAPAK MELAYU DI BENUA BIRU
Bila saatnya datang
Saat itulah kau harus pulang
Ketika ilalang terus menggelitik riang
Ujung jarimu yang mengambang
Di antara butiran salju yang mulai hilang
(Pulang, h. 183)
Pernahkah kita merasakan sensasi membuat puisi yang kita persembahkan buat seseorang? Tentunya seseorang tersebut kita tuangkan dalam puisi karena ada kesan khusus dan mendalam akan pengalamanan yang dijalani. Biasanya kepingan dan Pernik kenangan bersama seseorang tersebut akan kita letakkan pada bait-bait puisi kita. Kita pilih diksi terbaik akan kenangan bersamanya. Puisi yang dihasilkan terasa berkesan dan ketika kita sampaikan pada yang kita tujukan. Biasanya akan berlanjut pada kerekatan hati yang lebih antar penyair dan penerima puisi persembahan tersebut. Istilah lainnya puisi mengikat silaturahmi.
Dari 43 puisi dalam Pulang terdapat 9 puisi yang secara khusus ditujuan untuk seseorang dengan dicantumkan nama. Meski sebenarnya puisi ditulis tentunya ditujukan untuk personal, keadaan, dan lain sebagainya. Kepada “Damsiah”, “Zia dan Abhiv”, “Mansur S”, “HJ”, “RDK”, “Samson Rambah Pasir”, “YY”, “Al Azhar”, dan “Peppy dan Nizar”. Puisi persembahan akan mengharubiru ditulis untuk orang terbaik dalam selimut kerinduan di peantauan.
Dodoimu, ibu
Terus terngiang
Memanggilku untuk pulang
Di sekat-sekat waktu
Rindu terus bertalu
(Musim Gugur Pertama: Damsiah, h. 31)
Simbol-simbol perantauan ke benua biru dengan putaran musimnya pun hadir. Diksi “musim gugur”, “musim dingin”, “musim semi”, “musim panas”, “salju” menambah aroma benua biru begitu dekat dalam puisi-puisi ini. Diperkuat dengan lokasi-lokasi yang telah menjadi ikon Eropa dihadirkan sebagai kekuatan puisi. Simbol-simbol tersebut dituangkan dalam buku ini sebagai cara sederhana menjejakkan sejarah kecil yang akan merangkai menjadi sejarah besar nantinya.
Tapak Melayu di Benua Biru
Secara tersembunyi penyair berupaya menjejakkan tapak-tapak Melayu dengan cara halus. Lokasi perjalanan yang dilalui penyair di benua biru menjadi tempat berimajinasi seolah-olah Melayu hadir di sana. Pada puisi “Menakar Angin”, Puncak Alpen menjadi imajinasi penyair tentang ruh Tengku Tengah yang ingin mengubah sejarah. Penyair menarik spirit Tengku Tengah kala kegamangan hadir dalam dirinya menjalani hidup di perantauan yang teramat jauh.
Dekap selalu harap
Buang ratap
Jangan pernah menyimpan keluh
Hanya akan membuatmu luluh
Maknailah perjalanan hidup Tengku Tengah
Begitu kuat ia menepis gundah
Tak kenal kata pasrah
Tak pernah menyerah
Tak hendak kalah
Ia telah mengubah haluan sejarah (h. 64).
Puisi ini tentunya tak lepas sebagai persembahan untuk pengarang dari novel sejarah tersebut.
Dalam puisi lain yang berjudul “Kau sebagai Puisi” pada negeri “yang tak kau temui malam di ujung siangnya” (baca: Enschede, sesuai titimangsa) imajinasi Melayu dihadirkan melalui sosok Tun Teja, Sang Sapurba, dan Raja Ali Haji. Menghadirkan tokoh-tokoh Melayu tersebut penyair anggap sebagai kerinduannya akan tanah air melalui puisi.
Aku tak pernah berhenti mengagumimu sebagai puisi
Di denting waktu yang beranjak pergi
Selalu kutulis rindu di napas-napas bisu (h. 93)
Dalam puisi “Membaca Eiffel” kita dapat melihat tapak-tapak Melayu lewat bait-bait lagu legenda Melayu untuk menidurkan anak “Dodoi Si Dodoi” karya … Lagu itu menyimbolkan kernduan akan masa kecil dininabobokkan dengan lagu-lagu yang penuh pesan kebaikan.
Tengah malam menatap Eiffel
Di jantung Paris
Kedekap harap
Kugenggam mimpi
Kutulis rapi lalu kupahat di hati
Lamat kudengar timang kanak-kanakku dulu
Dodoi si dodoi ahai sayang (h. 107)
Pada puisi “Musim Gugur Hang Tuah”, terlihat jelas bagaimana upaya penyair ingin menghadirkan tapat-tapak Melayu melalui Hang Tuah pada musim gugur yang jelas takkan pernah dilaluinya di negeri Bintan, Tumasek, dan Malaka. Upaya imajinasi dilakukan penyair membalut rindu dirinya melalui bait-bait:
Di dedaunan yang mulai memerah
Aku melihat bayang-bayang Hang Tuah
Tak ada amarah
Hanya gairah yang membuncah
Di denting waktu yang beranjak pergi
Selalu kutulis rindu di napas-napas bisu
Izinkan aku mengecup semerbak huruf-hurufmu
Yang menderu
Di ujung tangis di akhir sedu sedanku (h. 127).
Pada puisi “Menari dan Puisi”, simbol-simbol Melayu diungkapnya secara sederhana ketika sahabat terbaiknya mengunjunginya ke benua biru dan memberikannya kejutan.
Di jantung Den hag kita menari dan berpuisi
Diskusi tiada henti
Tentang Mak Yong yang hampir mati
Begitu setia kau merawat tradisi
Sekantong batang buruk dan bilis gulung
Membuat hati gembira segunung (h. 175).
Akhirnya perjalanan panjang menyenangkan dan melelahkan di negeri perantauan harus diakhiri dengan “Pulang”.
Tak ada yang bisa melarang
Bila saatnya datang
Saat itulah kau harus pulang.
Bambang Kariyawan Ys., sastrawan.
Membaca ini semua, membuatku ingin memiliki bukunya..