

Tempayan Tua dan Sirene Ambulans
Tempayan di depan rumahku bukanlah sekadar tempayan yang berisi air. Tempayan itu sudah berusia lebih dari dua generasi. Selalu berisi air untuk menyambut yang pulang ke rumah sebelum naik panggung. Tempayan di depan rumah panggung mereka adalah simbol kebiasaan hidup kami. Air kucuran dari tempayan itu selalu kunanti. Tanda bang Taufik, suamiku telah pulang kerja sebagai penjual tiket di terminal bus kota. Pulang dengan membawa setumpuk harap meluah kasih. Sepulang dari bepergian kebiasaan mencuci muka, tangan, dan kaki selalu dilakukan yang akan memasuki rumah.
“Ini kebiasaan baik orang-orang Melayu sejak dulu kala. Biasakanlah itu di rumah kita ini,” pesan bang Taufik padaku.
Aku selalu ingat akan pesan itu. Tempayan itu telah menjadi saksi kisah-kisah perjalanan hidup penghuni rumah panggung kami. Saksi tentang percintaan awal kami, perjodohan kami, pernikahan kami, dan masa-masa menikmati manisnya berumah tangga.
Senja adalah waktu yang selalu kunanti. Setelah ucapan salam kudengar, aku akan turun tangga dan mengambilkan gayung berisi air dari tempayan. Aku akan menuangkan air dari gayungnya untuk bang Taufik membersihkan kaki, tangan, dan mukanya. Senja selalu meninggalkan kisah terbaik dalam merekatkan hati kami.
“Terima kasih Biah. Kebiasaan Biah seperti ini membuat abang tersanjung menjadi seorang suami. Abang bahagia menjadi seorang lelaki sejak sepuluh tahun menikah dengan Biah,” puji suamiku.
Aku mengulum senyum bahagia. Di dalamnya rumah panggung, malam-malam menjadi malam bahagia di meja makan. Menikmati bersama asam pedas kesukaan Bang Taufik. Ditemani Zainal yang selalu berceloteh kala makan, menjadi hiburan tersendiri kala menikmati makanan. Namun beberapa hari ada bunyi yang mengganggu di telinga ini, bunyi sirene ambulans berlalu lalang melewati jalan di depan rumah.
“Bila sirene ambulans berbunyi dan ada pengawalan polisi, itu pertanda ada yang telah mendahului kita,” jelas Bang Taufik.
“Maksud Abang?” tanyaku.
“Meninggal karena korona,” tegasnya.
“Biah takut Bang. Apalagi tempat kerja Abang paling banyak kontak dengan orang baru. Hati-hatilah Bang,” jelasku.
“Pasrahkan saja. Jangan sampai kosong air di tempayan itu. Biar kita bisa selalu mencuci tangan dan bersih,” nasihatnya.
Pasrah memang jalan terbaik di tengah hiruk-pikuk perubahan hidup yang kini melanda belahan manapun. Pandemi. Istilah yang menjadi akrab di telinga. Keadaan yang telah membuat aku, keluargaku, tetanggaku, dan siapa saja yang kutemui menjadi berubah. Namun tidak bagi anakku Zainal dan kawan-kawannya. Bermain adalah dunianya yang tak bisa dikekang. Hari itu Zainal dan kawan-kawannya bermain bola di laman. Entah siapa yang memulai dan yang harus disalahkan, tempayan di laman pecah. Anak-anak ketakutan dan berlarian dan pulang ke rumah masing-masing. Tinggal Zainal sendirian memandang tempayan di tepi panggung pecah berserakan.
“Zainal, kau apakan tempayan itu?” tanyaku.
Zainal hanya takut-takut. Tak ada jawaban. Aku hanya menarik nafas. Belum terbayangkan raut wajah Bang Taufik melihat tempayan kesayangannya telah pecah. Hilang satu kebiasaan saat menyambut suamiku pulang.
“Tak usah sedih, sudah saatnya diganti walau dah sulit mencari tempayan seperti itu. Layaknya hidup, ada yang datang dan ada yang pergi,” nasihat bang Taufik.
“Maksud Abang?”
Bang Taufik hanya mengulas senyum.
“Suara-suara sirene ambulans makin sering saja terdengar Bang.”
“Iya, sepertinya kematian demikian dekat. Saat ini kita dipaksa mengubah kebiasaan hidup. Biasanya saat ada orang meninggal, kita akan mendengar pengumuman dari masjid, kita melayat, kita mandikan, kita solatkan, kita kebumikan bersama. Kini, terasa hilang.”
Aku kembali gelisah dengan suara sirene ambulan yang berulang-ulang kudengar. Gelisah juga ketika tempayan yang menjadi simbol menyambut pulang bang Taufik belum sempat dicarinya.
“Abang dah sempatkan cari di pasar, tapi belum ketemu yang jual tempayan semacam tuh. Adanya tempayan plastik,” ujarnya.
Untuk sementara kebiasaan baik membersihkan diri dengan tempayan tertunda. Dan karena itu pula musibah itu datang. Sirene ambulans mendekat ke rumah dan membuat berdebar-debar jantungku. Ambulans kali ini datang menjemput bang Taufik setelah diketahui terinfeksi positif korona.
“Biah, jaga diri dan anak kita. Carilah tempayan agar Biah dan anak kita dapat membersihkan diri sebelum masuk rumah. Maafkan abang.” Itulah ucapan Bang Taufik sebelum sirene ambulans meninggalkan gemuruh hati ini.
Aku merasa sunyi tanpa bang Taufik. Aku cari tempayan di sudut-sudut pasar. Memang terasa langka mencari barang seperti tempayan yang lama. Akhirnya kutemukan di tempat perajin tembikar yang sudah tua usianya. Kuletakkan tempayan itu di tempat semula.
“Kembalilah bang Taufik, Biah rindu,” lirihku memandang bingkai foto kami bertiga.
Kembali sirene ambulans berbunyi. Apakah bang Taufik telah kembali?
“Ibu, banyak bersabar, kami hanya mengabarkan bahwa Pak Taufik telah mendahului kita. Sebentar lagi akan kami makamkan secara protokol Covid-19,” ucap petugas medis itu.
Kepalaku pusing dan perlahan kudengar suara Zainal anakku memanggil.
“Emak … emak … bangun!”
Untuk pemuatan karya sastra (Puisi, Cerpen, Esai Kritik Resensi, Peristiwa Budaya dan tulisan sastra lainnya) silakan dikirim melalui surel: redaksi.tirastimes@gmail.com