PENYAIR ITU, AKAN SELALU DATANG
Saya jadi ingat pada sebuah syair yang ditulis oleh penyair yang pernah tinggal di Pekanbaru, walau ia berasal dari Kotapinang, Sumatera Utara, Aldian Arifin. Gara-gara penggalan syair itu saya tulis di sebuah ransel yang selalu saya bawa ke mana-mana, seorang berkomentar, pantaslah bila seorang telah menjadi penyair itu selalu berhak untuk sedikit sombong. He he he … sayapun tertawa, memang agaknya kalau seorang penyair selalu merasa menjadi raja, raja pena, begitulah. Apa bunyi penggalan satu baris dari puisi bung Aldian Arifin itu ? Inilah dia penggalan syair itu, yang saya kutip dari antologi Oh Nostalgia.
Dan penyairlah dia
Yang takkan mati-mati
Dan terkutuklah dia
Siapa yang tak mengerti
Mengapa orang menulis karya sastra, puisi, atau cerpen atau yang lainnya ? Tentu saja banyak jawaban untuk pertanyaan yang satu ini. Ada yang bermula ketika masa remaja, jatuh cinta ataupun putus cinta, tetapi ada juga yang mencoba merekam peristiwa demi peristiwa yang ia alami, ataupun mengemukakan gagasan dan impian melalui karya sastra. WS Rendra sejak pemerintahan orde baru berubah dan semakin menekan dan menindas, tidak lagi menulis puisi-puisinya yang romantis dan bercerita tentang keindahan alam, tetapi telah berubah menjadi penulis puisi-puisi sosial kemasyarakatan, yang mengingatkan dan yang mengoreksi. Banyak penyair yang kemudian mengikuti jejaknya. Walaupun demikian, masing-masing penyair tentu saja punya gaya masing-masing, dan punya pilihan kata (diksi) masing-masing. Ada yang semakin terus terang tetapi ada juga yang menggunakan perlambangan yang dalam banyak hal tak mudah pula untuk menafsirkannya.
Bilamana ada saja kalangan masyarakat dan pemerintah yang tak paham dengan maksud dari puisi-puisi itu, ya hal itu patut dimaklumi. Kalau ingin juga tahu, silahkan saja bertanya pada kritikus sastra atau pengamat sastra lainnya, yang boleh jadi dapat menggali makna dari puisi yang agak gelap itu.
Banyak penyair yang tak sabar dengan sikap negara yang lamban, dan karenanya mulai berterus terang melalui puisi-puisinya. Seorang Wiji Tukul, penyair asal Solo, di zaman Orde Baru, akhirnya berkata lewat puisinya : …. Hanya satu kata …. LAWAN ! Tentu saja puisi ini menjadikan darah tentara semakin mendidih karena provokator sudah semakin berani berterus terang. Catatn sejarah menyatakan Wiji Tukul sampai kini tak tentu rimbanya, diculik oleh tangan-tangan orde baru dan hilang tak tentu rimbanya.
Menurut catatan Presiden Perhimpunan Penyair Perempuan Indonesia (PPPI) Kunni Masrohanti, bahwa semakin banyak saja penyair perempuan yang lahir dan menciptakan antologi puisi. Namun bila dibandingkan dengan penyair laki-laki, tentu saja secara kuantiti masih kalah. Ambil saja contoh, pemenang hadiah dan gelar sastrawan negara di Malaysia, dari penerima ke 1 sampai dengan 12 semuanya laki-laki, dan pada perhelatan ke 13 di Tahun 2018 barulah terdapat kaum perempuan yaitu Dr. Zurinah Hasan. Demikian juga di Riau ini. Ketika masih ada anugerah Sagang bagi sastrawan dan Budayawan yang dimulai sejak 1996, sampai dengan Tahun 2017 atau penyelenggaraan ke 22, tidak ada sastrawan perempuan yang menerima Sagang kategori sastrawan Budayawan Pilihan Sagang. Namun hal ini pecah, tentu saja ini suatu kebetulan dengan kejadian di Malaysia, ketika Dr. Zurinah Hasan menerima anugerah SN di tahun 2018, maka pada Tahun 2019, Anugerah Sagang untuk kategori sastrawan budayawan pilihan Sagang diserahkan kepada sastrawan perempuan Kunni Masrohanti (Tahun 2019). Nampaknya, tahun 2019 itu, merupakan tahun terakhir dari aktifiktas yayasan Sagang dalam memberikan berbagai macam anugerah pada kalangan seniman, sastrawan, budayawan di Riau ini.
(2)
Riau dikenal dengan sebutan negeri Sahibul Kitab, negeri para sahabatnya buku-buku, negeri yang menghasilkan banyak buku-buku. Julukan ini bermula dari sebuah laporan majalah Tempo yang ditulis oleh Amarzan Lubis, berjudul Negeri Sahibul Kitab, di Tahun 2005, bahwa Riau telah dan akan selalu melahirkan penulis. Karya jurnalis Tahun 2005 ini juga kemudian menerima anugerah sagang kategeori karya Jurnalistik Budaya. Apa maknanya?
Tentu saja Riau yang merupakan daerah yang dilalui khatulistiwa itu bagaikan mutiara yang perlu terus menerus di asah dan dipelihara untuk tetap berkilau dan menarik. Penulis dan sastrawan harus terus lahir dan lahir, dan tentu saja diharapkan mencapai puncak kematangannya dengan ditandai kualitas yang mengagumkan dan banyak dilirik oleh kalangan pemerhati baik pada peringkat nasional maupun regional.
Berkaitan dengan itulah, maka kelahiran buku puisi dari berbagai kalangan di Riau haruslah disikapi dengan penuh gembira dan diapresiasi, apalagi hal itu berasal dari kalangan perempuan, yang kiprahnya di dunia seni juga telah teruji. Seorang darinya adalah Tantri Subekti, seorang perempuan aktifis seni dan aktifis di Dewan Kesenian Kota Dumai, yang menulis antologi puisi berjudul Perempuan Di Atas Matahari.
Seperti halnya penyair menulis puisi, Ia juga menulis tentang alam, cinta, ayah, ibu, alam, kota, kekecewaan, harapan, impian, keresahan, atau juga Tuhan. Hal ini suatu kelaziman belaka. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana sang penulis itu mengekpressikan dalam kata-kata dan bagaimana kelihaiannnya dalam memilih kata-kata sehingga mampu menghipnotis siapapun yang membacanya.
Ada beberapa puisi yang menurut saya sanggup mencuri perhatian setiap pembaca dari sejumlah puisi yang terbit dalam buku antologi ini. Tokoh ibu, misalnya selalu, menjadi inspirasi seorang penulis untuk menghadirkan sebuah puiisi, demikian juga penulis dan pencipta lagu. Sudah banyak yang menghadirkan tema-tema Ibu baik dalam puisi ataupun dalam lagu. Iwan Fals misalnya menulis syair lagunya yang berjudul Ibu…. Ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ lewati rintang untuk aku anakmu/ ibuku sayang /masih terus berjalan/ walau tapak kaki /penuh darah penuh nanah/ seperti udara/ kasih yang engkau berikan/ tak mampu ke membalas/ ibu/ibu
Dalam puisi Panggilan Terakhir Emak, Tantri menulis dalam puisi yang isinya sebagai berikut :
Bibinya terus bergetar seolah sedang menghalau angin/ tangan tuanya tak mampu lagi melambai/ pada` derasnya ombak yang berganti waktu/
Ia tetap memandang jauh dari matanya yang semakin sayu/ anakku lepas pada pandangku/ anakku hilang pada `rasaku/ anakku…. tak penah lagi bisa kubersandar pada tulangmu yang tersusun oleh doa emak/
Kata-kata itu terdengar rapuh pada beningnya kapal melawan matahari/
Selain tema yang berkenaan dengan Ibu, Tantri juga menulis tema-tema yang lain. Tak lupa juga Ia menggelitik tentang alam dan lingkungan. Keserakahan manusia menyebabkan alam marah dan menghasilkan banyak bencana. Namun bukan hanya keserakahan manusia, juga seringkali akibat kemiskinan manusia, dimana kemiskinan manusia itu dapat terjadi karena sebagian manusia serakah. Kemiskinan manusia juga dapat menyebabkan alam dan lingkungan menjadi korban. Namun rusaknya alam dan lingkungan akhirnya menjadikan manusia menjadi korban. Sebuah lingkaran setan yang tak habis-habisnya. Saya jadi ingat akan perkataan bijak dari Mahathma Gandi yang menyatakan bahwa kekayaan dunia ini pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan umat manusia, tetapi tidak akan cukup sanggup untuk melayani keserakahan manusia.
Dalam puisi Tanah Surga, Tanri menulis tentang pemandangan alam pesisir di Pulau Rupat dengan asejumlah kegiatan manusianya, dimana terlihat ada harapan dan ada kecemasan, seperti sebagai berirkut :
Berlumpur orang, berbondong mengaruk kerang di sepetak tanah di celah karung pembatas laut/ kugaruk kesal menyisir pantai/ berkerumun senja/ orang berpuih karung mengintar pagi/ tak kulihat lagi gunukan pasir yang kususun untuk menghalau ombak/ emak menatap tajam/ dari seberang negeri pembatas lelah/ pakcik menimbun lelah/ menanam lelah untuk menghela nafas /
Kehadiran antologi puisi Tantri Subekti ini, menambah deretan penyair wanita yang aktifis seni di wilayah Riau. Keriauan seorang penyair tentu saja ditunjukkan dengan hasil puisinya dan apa sikapnya terhadap alam tamaddun Riau. Dan untuk itu Tantri telah memberikan sikapnya yang tak perlu diragukan lagi. Artinya apa yang ia lakukan dalam bidang seni selama puluhan tahun ini, khususnya bagi Bandar Dumai ini, tak lebih dan tak kurang, untuk keharuman budaya dan tamaddun Riau.
Tahniah untuk Tantri Subekti !
Pekanbaru, 20 Desember 2021
Husnu Abadi adalah penulis kumpulan puisi Lautan Zikir (UIR Press 2004), merupakan kumpulan puisi tunggalnya yang ketiga setelah Lautan Kabut ( UIR Press, 1998) dan Lautan Melaka (UIR Press, 2002), Lautan Taj Mahal (Salmah, 2021). Kumpulan esei sastra dan kebudayaan dikumpulkan dalam buku Ketika Riau, Aku Tak Mungkin Melupakanmu (UIR Press, 2004). Tahun 2014 menerima anugerah Z. Asikin Kusumahatmaja, sebagai penulis buku hukum dari PPBHI pimpinan Prof. Dr. Erman Rajagukguk, Tahun 2015 menerima anugerah Sagang kategori sastrawan Budayawan Pilihan Sagang. Dalam kegiatan kebudayaan aktif dalam Dewan Sastra Yayasan Puisi Nusantara (pimpinan Ibrahim Sattah) 1980-1985; Ketua HSBI Riau (Himpunan Seni Budaya Islam) 1980-1985; Komite Sastra Dewan Kesenian Riau (DKR) 2001-2006 pimpinan Ediruslan Pe Amanriza); Ketua Badan Kerjasama Kesenian Indonesia (BKKI Riau, 2005-2010 & 2010-2015, 2015- kini), Wakil Ketua Badan Pembina Seni Mahasiswa Indonesia (BPSMI) Riau 2001-2006 dan 2006-2011 ; Dilahirkan di Majenang, ujung barat Kesultanan Yogyakarta, 1950, dan kemudian berpindah-pindah. Solo (1951-1952), Singaraja, Bali (1952-1956 dan 1963-1965), Mataram (1956-1963), Purwokerto (1965-1968), Denpasar (1968-1975), Pekanbaru (1975- kini) dengan diselingi di Bandung (1992-1996). Kini tinggal di Jln. Kelapa Gading 20, Kel. Tangkerang Labuai, Kec. Bukit Raya, Kota Pekanbaru. Alamat E-mail : mhdhusnu@yahoo.com dan No. HP 0812 753 7054 dan sebagai dosen tetap pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum UIR sebagai Lektor Kepala (Associated Professor).
Untuk pemuatan karya sastra (Puisi, Cerpen, Pentigraf, Esai, Pantun, Kritik, Resensi, Peristiwa Budaya, dan tulisan sastra lainnya) silakan dikirim melalui surel:
redaksi.tirastimes@gmail.com