Jadayat : Autopoesis

219

AUTOPOESIS

Sekilas, manusia memang berbicara lewat bahasa. Namun, sejatinya bahasa, harus didengar terlebih dahulu, baru kemudian kita bisa berbicara. Sebab, yang didengar itu sesungguhnya adalah bahasa yang meneguhkan hakikatnya. Manusia menjadi manusia ketika dia bertutur dalam bahasa ibu. Sebuah bahasa yang dituturkan dalam sebuah komunitas konkrit. Tokoh metafisika dalam ihwal bahasa ini tiada lain adalah Martin Heidegger. Tentang bahasa dan manusia, dia menjelaskan secara sublim: “Eigentlich spricht die Sprache, nicht der Mensch. Der Mensch spricht erts, insofern er jeweils der Sprache en-spricht” (“Sesungguhnya, bahasalah yang berbicara, bukan manusia. Manusia berbicara sejauh ia menyesuaikan dengan bahasa”). Pandangan ini menandai “titik balik” linguistik (linguistic turn) dalam filsafat abad ke-20.

Bahasa selaku penuntun arah, manusialah yang mengikutinya. Begitulah ketika bermimpi di malam hari. Mimpi itu sendiri menghidang “bahasanya” sendiri, dan manusialah yang mengikuti dan menyesuaikan dengan bahasa mimpi. Dia tak terlepas dari (dengan) dunia. Dia berada di dalam dunia, di dalam diri manusia dengan posisi independen (bukan dependen). Dia suatu konstanta. Oleh sebab itu, bahasa tidak bisa diringkus oleh dunia. Sebab, dunia tidak berada di luar bahasa. Merujuk pada tradisi hermeneutika dan Wittgenstein, bahasa tidaklah berfungsi sebagai pendeskripsi (pencandra) dunia. Di sini seakan-akan dunia berada di luar bahasa. Bagi Rorty, sang pragmatisme Amerika itu, bahwa bahasa menciptakan dunia. Sementara itu, sejarah tak lain dari perubahan atas kesemena-menaan “language games” (pe-“ngecang”-an bahasa) dari satu ke yang lain. Di sini, manusia merangkak (bergerak) dalam “language games”, yang kemudian membentuk diri individu dan komunitas dalam sejumlah metaphor yang silih berganti.

Berita Lainnya

Manusia mendunia di dalam bahasa. Sehingga bahasa seakan terpisah bak wadah makanan (rumput) yang berada di depan moncong kuda (bendi/andong) dalam gerakan tanpa batas (infinitum). Kita mengikuti telaah strukturalis dari de Sausure, bisa pula kajian fenomenologis bahasa dari Lacan, Deleuze, atau pun dekonstruksionisme Foucault, yang menghidang mengenai keagungan sentral (sekaligus kerak jurang) posisi manusia seperti; ekonomi, kesadaran, individualitas, kreativitas, otonomi dan kebebasan, yang dialamatkan oleh Rorty menjadi seakan-akan “kosa-kata akhir” dari sejarah (bahasa) manusia. Bagi Rorty, gerakan ini dialamatkan sebagai mencari “inti diri” dari “kosa-kata akhir” itu sendiri. Padahal, tinjauan eksistensialisme (terutama “tasauf-Zen”) juga menyajikan tentang “inti diri” manusia yang bak lapisan kulit bawang. Kupas dan kubaklah buah bawang, lapis demi lapis, dan kita akan menemukan “kehampaan inti” dari lapisan itu. Begitulah pula manusia.

Bahasa adalah wakil dari sistem “semiotic” manusia di samping komunikasi. Manusia dikepung oleh berbagai sistem; sistem organis –otak, hormon, otot dan pencernaan-. Sementara, bahasa adalah sistem “semiotic” yang menuntun kita tentang kesadaran dan lingkungan (dunia- Umwelt). Di sini, Niklas Luhmann memperkenalkan pandangan sistemik tentang komunikasi dalam  diri manusia yang “bergerak sendiri” dan mereproduksi sendiri, yang disebutnya sebagai “autopoesis”. Maka, bahasa sebagai instrumen komunikasi seakan lepas dari penuturnya, dia malah menghasilkan diri sendiri; ia menjadi anonymus (entitas tanpa nama). Dengan demikian, orang akan berujar bahwa bukan orang-orang yang berkomunikasi dalam masyarakat, melainkan komunikasi yang berkomunikasi dengan komunikasi. Bahasa juga menjadi alat untuk mengorek masa lalu yang cenderung “hilang” dan lepas. Bahasa meramu dan mengadun sesuatu “nan lalu”, “nan lapuk”, dalam sebuah penyegaran kekinian dalam modus bait-bait dan larik-larik puisi. Larik itu bisa berpembawan “a-tempo” (nir-masa), sekaligus “co-tempo” (kekinian). Bahasa yang memiliki kekuatan reflektif ke belakang itulah (meminjam Habermas), disebut sebagai “kesadaran akan sesuatu nan lenyap” (ein Bewusstsein von dem, was fehlt).

Lalu, kenapa kita berbicara? Karena ingin mendengar bahasa. Bahasa yang mengenderai dan mereproduksi dirinya sendiri (autopoesis) itu. Terutama bahasa ibu, sebagai bahasa yang dipertuturkan dalam sambungan-sambungan komunitas konkrit yang dijadikan sebagai alat “pemadam amarah” kebudayaan, sekaligus sebagai instrumen penanggam kaidah-kaidah keindahan sejarah sebuah kebudayaan melalui karya-karya sastra dan seni. Ketika seorang penyair menulis puisi, sejatinya dia sedang mengikuti “kata bahasa”, bukan dia yang membentuk bahasa. Tetapi, malah sebaliknya, bahasalah yang membentuk “dirinya” dalam satu tarikan “komposisi” serba tak terduga.

Oleh sebab itu, seorang penyair sering terserang gejala “ekstase” (ketaksadaran yang saling menguntungkan –gelukliche unbewusstsein-), ketika dia dituntun dalam lorong dan gua kata-kata yang meliuk-liuk, sungai bahasa yang riuh rendah, dan berakhir kemudian meriang luas jadi samudera bahasa yang tak berpantai. Di sini, penyair mengalami kejadian yang serempak; antara “mencipta dan dicipta”, antara “mengadakan dan diadakan”. Syair, puisi dicipta, sekaligus mencipta. Syair dan puisi diadakan, sekaligus mengadakan. Sehingga, kenyataan ekstase bahasa itu sendiri, kian mendorong para penyair bagai “bomoh kata-kata”, “dukun bahasa”, atau sebaliknya, “Kata-kata bomoh” dan “bahasa dukun” yang memiliki dimensi “pengendali” dunia. Di sini dunia tak lagi diciptakan oleh bahasa, tetapi telah memasuki tahap dikendalikan oleh bahasa. Analoginya, bumi diciptakan dalam bentuk (bulat), tetapi kenapa ketika manusia berjalan di atas bumi tak merasakan bulatnya bumi? Kok tetap datar? Peristiwa datar yang dirasakan oleh manusia di atas bumi itu disebut dengan peristiwa “diadakan”. Tuhan mencipta bumi, sekaligus bumi diadakan untuk manusia yang diciptakan. Tuhan menciptakan manusia (fisik, jasadi); tetapi Tuhan mengadakan manusia dalam wujud ruh. Dua bentangan yang saling melengkapi inilah yang menggerakkan mesin “autopoesis” itu.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan