

Bencana itu seakan tak kenal rebah. Di tengah itu pula, seakan manusia kehilangan kata untuk berucap. Sesuatu yang hilang, masih bisa dicari. Bencana itu seakan berjulur-julur dalam episode yang serba gagu. Dia datang dengan dayang-dayang bisu. Tak bisa diajak berdebat, apatah lagi berbincang lembut. Pada ketika itu, apakah manusia yang menyaksikan kedatangan itu harus berdiam diri? Demi merawat tambang emas bernama diam? Kata orang bijak, sebaik-baik perlawanan yang menjingga, lebih elok diam yang memeram emas. Bahwa diam itu emas. Bahwa diam itu lebih utama dari bicara. Lalu, mari kita berkhayal liar sejenak; tentang keutamaan diam atau keutamaan bicara.
Dengan berbicara seseorang bisa menjelaskan tentang keutamaan diam. Lalu, dengan diam, seseorang tak bisa menjelaskan tentang kelebihan dan fadilat bicara. Sekarang mau pilih yang mana? Berbicara atau diam, ketika di depan mata disuguhkan segudang bencana? Tentu lebih elok dan mulia berbicara dari pada diam. Jika memaksa diam juga dalam hilir mudik bencana dan musibah ini, maka kita bisa dianggap dayus sosial. Maka, bersuara dan berbicaralah! “Namun, fikir dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna”. Maknanya? Jika hendak juga berbicara dan bersuara, fikirkan dulu materi bicara, kejernihan konsep dan kekuatan argumen, sekaligus dia menjadi pelantar jiwa siapa kita sesungguhnya. Mentang-mentang disuruh bicara, lalu kita menyalak bak meriam tombong. Bunyi memekak, hasil tiada.
Diam itu memang emas pada sebuah ketika. Namun jika prinsip ini tetap diusung pada ketika yang lain (sesuatu yang mendorong orang untuk bicara), dia malah bernilai tinja di depan khalayak (maaf). Para bijak bestari menukil keadaan diam dan bicara dalam amsal singkat dan menyibak; “Andai diam itu memang benar emas, namun bicara tentang kebenaran jauh lebih bernilai dengan harga yang amat tinggi dari seluruh emas yang ada di muka bumi ini”. Di sini diam menjadi pangkal masalah. Diam itu juga menjadi pangkal penyakit. Bagaimana si anak tahu, bahwa sang ayah sangat menyayanginya, di luar perbuatan-perbuatan kasih? Tentu si anak merindukan ujaran dalam bentuk suara sang ayah.
Pernah suatu ketika, sang anak tinggal dan hidup bersama seorang ibu janda yang baik dan pendiam. Saban hari sang anak ini pulang ke rumah membawa uang dan makanan. Begitulah bertahun-tahun, tanpa ada setual pertanyaan pun yang keluar dari mulut sang bunda. Apakah pertanyaan tentang dari mana engkau memperoleh uang dan makanan ini? Sekalipun tak pernah. Malah ibu ini, dengan mimik bangga atas usaha dan segala ikhtiar menyambut kepulangan anaknya di rumah. Begitulah waktu berjalan dan berlalu. Sampai ketika pun tiba; sang anak ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sang ibu terkejut. Rupanya uang dan makanan yang dibawa pulang ke rumah selama ini adalah hasil dari jarahan, rampokan dan bahkan hasil rampok dengan pembunuhan. Setiap hari anak ini disambut dengan pujian wajah dari sang ibu. Sekalipun sang ibu tak pernah merasa curiga terhadap gelagat sang anak. Tempo untuk eksekusi gantung pun tiba. Sebagaimana lazim, sang terpidana diberi kesempatan untuk menyampaikan wasiat atau pesan sebelum kematian tiba. Lalu, sang anak ini bermohon kepada majelis penegak hukum untuk mendatangkan ibunya dekat tiang gantungan. Lalu, permintaannya apa? Si anak hanya memiliki satu hajat dan permohonan; ingin menggigit lidah sang ibu. Itu saja. Tak lebih.
Maka, didatangkanlah sang ibu di dekat tiang gantungan tak jauh jaraknya dengan anak. Sang anak minta kepada ibunya yang baik itu agar menjulurkan lidahnya. Lalu sianak ini menggigit lidah sang ibu dengan kuat dan kencang. Kenapa ini dilakukan? Sang anak berdalih; “Andai lidah ini bersuara dulu dan bertanya, atau berkata tentang ini boleh dan itu larangan, tak mungkin aku berada di tiang gantungan ini. Inilah padahnya lidah yang diam”, ujar sang anak. Berikutnya? Dia menjalani hukum gantung. Jiwa terbang…
Mereka yang menyuara bunyi, termasuk (apatah lagi) berpuisi, adalah mereka yang yakin dengan kekuatan suara. Dalam suara ada kekuatan magis, ada fungsi remote control. Suara bisa menghentikan amarah. Demikian pula, suara bisa membebat pilu, suara bisa menyorak girang. Dengan bersuara, semua kelam, menyeruakkan cahaya (ketika lampu dalam gedung konferensi padam). Dengan bersuara segala niskala, berubah jadi niscaya. Negara bangsa mana yang membebaskan belenggu dengan diam? Semua bersuara. Ada kalanya diam lebih efektif dan sangkil. Namun, jangan lupakan mangkusnya suara, ketika seorang wanita merindukan pernyataan cinta dari seorang perjaka. Dia memecah sepi, memecah sunyi dan meraup yang tinggi, walau puncak gunung sekalipun.
Dalam suara, ada susunan kehendak dan niat. Dalam suara bisa didengar desah bimbang dan gamang, dalam suara orang tak sekedar menebak, namun bisa menebar; ingat semua agama didakwahkan dengan suara, tak cukup diam. Lalu diperkenalkanlah cara dan sistem dakwah kepada manusia oleh semua agama (terutama agama langit). Suara itu membuka bidang dan menyerlah cahaya. Suara juga bisa menutup dendam (lewat kata maaf). Maka, ketika tiba bencana, kita tak bisa diam. Harus lasak dengan segala perkakas yang menghasil bunyi dan suara. Kenapa? Dengan suaralah kita paling mudah ingin menunjukkan bahwa di bumi ini masih ada kehidupan dan masih berkebudayaan. Lalu, kenapa harus diam?