BERTANI IDE
Sedari kecil lagi, saya sudah menanam cita ingin berkebun ide. Hidup, berkembang dan berpenghasilan dari dunia ide, dunia gagasan dan intelektualisme. Agama yang saya peluk dan anut sebagai “a religion of reason not of fear”, memberi ruang bagi pengembangan akal budi dan nalar yang sehat, cergas dan cerdas. Di dalam al Furqan itu sendiri kata ‘aqala’ tersemat sebanyak 44 kali. Ini penanda bahwa agama ini memberi ruang yang besar dan selesa kepada pemeluknya untuk membuncahkan kemuncak akal budi nan luhur demi kecemerlangan semesta makhluk alam raya.
Mencari nafkah di bidang intelektual, memang sebuah pilihan beresiko, karena tak pernah menjadi kaya secara material, namun hanya sampai batas berkecukupan. Intelektualitas itu sendiri berpembawaan ‘memberi’ dan ‘mewariskan’. Ilmu, tak bisa dikandang dalam tabungan diri sendiri. Dia harus dilayari, dikembang, disalur dalam terumbu pemikiran yang berangkai dan berantai-rantai kepada sesama kerabat intelektuali, kepada generasi penerus dan rekan-rekan yang mungkin tak pernah semazhab pemikiran dengan kita. Sebab, ilmu menuntut dialektika dan sauk-menyauk persilangan pemikiran. Jika dia tak disalur, ilmu akan beku. Daya ingat manusia amat terbatas. Dengan saluran yang tepat dan mustari, ilmu akan membentuk ruang-ruang ingatan nan mengelopak dan bertangkai-tangkai. Mungkin kelopak ingatan ini disuburkan oleh murid-murid kita, teman-teman atau pun oleh rekan/lawan diskusi.
Kanal penyaluran ilmu, tidak mesti dalam ujaran verba sembari menunggu atau menciptakan iklim dialog; seminar, summer course, forum, diskusi dan seterusnya. Akan tetapi, saluran itu bisa dilengkapi dengan tradisi kepenulisan, tata keberaksaraan, tertib dalam kaidah-kaidah literasi (kepenulisan). Membangun wacana secara literer dan menyambut pemikiran dari para pakar dan ahli dalam bidang tertentu. Ihwal ini saja sudah demikian menyibukkan hari-hari kita.
Bekebun ide, bertani gagasan, dengan sendirinya harus menjarakkan diri dari segala pikuk perbuatan yang mengarah pada kerja-kerja serba kantoran. Menghindari beban tambahan, apakah itu bernama jabatan struktural atau beban tambahan lainnya di luar kerja utama selaku pensyarah. Bertani ide, dengan sendirinya membuat hidup akan disibukkan dengan sejumlah sibakan lembar wacana yang terkandung di dalam kitab dan buku, naskah tua atau pun gestur pemikiran progresif yang memanfaatkan e-book atau media online termasuk jurnal lainnya. Semuanya harus didatangi dengan kekuatan fisikal dan ruhani (intelektualitas yang lapang dan bestari).
Makhluk penyemai ide, penanam ide dan bertani ide (planetary idea farmer) ini juga harus mampu membangun komunikasi secara personal dan kolektif . Makhluk sang penangkar ide, harus bisa dibesar dan membesarkan gagasan sekaligus menawarkan gagasan untuk warisan kepada komunio, kaum puak akademik dan tradisi keilmuan baik di kampus-kampus maupun pusat-pusat kebudayaan dan kesenian. Inilah seni hidup dalam dunia pemikiran. Berjalan dalam selonsong tiada “penghakiman” (judgement) terhadap sesuatu dan hal. Namun, mampu menyilang dan menyauk segala ide, kemudian diuli, diramu dan diracik dalam kaidah-kaidah bijak yang tak saling membenturkan (walau benturan itu diperlukan untuk aksioma dan pengembangan keilmuan), tak saling klaim kebenaran dan sekaligus menjauh ‘ujub dan sum’ah (kesombongan pada arasy individualitas dan kolektif).
Perkauman suci yang akhir-akhir ini dihebohkan dalam semangat ‘api Ketuhanan’; seakan-akan dakulah yang paling surgawi, dakulah yang paling merbak kasturi, harus diingsut, didesak sejauh mungkin dalam gemuruh kesombongan melalui modal saukan ilmu serba instan digitalized. Hari ini, ilmu itu amat mudah didapat karena keberlimpahan informasi yang menabrak sudut dan dinding lobus otak kanan dan kiri kita. Beragama dan mencari Tuhan jua berlangsung dalam fenomena serba digitalized. Ada semacam agama “augmented” (kembaran) setelah orang merayau dan bertajuk-tajuk dalam kembara digital; bertuhan digital, beragama digital, berilmu digital. Dalam suasana serba keberlimpahan ini, apa-apa yang tersedia dan terhidang kalau tak bisa memilahnya, malah dia berubah fungsi menjadi racun (toxine).
Rekan diskusi selama pandemic ini, berlangsung secara online dengan seorang rekan akrab sejak muda (Mohd. Sukri) yang sesekali berpindah-randah ke Jakarta-Pekanbaru vice versa. Dia seorang yang bergairah memanen ilmu dan kebijaksanaan, dari mana pun datang dan sumbernya. Tak mudah terkecoh dengan pelembagaan pemikiran serba formal, termasuk pemikiran keagamaan. Tak gamang mencari dan menuju jalan-jalan senyap yang terhidang di depan mata. Rekan ini adalah seorang pengelana kebijaksanaan. Yang tak (mau) terikat oleh kutub segala kutub pemikiran yang tengah berkecamuk memperebut kunci surga dalam ragam versi itu.
Kalau pun secara usil saban minggu saya forward tulisan-tulisan reflektif kepada rekan-rekan intelektualisme, hanya satu dua orang saja yang menyilang pemikiran itu dalam bentuk respon kesadaran. Selebihnya hanya memamerkan stand tumb (tegakan simbol jempol) sampai tiga bahkan lima buah. Mungkin, dengan cara inilah terkesan respon beradab untuk mengusir segala forward saban minggu yang tak tau diri dari saya itu. Kerisauan apa nian yang terkandung dari peristiwa forward tulisan (sharing pemikiran ini)? Tak lebih ingin melawan perilaku ‘generasi geser’ yang menjadi birahi baru kaum digital ini dalam memanfaat keberlimpahan informasi pada abad super modern.
Generasi milenial sudah dikepung oleh kebingungan yang mereka ciptakan sendiri: bahasa gaul yang ditransmutasi menjadi bahasa teks, tak tau lagi membedakan kepala berita, tajuk rencana, catatan kaki dan partikularis dalam rimba raya teks dan sebuah kitab. Maka, bertani gagasan tak akan pernah berhenti, sembari merawat bahasa dan kaidah-kaidah bahasa teks yang mulai lumpuh dan buram, karena maraknya desakan bahasa-bahasa lokal yang dipaksakan dalam euphoria verbal, sembari hendak menunjukkan masih ada tersisa kearifan lokal itu he he…