JADAYAT : Kambing, Arkian Laut…

233

JADAYAT  yusmar yusuf

KAMBING, ARKIAN LAUT…

Seekor kambing yang tertambat di sebatang pohon. Kepala dibungkus dan akan dihumban ke laut. Kenapa? Alkisah, pada setandan  senjakala nan temaram, tertangkaplah seekor hewan buas yang mengganggu ketenteraman kampung oleh orang-orang kampung. Lalu, ditambat di sebatang pokok kayu nan kawi di kampung itu. Melewati malam nan gelap, darah gegar dan bergemuruh; lalu pagi menyingkap dan menghadirkan seekor kambing yang melintas di lorong pokok kayu nan tegak. Kambing itu pun terheran-heran, kok ada seekor binatang buas terikat di batang kayu? “Di mana kebuasan mu?, mana instink liar mu?”, “pikir kambing”, lagi. Suatu keputusan telah dijatuhkan; ya, keputusan orang-orang kampung: maka eksekusi pembuangan hewan buas ini ke laut akan dilaksanakan pada senja kelak. 

Kambing hodoh ini, bertanya kepada hewan buas terikat itu; seraya menghampiri, dia berbisik pelan, “kenapa bisa jadi begini pilu untuk ukuran hewan sebuas mu?”.  “Hah…, jangan heran”, kata hewan buas itu; “beberapa orang di kampung ini telah meletak dan mengikat diriku di sini, tersebab aku tak mau menerima uang pemberian mereka”. Lalu, si kambing bingung ini melanjutkan tanya jolohnya lagi; “Kenapa mereka memberikan uang dan kenapa engkau tak menerimanya”?. Lalu, binatang buas itu menjawab dengan jawaban tak terduga; “Karena aku sedang tafakur, dan mereka ingin menyuap ku. Mereka adalah sekumpulan manusia yang tak bertuhan”, tegasnya mengunci. Lalu, si kambing ini mengusulkan dirinya sebagai pengganti hewan buas yang terikat itu. Lalu, dia pun secara perlahan mengungkai ikatan demi ikatan, kebat demi kebatan. Dan posisi berganti, dengan percaya diri kambing yang tak seberapa pandai ini berada dalam posisi terikat pada lokus dan pokok kayu yang sama. Tak sampai di situ, si kambing menganjurkan hewan buas itu melarikan diri jauh-jauh dari kampung itu. Memang, berkat kebaikan hati si kambing itu, hewan buas itu menghilang dari pandangan mata, lesap dalam sekejap.

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Senja pun tiba; orang-orang kampung berduyun-duyun mendatangi pokok kayu dengan hewan terikat di pangkal punggurnya. Lalu, dalam ketemaraman jidat senja, mereka membungkus kepala kambing itu dan lalu digiring ke arah laut dalam dan menghanyutkannya. Blussss…., kambing itu pun dilemparkan, gayang, lenyap, senyap, hapus dan sirna. Kisah pun usai. Kampung pun merasa damai. Hari pun berganti menjadi esok. Lalu esok yang pagi-pagi menghadirkan sejumlah kenyataan, bukan arkian. Orang-orang kampung terkejut serba maha; mereka menyaksikan binatang buas memasuki desa yang ditemani sekawanan domba dan kambing-kambing. Dalam hati, berdegup tanya; Laut? Mana kebuasan mu wahai maha buas? Mana instink buas mu kala bersemuka dengan hewan-hewan mangsa laksana domba? Orang-orang kampung membangun bukit hairan yang bukan pula arkian. Selanjutnya?

Menggelegar suara gemuruh di atas mega kawanan hewan-hewan yang bergerak masuk kampung itu, bercampur debu dan kilas angin hasil gerak kaki bersilang; “Di laut sana, ruh-ruh dengan baik hati membalas siapa saja yang terjun ke dalamnya dan ‘tenggelam’ dalam sikap sasmita, hanif dan damai”, ujar binatang buas itu. Maka, dalam sekejap berpusu-pusu, berduyun-duyun orang sekampung berlari mengejar bibir pantai dan menerjunkan diri ke dalam laut. Sejak itulah, binatang buas itu memgambil alih desa dan kampung yang ditinggalkan para penduduknya.

Laut itu menampung dan menghablur yang keras jadi lunak, yang tegak jadi gayang dan membengkok. Yang kilat jadi mengkarat. Laut juga menadah segala kehampaan, termasuk kehampaan emosi dan renjana. Untuk itu, dia dikenal juga sebagai segara. Segala hal akan menjadi diam dan senyap dalam segara. Ada kota gagah muka bumi (Pompeye dan benua Atlantis) dan ‘lalu’ akan menjalani senyap dalam segara laut dan bergelora. Ada biota dan benua kehidupan di laut, di bawah laut, di kawasan pelagic laut. Lalu para penulis roman, senang menghidang laut untuk menghentikan narasi ganas, dan Yunus pun dalam ketenangan bermain-main dalam istana perut ikan paus di laut, mungkin jerung, mungkin pula dugong. Di atas laut ada laksa bintang-bintang dan ambang bulan. Di bawah laut adalah sekumpulan laksana tentang kehidupan yang tak terengkuh akal benua. Di sini, semua kejahatan mengalami penjinakan menjadi baik; Karena fenomena tenggelam dan penenggelaman. Fir’aun dan rombongan pasukan yang gagah mengejar Musa dengan sekumpulan kaum tertindas. Fir’aun lesap dan terkaluk di dalam kedalaman laut (al bahr al ahmar). Musa dan rombongan digjaya menjalani fase kebajikan di atas benua. Lalu, orang pun mempersepsi tenggelam dan penenggelaman dalam had-had dan formula otak dan hatinya masing-masing.

Dalam laut tak dapat diduga, walau  tali kail julur, panjang menjulur. Karena oksigen di dalam air membentuk arus laut yang menghanyut, sehingga kail nan sejengkal akan mengalami tipuan dan kamulflase tentang sampai dan kesampaian di dasar sana. Rupanya menggantung dan tetap menggantung. Kebaikan dan kebajikan itu disimbolkan oleh sebuah ikon terhampar dan membentang luas; bernama laut. Sebab, laut itu berpembawaan sabar. Dia seakan diam, senyap namun berpembawaan menyirna dan melenyap sesuatu yang tampak gergasi dan gagah; ingat pesawat Adam Air, AirAsia, mungkin pula MH 370 MalaysiaAir (MAS) yang lenyap hingga kini. Secara hipotetik, orang-orang berkeyakinan semuanya berkesudahan di dasar laut. Mereka yang mengambil nama-nama laut untuk nama diri, kata separoh orang, selalu memikul kearifan laut; orang bernama Bahar(uddin) senantiasa lekat dan dekat dengan tabiat laut yang penyabar, bijak dan besar jiwa, pembimbing. Walau nama ini tak pula menjamin, sebab dia hanya sebongkah nama yang dititipkan pada sepucuk ruh dan setongkah badan.

Di atas laut dan kambing yang dihumban, lalu hanyut membuat orang membangun duga dan persepsi tentang arkian, tentang nyata, tentang akan dan tentang yang seakan-akan. Kita yang menghuni bumi yang serba mencabar ini amat tergoda untuk menduga dan menduga. Kadang perlu juga jeda sejenak; bahwa “mempersepsi persepsi adalah sebuah persepsi”, ujar Syaidina Ali. Maka, berangkatlah ke laut demi memetik kebajikan.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan