Musik, Déjà Vu
Pada mulanya adalah bunyi. Ketika alam semesta dicipta, maka bebunyianlah yang jadi bingkai. Segala makhluk berbunyi sebagai cara mereka bertasbih, tarhim dan dzikir. Belum ada kata-kata, menurut ukuran telinga manusia, kala itu. Bunyi, menjadi elemen dasar sebuah musik. Dan musik, adalah gerbang utama yang harus dilewati seluruh kebudayaan manusia. Lagu kebangsaan “God Save The Queen”, “Kimigayo” atau pun “Indonesia Raya”, jika hadir hanya dengan suara manusia tanpa dibingkai oleh bebunyian, dia terkesan tampil bugil dan ledah. Serangkaian ibadah juga dihiasi oleh bebunyian yang turun naik, bahkan berpusu-pusu; dalam ratib dan dzikir; dalam kebaktian, nyanyian ruhani para penganut Budha di puncak Himalaya dan kaum Sikh di gunung menengah Amritsar. Musik, pada tingkat apapun, ternyata menjadi medium ibadah bagi segala agama. Maka, yang membingkai sesuatu sehingga dia jadi indah bak pemandangan hiasan dinding, tak lain adalah bunyi atau yang kemudian menjadi musik. Bunyi, menyedia elemen vibrasi, dalam bentuk frekuensi, amplitude dan durasi.
Dan bebunyian (jamak bunyi) itu terhidang di puncak gunung, di samudera, di teluk nan tenang, di hulu sungai dengan belantara nan lebat legam. Di musim hujan ada petir, guruh. Di jalan raya, knalpot kenderaan menyalak, gesekan roda atas rel kereta api, klakson para pengendaraan di persimpangan, terompet menyalak malam dan memecah pucuk pergantian tahun, demi nasionalisme bebunyian juga bergemuruh mengisi bangku-bangku stadion sebuah laga bola kaki. Di bulan ramadhan, bebunyian lebih semarak lagi, ketika perut dan nafsu manusia harus senyap. Segala bunyi, belum menjadi musik, sebelum mengalami transformasi secara neurologis dan interpretasi sehingga terbentuk bangunan pitch (nada harmoni), timbre (warna suara) dinamics (keras lembut) dan tempo (cepat-lambat). Tahap transformasi dari bunyi menjadi musik, disebut sebagai etape konstruksi pemikiran. Bahwa musik adalah hasil fikir, olah fikir dan batin manusia.
Kemudian oleh bangsa-bangsa “petutur” (dengan P besar) seperti bangsa Melayu, musik malah ditimpa lagi oleh serangkaian kekuatan tutur dan gerak. Seakan tak rela dengan kekuatan ‘tuturan’ yang dihasilkan oleh sebuah musik, maka kita kemudian menimpali lagi mahkota bunyi itu dengan serangkaian perbuatan merendahkan bunyi dan musikalitas. Bangsa “petutur”memang tak siap menghargai ruang-ruang ekspresi di luar tradisi ‘tuturan’ mereka sendiri. Sebuah persembahan musik yang dihajatkan tampil groovy, teduh, sanggam dan berwibawa, malah direcoki oleh sejumlah gerak pembawa acara dengan kecenderungan sebagai pelawak, bergabung dengan busana pengantin etnikal, sehingga turunlah derajat musikalitas sebagai suatu bentuk ‘wahyu’ tentang kehadiran dan meng-‘ada’ di muka bumi ini. Musik dengan serangkaian majelis penampilannya, memang tak mendapat tempat di atas peterakna yang layak di muka bumi orang Melayu. Sudah jelas penampilan ini dihajat dan dilakukan oleh sebuah wilayah akademik, sejatinya dia hadir dengan pencerdasan akademis pula. Dia menjadi hippocampus atau pun meta campus demi memperkaya hippocampus otak kanan manusia. Ketika bunyi menjilat ke puncak, kata dan gerak harus senyap. Kata dan gerak harus belajar menahan diri. Sehingga bebunyian itu menghasilkan puisi bunyi, puisi musik.
Bahwa puisi itu bukan milik sastra semata. Setiap puncak dari karya manusia adalah puisi. Puncak karya arsitektur dia berada pada maqam puisi arsitektur. Pucuk karya seorang koreografer merindukan puisi gerak (tari). Puncak karya ilmiah seorang ilmuan di sebuah labor, demi menjilat puisi teori atau puisi ilmu. Begitu pula dengan musik, yang berlari di belantara bunyi dan frekuensi, sebenarnya sebuah ikhtiar menuju pada puisi bunyi. Di sinilah orang-orang sastra dan teater harus belajar, tentang makna dari karya puncak itu. Bahwa perjalanan eskatologis seorang sufi pun merindukan puncak maqam ruhani sebagai ‘puisi spiritual’ atau malah ‘spiritual puisi’. Ketika musik hadir dengan kesanggaman dirinya sendiri, maka seni lain menepi lah! Biarlah dia berlari vertikal menuju pucuk puisi bunyi. Dia hanya layak dijelaskan dengan serangkaian teori bunyi dan musikalitas di atas bumi. Persembahan model begini, bukan sebuah festival yang harus disoraki dan ditepuk-tangani dalam model pawai dan arakan. Mereka (para musisi) tengah menyalin serangkaian “kemiripan misteri” di alam bebunyian, baik yang tersadai di masa lalu maupun yang tersangkut di masa depan.
Mereka tengah bersemenda dengan peristiwa déjà vu dalam istana bebunyian, dalam kerajaan bunyi, di pucuk emporium bebunyian. ‘Kemiripan misteri’ itulah yang hendak dilayani dan dilayang oleh sebuah pementasan musik yang bukan festival itu. Jika tidak mengindahkan kaidah ini, maka pementasan musik itu, tak lebih dari peristiwa musik tenda belaka. Lalu bagaimana déjà vu? Psikologi menjelaskan ini sebagai suatu peristiwa pernah dialami, sejatinya tidak pernah. Plato, yang hidup 5 abad sebelum Masehi menjinjing tentang dualitas alam; alam idea yang sempurna dan alam materi sebagai bayang-bayang. Kita bergaul sehari-hari di alam bayang-bayang. Bagi Derrida dalam setiap déjà vu, terhidang sebuah ketegangan kecil antara kebaruan dan masa lalu, antara kejutan dan ingatan, antara perbedaan dan repetisi, antara masa kini dan masa lalu yang pernah hadir. Psikologi déjà vu (paramnesia, Yunani), terjadi ketika sensasi optik yang diterima sebelah mata sampai ke otak dipersepsikan lebih dulu dari pada sensasi yang sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat (optical pathway delay), tapi aliran optical ini dipatahkan, sebab orang buta pun bisa mengalami déjà vu, bahkan orang pekak pun mengalami déjà vu. Beethoven yang menggubah Für Elise sebagai surat cinta kepada seorang gadis, adalah sebuah persuaan seorang tuli dalam lorong déjà vu.
Memberi ruang dan laluan kepada musik di tanah yang hendak mentabalkan diri sebagai pusat kebudayaan ini, adalah sebuah kerja besar. Kita harus membentuk penonton musik, bukan penonton opera, bukan penonton teater, apalagi penonton seni pentas lawak. Kita baru mengajak para penonton teater menjadi penonton musik. Bahwa musik dalam kerimbunan bunyi, adalah sebuah kiat kita melayani lorong déjà vu pada diri sendiri, menangkap dan menerkam segala bunyi dan ritmis yang seakan-akan pernah kita dengar, padahal sama sekali tak pernah didengar. Itulah ‘kemiripan misteri’ yang berada di alam idea, di alam penciptaan atas sana. Dan kita sebagai co-Creator (sabahat) Tuhan dalam penciptaan ini, menangkap sinyal-sinyal ‘perjanjian primordial’ di awal penciptaan yang tersangkut di alam idea, termasuk alam bebunyian. Lalu, semua orang mengalami ekstase déjà vu.