

Ambil, pungut dan kumpulkanlah kata-kata, lalu bungkuslah!. Selanjutnya, lemparkan bungkusan itu ke dalam semak. Diam, dan tak berguna. Kenapa? Ikutilah kisah ini: Ada tiga orang yang bertikai dengan niat baik, namun tak kesampaian oleh kata-kata yang mereka ucapkan, karena mereka bertiga adalah orang-orang tuli. Pertama, seorang pengembala, yang saban hari menunai tugas kegembalaannya di padang rumput nan permai. Kala siang menegak, sang isteri akan mengirimkan makanan yang diantar sang anak untuk pengembala ini. Namun pada suatu hari, jelang mata hari merebah, tak ada kiriman makanan dari isteri. Lalu, dia memutuskan pulang ke dangau sederhananya, untuk tahu apa yang terjadi. Namun, sebelum itu, dia berpapasan dengan seorang perumput. Dia berpesan kepada perumput itu; “wahai perumput budiman, bersediakah engkau, mengawasi ternak-ternak ku ini, jelang aku ke dangau? Mohonlah kesediaan wahai budiman”. Sejurus, si perumput itu bergumam; “kurang ajar si pengembala ini, aku mengumpul rumput ini untuk keperluan ternak piaraanku di rumah. Sehelai rumput pun tak akan aku kasi”. Rupanya, si perumput ini juga seorang tuli.
Maka, dengan keyakinan tinggi, sang pengembala mengucapkan terimakasih atas kesediaan sang perumput ini mengawasi hewan ternak miliknya jelang dia kembali ke dangau sejenak. Di dangau dia mendapati keadaan isterinya yang sedang sakit dan dirawat oleh tetangga. Inilah penyebab, kenapa hari ini tiada bekalan makanan yang tak diantar oleh sang anak. Lalu, usai semuanya dan berlalu, dia bergegas kembali ke padang gembala. Dan mendapati kenyataan sang perumput masih berada di sekitar ternak gembalaannya. Lalu, dia mengucapkan terimakasih teramat sangat. Sehingga terdorong dia untuk memberikan setangkai ‘cendera hati’ kepada sang perumput sebagai tanda terimakasih. Lalu, dia menangkap seekor ternak yang berkaki pincang yang semula akan dijadikan sebagai makanan mereka sekeluarga esok hari. Dalam hatinya; “hewan ternah kaki pincang inilah yang akan ku hadiahi kepada si perumput budiman itu”. Lalu, bersecepat dia menuruni bebukit sambil menggotong hewan yang akan dihadiahi kepada si perumput. Dan dia berseru kepada si perumput dengan bahagia; “Dari lubuk hati terdalam, inilah bingkisan dari ku, atas jauharnya hati dan ketulusan mengawasi ternak selama aku pergi dan tak kurang satu apapun ternak ku, baik jumlah dan keadaannya”. Lalu, si perumput tuli itu mengamuk; “Jangan kau menuduh-nuduh aku. Sama sekali aku tak pernah menghampiri ternak mu, sehingga kakinya menjadi pincang. Ku pukul kepala mu jika menuduh-nuduh seenaknya”. Habis kata-kata pengembala untuk meyakinkan kepada perumput itu, dan mereka sama-sama tuli dan pekak badak.
Sejurus kemudian, lewat seorang pengelana di atas kuda. Lalu, pengembala menghentikan gerak langkah pengelana ini dan bermohon bisa menjelaskan niat baiknya kepada si perumput. Dalam keadaan galau si pengelana ini yang juga seorang tuli, berujar bahwa “Akulah yang mencuri kuda itu. Dan aku akan mengembalikan kuda itu kepada yang empunya”. Apakah di antara kalian yang punya kuda ini?”, tanya sang pengelana. Keadaan tambah runyam. Rupanya ketiga orang-orang ini sama-sama tuli. Mereka hanya mengusung mau dan kata-kata sendiri tanpa dipahami di antara sesama. Keadaan menjadi galau. Si pengelana dalam ketakutan, bahwa kelakuannya selama ini akan diketahui sebagai pencuri kuda. Mereka sudah berancang ingin bersebunuh di antaranya. Jalan kekerasan akan ditempuh untuk menyelesaikan keadaan yang serba abu-abu dan kelabu asap ini.
Di kejauhan, debu pecah oleh tendangan kaki kuda yang menyasar ke arah mereka bertiga. Derap kaki kuda ini menampakkan sosok kian mendekat, seorang pria berjubah, sanggam dan berkaidah. Dia seorang darwisy yang berkelana. Lalu, si pengembala mendekatinya dan memegang jubah darwisy ini. Dia memohon kepada darwisy untuk menjelaskan maksud baiknya terhadap perumput, yang semula dia nisbahkan kepada pengelana. Rupanya sang darwisy ini seorang bisu pula. Maka lengkap dan sempurnalah perjumpaan ini. Sang darwisy, tanpa kata-kata. Dan kata-kata telah dihumban ke dalam semak, atau ke dasar samudera. Kata telah dilempar ke dasar lembah berarus deras. Kata-kata tak lagi berguna untuk mereka berempat. Kata-kata telah dikarung, bisu dan beku, hilang tugas dan fungsinya, calar makna.
Darwisy bisu nan bijak ini, hanya mampu menatap biji mata ketiga orang bisu itu dengan tatapan yang tajam. Menghunjam. Satu persatu ditatapnya bola dan biji mata; pengembala, lalu diteruskan ke si perumput, diikuti gerak tatapan itu ke pengelana pencuri kuda. Begitulah tatapan tajam itu berulang-ulang perlahan dan perlahan. Mata hitam yang berkilau milik sang darwisy itu menusuk ke dalam mata-mata mereka bertiga. Tatapan itu seakan mencungkil kedalaman sumur mata, kedalaman palung mata, kecuraman tebing mata, mengorek dan mencungkil kedalaman ‘mata air’ mata, yang di dalamnya terkandung air jenih kebenaran. Mata hitam bak “black jade” itu seakan mencungkil kebenaran tentang persoalan yang dihadapi mereka bertiga dan mencoba memperoleh petunjuk pada situasi begini. Lalu, satu persatu mereka yang ditatap itu mengalami kegalauan. Mereka mulai merasa takut kalau-kalau ia akan menyihir mereka atau mengendalikan kemauan mereka. Sontak sang pencuri meloncat ke atas kuda dan melarikan diri dengan kecepatan tinggi. Demikian pula ihwalnya bagi pengembala, lantas meloncat mengumpulkan ternak piaraannya dan mengiringinya kembali ke pangkal bukit. Dan si pemotong rumput tak berani menatap mata sang darwisy dan bergegas mengumpul rumput dan dimasukkan ke dalam kantong lalu menggotongnya menuruni bukit menuju rumah. Sang darwisy bisu ini pun melanjutkan perjalananya seraya bergumam dalam hati; “terkadang, kata-kata merupakan bentuk komunikasi tak berguna, dan bahwa orang mungkin lebih baik tidak pernah mengucapkannya!