

Berpuisi kah Tuhan? Para gnostikus membentang amsal yang sayup dan dekap. “Segala apa yang ada di alam raya, berada dalam rencana-rencana Tuhan, berada dalam ‘genggaman’ Tuhan”. Rencana Tuhan, selalu tidak diikuti dengan tanda kutip. Namun, ketika menyebut “genggaman” Tuhan, maka kata genggaman itu dikandang oleh tanpa kutip@petik. Kenapa? Karena tak mungkin Tuhan memiliki aparatur organik sebagaimana makhluk manusia atau apa pun. Kata ‘genggaman’ dalam kerimbunan kalimat itu, memikul suasana ambiguitas. Bisa mengundang salah tafsir dan mengundang konflik iman. Lalu, berpuisi juga kah Tuhan? Ketika dilantunkan syair ini; “Tuhan menciptakan manusia dengan ‘kedua tangan’-Nya. Kedua-dua tangan itu adalah kanan. Namun, tangan kanan yang saling berlawanan”. Di sini, ruh berada pada posisi ekspirasi (ditiup dan meniup); bukan inspirasi (menguap).
Di tengah gempita upaya memborong Tuhan, merasa dekat dengan Tuhan, dan susunan segala tindak-laku yang dialamatkan ke masa depan Tuhan, bangunan kalimat yang serba ambigu itu, memang harus dielakkan. Karena dia bisa mengundang dan memicu kerawanan sosial antar umat @intra-iman. Lalu, para “pencahari” jauhar kebenaran lewat laku gnostik selalu menutup kalimat dengan segala bunyi menyudah; “Lebih enak berbincang dengan Tuhan, dari pada berbincang tentang Tuhan”. Karena Tuhan menghadirkan ‘diri-Nya” ke mana pun kita menghadap. Tuhan, seakan diletakkan di sebuah tempat sepi, tak boleh dibicarakan, tak boleh dipertengkarkan. Maka, orang Cina dengan tradisi besar mereka dalam mengeja langit, selalu berkata bahwa; “Tuhan yang masih bernama, bukanlah Tuhan”. Alias, saking tuhannya Tuhan, Dia tak memerlukan nama alias sebutan. Namun, Dia cukup menghayunkan sifat, menampilkan sifat; sifat serba lembut, pengasih dan penyayang, pemberi dan tak bersyarat @platonik.
Para ulama berhadap-hadapan dengan puisi. Dan puisi pun terkesan begitu “erotic” dalam penggambarannya tentang perasaan-perasaan religius terhadap Tuhan. Ulama pun menolak puisi. Sebab, bisa melahirkan bid’ah sosial, termasuk pula bid’ah keimanan. Puisi-puisi yang digubah, disusun oleh para penghayat, para mistikus itu adalah jalan dengan “penanda-penanda suci” untuk memanjat arasy Allah, menyatukan diri dalam mabuk platonic alias cinta tak bersyarat antara hamba dengan Tuhan. “Tarjuman al-Asywaq”, adalah antologi puisi spiritual dari Ibn Arabi yang memerlukan penjelasan kritis dan epistemic. Kesan ‘erotic” dalam lorong cinta platonic ini, amat sukar difahami awam dan kaum ulama di masa itu. Banyak juxtaposisi yang ambiqu, tersembunyi; dan tak jelas kelamin atas kata dan kalimat. Ihwal ini mengundang tanya besar, dan sekaligus menyudutkan para pelaku di jalan gnostic sebagai pilihan ke jalur yang gelap atau temaram. Sepulang dari kunjungan ke Aleppo @al Halb pada 1213, Ibn Arabi memberi tanggapan terhadap kritisisme ini dalam bentuk apologi sang penulis, di kota Mekkah 1214: “Semua puisi kami berkaitan dengan kebenaran-kebenaran ilahi dalam pelbagai bentuk, seperti tema-tema cinta, eulogi, nama-nama dan sifat feminin, nama-nama sungai, tempat-tempat dan bintang-bintang”.
Kebudayaan manusia itu adalah efek ilahiah. Puisi sebagai jelmaan pendek tentang narasi panjang kehidupan itu sendiri, memikul tugas ilahiah pula. Di jalan kebudayaan, puisi bukan semata nandung dan senandung, tak semata eligi dan seloka; tentang sedih, suka cita, duka lara, tetapi juga mengenai kepekaan dan kepedulian, relasi sosial, relasi antar makhluk, kritisisme sistem politik, pemberontakan atas penganiyaan kata, pembunuhan bahasa, kebejatan moral, mengenai hubungan dengan Tuhan, kehadiran aparat langit dalam gempita alam semesta yang kemudian ditarik dalam iktibar-iktibar demonstratif baik berwajah positif, negatif, pasif, aktif, bahkan progresif. Puisi-puisi para penyair, tak sekadar mencipta aktor, melahir aktor, tetapi juga melahirkan author (penguasa@pengarang); mendorong aksi, menyentak reaksi, meluruskan yang bengkok, menangani yang telat ditangani oleh tangan-tangan kuasa, tangan kasih, atau malah tangan-tangan yang memberi. Puisi-puisi juga berkisah tentang tangan yang di atas dan tangan yang di bawah; antara mulia dan dekil, antara tuan dan hamba, termasuk kisah pelaratan para peminta-minta sebagai perpanjangan kehadiran “tangan” malaikat di sisi kehidupan umat manusia yang tak pernah muai dalam ihwal bermasyarakat.
Efek ilahiah dari puisi yang disemburkan para penyair, berpembawaan bak doa yang dipanjatkan dalam tradisi agama-agama. Karena, sebagaimana doa, puisi juga diarahkan ke masa depan, seraya mengamankan masa lalu dan menjinakkan kekinian. Ini, termasuk pula sebagai fungsi-fungsi “nubuat” dari setangkai puisi. Hampir semua agama, menggumamkan doa dan hajat luhungnya lewat puisi, lewat kata-kata menghariba, indah merebah, ranggi merendah. Resitasi ayat-ayat al Quran juga dilantun dalam kaidah-kaidah serba indah memukau. Di sini, ayat Tuhan berada dalam taman dengan kualitas jamaliyah (feminine) Allah. Dia tak disentak dalam gaya-gaya khutbah searah, tapi didodoi, dilantun, dihayun, dibuai dalam nada memikat, mengikat dan menaut.
Zabur yang diturunkan kepada Daud Alaihissalam, adalah sekumpulan antologi tentang lantunan lemak. Mazmur, sebagai lantunan, dititipkan kepada Daud sang pelantun. Segala makhluk berhenti tersebab ‘puisi cinta” Daud. Segala makhluk bersandar untuk mendengar dengan takzim ihwal “puisi cinta” platonic. Tuhan datang dan hadir dengan cara dibuai oleh bebunyian, dihayun oleh angin, makhluk pun senyap pukau dan paku mengeja, mencermati bunyi demi bunyi, kata demi kata, syair demi syair, makna demi makna. Daud sang pelantun itu, menghunjam hati para pengusung tauhid lewat bunyi yang bernada (tone), lewat tempo dan harakat, lewat penyebutan yang tepat (makhraj), juga lewat rima, quantis dan segenap hukum-hukum musikalitas. Di awal-awal “penjelasan langit” mengenai usungan Tauhid adalah bunyi dan lantun yang musikalitas. Dia tak bicara hukum yang menyentak semata. Tuhan menghadirkan tuntunan kepada manusia lewat “tangan” nan lembut, latif.