Isu lingkungan dan perubahan iklim menjadi masalah serius yang sedang populer dibincangkan saat ini. Mau tak mau, mereka yang berani unjuk muka untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di daerahnya, perlu memperhatikan aspek ini sebagai salah satu program yang ditawarkan.
Beberapa bulan terakhir saya disibukkan dengan kegiatan menulis bahan bacaan literasi dengan tema isu lingkungan dan perubahan iklim. Mulai dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Balai Bahasa Provinsi hingga Pusat Perbukuan Nasional saat ini sedang rama-ramai mengangkat tema tersebut dalam menghasilkan produk bahan bacaan literasi. Nampaknya ini adalah upaya penyelamatan bersama yang perlu disinergikan dan dikolaborasikan. Pemerintah memiliki peran yang signifikan untuk mengoptimalkannya.
Berbicara tentang Kota Pekanbaru, persoalan lingkungan adalah masalah fundamental yang jadi isu. Sayangnya, hingga beberapa kali kepemimpinan pemerintahan berganti, belum ada upaya serius untuk menanganinya. Sebut saja persoalan banjir, sampah, hingga kondisi jalan rusak. Pemerintah hanya mewariskan persoalan dari satu periode ke periode selanjutnya. Sampai kapan Pekanbaru akan selalu identik dengan sebutan ‘Kota Berkuah’ atau pengidentikan dengan sampah? Tentunya butuh solusi konkret dari mereka yang berada di tampuk kekuasaan tertinggi saat ini.
Masalah Lingkungan dan Persoalan Keadilan
Persoalan lingkungan bukan semata-mata persoalan lokal yang menjadi momen jualan politik seorang figur dalam konstelasi politik. Perlu diketahui, Gerakan Keadilan Iklim dan Lingkungan adalah gerakan dunia yang terlahir dari fakta-fakta kasus di berbagai dunia. Potret ketidakadilan masalah iklim dan lingkungan yang terjadi pada segmen masyarakat kelas bawah.
Sejarah gerakan Keadilan Lingkungan bermula di negara bagian Carolina Utara, Amerika Serikat. Sebuah perusahaan pembuat transformator (trafo listrik) di Raleigh membuang limbah pabrik dengan kandungan senyawa bifenil poliklorinasi di sepanjang jalanan pedesaan komunitas Afrika-Amerika. Hal ini telah menyebabkan pencemaran kualitas tanah yang mengerucut pada aksi unjuk rasa besar-besaran. Massa yang bersatu pada saat itu terdiri dari kalangan pelajar, aktivis lingkungan hingga organisasi masyarakat setempat (WCCC/Warren County Citizens Concerned) memulai aksi protesnya selama enam minggu lamanya berturut-turut dari 15 September-12 Oktober 1982. Peristiwa yang sampai saat ini dikenal dengan sebutan ‘Protes PCB Carolina Utara, 1982’. Puncaknya terjadi pada tanggal 16 September 1982, di mana sebanyak 200 demonstran pasang badan untuk menghalangi truk pengangkut limbah sambil menyanyikan lagu We Shall Overcome (Kita kan Menang).
Persoalan lingkungan dan iklim erat kaitannya dengan kebijakan pemimpin dan penguasa. Tak heran jika dalam prinsip Gerakan Keadilan Lingkungan mengacu pada tuntutan seruan untuk menghentikan beban tidak proporsional yang dibebankan pada kelas pekerja dan masyarakat kelas bawah kulit yang membahayakan lingkungan hidup, memberikan peluang yang lebih inklusif bagi mereka yang paling terkena dampak untuk didengarkan pendapatnya dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi komunitas mereka. Termasuk bagaimana pemerintah membangun visi lingkungan yang sehat, berkelanjutan secara ekonomi, dan komunitas yang berkembang secara budaya.
Momen Pilkada dan Penyelesaian Persoalan Lingkungan
Momen 27 November 2024 adalah waktunya Pekanbaru dan berbenah. Jika ingin serius menyelamatkan lingkungan, carilah pemimpin yang memiliki kepedulian dan kebijakan untuk menyelamatkan lingkungan. Berangkat dari persoalan utama yang terjadi di Pekanbaru, selanjutnya dari sanalah cara memilih pemimpin yang tepat untuk kota ini.
Dalam perspektif penulis sebagai pihak yang berkontribusi dalam penyelamatan masalah lingkungan dan krisis iklim, pemimpin yang dihadirkan haruslah yang menjawab persoalan tersebut. Toh memang persoalan utama Pekanbaru adalah aspek lingkungan. Para calon-calon kepala daerah yang akan maju sangat penting menjadikan masalah lingkungan dan iklim ini sebagai salah satu prioritas program di pemerintahannya.
Namun, lagi-lagi isu lingkungan ini seolah dipandang kurang seksi sebagai jualan politik di khalayak. Kepedulian lingkungan masih dipandang sebelah mata, padahal jika bencana banjir misalnya terjadi di Pekanbaru, dampak buruknya justru lebih luas. Mungkinkah politik ‘bansos’ yang menuai sukses besar pada Pemilu Legislatif dan Presiden pada Februari 2024 lalu akan diulang di Pekanbaru? Tentunya upaya-upaya yang lebih edukatif lebih diharapkan terlahir dari kebijakan parpol maupun tokoh kontestan Pilkada. Berbicaralah dan lakukanlah sesuai dengan masalah yang terjadi di daerah tersebut.
Penulis mengapresiasi kemunculan tokoh seperti Dr. H. Muhammad Ikhsan. ST. MSc, dari kalangan akademisi yang cukup berani menjadikan isu lingkungan ini sebagai positioning politiknya dalam konstelasi Pilkada. Bukan menjadi cibiran, semestinya langkah-langkah seperti ini ditiru oleh calon-calon yang lain. Tentunya bukan setakat jualan politik semata, tetapi juga menjadi program dan usulan kerja nyata yang bakal direalisasikan.
Pekanbaru mencari pemimpin yang peduli dengan lingkungan, peduli dengan tata kota dan pengelolaan Pekanbaru yang lebih baik. Semoga harapan bukan hanya impian.
(Nafi’ah al-Ma’rab adalah nama pena dari Sugiarti. Penulis adalah mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Riau yang juga penulis untuk konten-konten sastra hijau. Bergiat di Komunitas Forum Lingkar Pena).