Secara mendasar filosofi konsep bisnis orang Tionghoa berbeda dengan konsep bisnis orang Melayu, Minang, atau etnis lainnya. Orang Tionghoa berprinsip tidak “makan sendiri” tetapi lebih menjaga perasaan pelanggan (mitra). Mereka tidak dianjurkan meraup semua keuntungan demi kekayaan akan tetapi berbagi keuntungan dengan mitra bisnisnya. Mereka bergantung kepada pedagang lain dalam memperoleh suplai barang, bahan atau barang jadi. Sebab, mereka berprinsip tidak ada pebisnis yang dapat maju dengan diri sendiri.
Di luar komunitas Tionghoa, ada sebagaian tidak mampu menerjemahkan prinsip dagang etnis Tionghoa. Konsekuensinya terjadi persaingan sengit yang mengarah pada antikondusif yang menghancurkan sistem perdagangan mereka sendiri. Fenomena yang selalu ditemui yaitu, sering orang non Tionghoa berdagang barang yang sama di kawasan yang sama. Jika satu toko menjual soto medan, toko lain mengikutinya. Jika ada yang menjual es durian, keesokan harinya ada saja toko menjual barang dagangan yang sama. Hal ini seakan-akan menjadi tren atau budaya dikalangan orang non Tionghoa bahwa etnis tertentu tidak mampu menerima kesenangan yang diperoleh orang lain.
Prinsip bisnis seperti di atas sangat merugikan sesama dan menghancurkan. Orang-orang Tionghoa tidak menjalankan model bisnis seperti layaknya etnis lain menjalanan bisnis. Prinsip keuntungan yang relatif kecil namun mendatangkan kesempatan usaha (hidup nyaman) yaitu kontinuitas sangat diharapkan walaupun dengan mengurangi sedikit keuntungan yang diperoleh, mereka umumnya tidak mempermasalahkan.
Suku Tionghoa adalah penutur beberapa dialek, diantaranya Hokian, Kanton, dan Mandarin. Walaupun dialeknya mirip tetapi penutur saling tidak memahami. Mayoritas daripada penduduk daratan Tiongkok adalah suku Han yang bermigrasi ke seluruh penjuru dunia sekitar 1276 setelah adanya invasi Mongolia. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya migrasi yang diantaranya adalah konflik politik sehingga berimbas pada persoalan ekonomi. Kemanapun orang Tionghoa pergi, umumnya mereka selalu tinggal di daerah perkotaan dan aktif terlibat dalam perniagaan. Sungguhnya mereka (kelompok etnis Tionghoa) ini tidaklah demikian, sebab mereka pun sesungguhnya terbiasa tinggal di pedalaman seperti membuka lahan perkebunan baru.
Fenomena lain yang amat kentara adalah, banyak etnis Tionghoa yang bertempat tinggal di luar Tiongkok, tetapi mereka menjaga budaya dan bahasa mereka dalam beragam intensitas tergantung pada dimana merak bertempat tinggal. Hal ini terus dilakukan para imigran Tionghoa dan diwariskan pada anak cucu mereka. Salah satu alasannya adalah oleh karena mereka menganggap bahwa budaya leluhur mereka lebih unggul dari budaya lain. Budaya-budaya demikian terangkum dalam kompilasi budaya Tionghoa yang bernama Konfusianisme yang bukan lain adalah ajaran-ajaran kebajikan yang dikaitkan dengan segala aspek kehidupan orang-orang Tionghoa sehingga melahirkan sebuah kebenaran berbentuk prestasi.
Misalnya, orang Tionghoa berpantang menipu sesama pedagang karena akan merugikan dirinya sendiri. Prinsip ini dikarenakan; ketika menipu dalam menjalankan aktivitas ekonomi niaga, suatu hari jika ketahuan, maka dia akan kehilangan banyak kawan niaga yang sesungguhnya merupakan modal baginya sendiri. Kepercayaan-kepercayaan dalam ajaran demikian menjadi pedoman bagi orang orang Tionghoa yang terbawa dalam sikap hidup kesehariannya.
Dapat dijelaskan bahwa pengetahuan budaya telah diperoleh melalui pemahaman dan keyakinan atas dasar kelompok. Budaya didefinisikan sebagai campuran nilai, pola pikir, keyakinan, komunikasi dan penjelasan tentang perilaku yang memberikan bimbingan kepada orang-orang.sehingga indikator peningkatan kinerja pegawai dapat dilihat dari beberapa aspek seperti dijelaskan di atas, yaitu bauran nilai, pola berpikir, keyakinan, komunikasi dan perilaku.
Pada dasarnya Konfucius dan Mensius (Mengzi) merujuk kepada nilai kebudayaan tradisional tentang merekatkan kepentingan terhadap modal manusia, hubungan interpersonal dan perkembangan yang harmonis (He). Namun dilihat dari perspektif manajemen korporasi, semua pemikiran inti yang diajukan oleh budaya Konfusius seperti Ren (Kemanusiaan), Yong(Keberanian), He (harmoni), Zhong (Kesetiaan), Li (Kesusilaan), Xin (Kejujuran) dan Qin (Kebersihan) sangat berhubungan dengan filsafat manajemen modern dan perilaku operasional, dan bisa menyediakan sumber-sumber budaya dan praktik manajemen bisnis kontemporer (Wenzhong Zhu, 2008).
Pada sisi lain, ahli manajemen memang dilahirkan di dunia belahan Barat seperti Peter F. Drucker, Robert Owen (1771-1858), Charles Babage (1792-1871), Fredrick W. Taylor (1856-1915), Henry L Grand (1861-1919), Hendry Fayol (1841-1925), dan lainnya lagi. Para ahli manajemen ini berkontribusi terhadap dunia pengetahuan khususnya ilmu manajemen sehingga membangun konstruksi manajemen modern secara baik dan hasilnya hari ini kita melihat bagaimana bisnis dijalankan dengan pola manajerial yang super.
Tidak hanya ilmu manajemen yang dilahirkan, melainan juga teknologi-teknologi Barat layak juga disebut menguasai pangsa pasar dunia dari dua sisi belahan. Di Amerika kita mengenal IBM sebagai perusahaan komputer terkemuka, selanjutnya ada General Electric, Apple dan Microsoft; kedua perusahaan terakhir ini bersaing dalam menguasai pangsa pemakai komputer. Begitu juga dengan pabrik mobil General Motors (GM), Chrysler, Ford dan lainya. Sementara itu, di Eropa juga berkembang teknologi mutakhir sehingga lahirlah pabrik-pabrik mobil seperti Renault, Peugeot, Roll Roiyce, dan lainnya sebagai acuan bahwa Barat telah selangkah lebih maju dalam teknologi abad modern.
Demikiankah? Ternyata, bangsa-bangsa Asia yang dilahirkan dan besar dengan mitos-mitos dan didoktrin dengan ajaran-ajaran kebajikan berupa budaya warisan leluhur juga mampu menciptakan paradigma berfikir yang terbalik dengan orang-orang Barat.Semula, orang Barat mengatakan bahwa “Technology is expensive”. Awalnya memang demikian, tetapi bagi orang-orang Asia seperti bangsa Korea, Jepang dan Tionghoa sebagai bangsa dengan rumpun penduduk terbesar di dunia, paradigma berpikir orang Barat tidak sesuai.
Jika kita merujuk pada pemikiran Weber tentang kelompok bangsa ini; Weber secara tegas mengatakan bahwa pembangunan di Asia akan terhambat oleh karena cara berpikir orang-orang Asia khususnya Tionghoa yang kolot. Weber mendeskripsikan bahwa pembangunan yang ideal adalah dengan pemikiran terbuka, individual, berpikir materialistik dalam mendukung kapitalisme.Walaupun akhirnya pemikiran Weber dapat dikatakan keliru saat dihadapkan pada alam kenyataan (Charles S. Rarick, 2007).
Bangsa Asia berorientasi pada pemikiran output yang dicapai, sementara orang Barat perpikir ada proses bagaimana menghasilkan output. Sasaran berpikir orang Asia adalah kebajikan leluhur sehingga muncullah pernyataan,”High Technology is very cheaper”. Hari ini, kita melihat bahwa Korea mampu menghasilkan Samsung dan LG sebagai produk elektronik berpangsa besar di dunia.Selanjutnya ada Hyundai sebagai basis produksi mobil berpresisi teknologi tinggi juga mampu bersaing di pasar dunia.
Sementara Jepang sudah selangkah lebih awal maju dan ditakuti Barat sebagai pesaing terberat dalam merebut pangsa pasar bisnis. Hasil-hasil teknologi produksi Jepang dinilai mengungguli sebagian besar teknologi negara-negara Asia seperti Korea dan Tionghoa sehingga untuk sementara Jepang sebagai leader market di Asia. Tiongkok sebagai negara besar mampu tampil sebagai negara dengan teknologi tinggi super murah. Hal ini dikarenakan basis berpikir orang-orang Tionghoa adalah berorientasi pada output. Orang Tionghoa berpikir bahwa kuantitas sebagai penentu jumlah laba yang dikumpulkan, sementara orang-orang Barat berorientasi pada kualitas dengan kuantitas terbatas dan waktu yang relatif lama. Bagi bangsa Asia, “terkadang” nilai-nilai fungsional lebih dikedepankan ketimbang nilai mutu.*