Tubuh dan Kekuasaan
Saya tertarik menelisik persoalan bagaimana munculnya suatu kekuasaan yang ada dalam tubuh manusia melalui kajian filsafat pandangan Michel Foucault (1926-1984). Ditemukan dua gejala ekstrem yang saling bertentangan mengenai tubuh. Disatu sisi tubuh berkembang biak dan dipuja dalam rupa atau bentuk yang sesungguhnya. Di pihak lain ia disiksa dalam praksis, dicincang dalam wacana filosofi dan bahkan sosok realnya hilang dalam dunia pencitraannya atau bentuk yang di kendalikan. Lalu muncul paradoks tubuh bukan hanya cukup sampai di situ. Tubuh ternyata sekalipun menjadi bagian dari manusia yang selalu dialami, tetapi pada realitasnya tubuh seringkali banyak dibentuk dari luar. Di satu pihak, dalam realitas keseharian tubuh selalu dialami sebagai sesuatu yang primer, dipihak lain, dalam kerangka filosofis maupun religius tubuh cenderung dianggap sebagai sesuatu yang sekunder.
Sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sampai saat ini, terdapat pandangan bahwa tubuh adalah gangguan bahkan realitas palsu yang memenjarakan kesejatian, yakni jiwa. Dalam kultur Barat paham ini berakar pada dualisme Greco-Roman yang memilih realitas menjadi dua bagian: pikiran dan nafsu, roh dan tubuh, Apollo dan Dionysus.
Dalam bingkai dualisme semacam itu, tubuh cenderung dilihat sebagai motor bagi hasrat irasional, emosi dan nafsu liar. Sebab itu, tubuh menjadi sesuatu yang harus dimurnikan, disucikan dan dikendalikan, tubuh fisik adalah penjara bagi jiwa. Lalu bentuk pemikiran seperti ini, tampak terlihat nyata pada seni rupa dan permainan atletik Yunani yang mementingkan eksposisi tubuh yang telanjang. Ketelanjangan di sini, bukan berarti penonjolan akan keindahan tubuh yang mengalahkan jiwa, tetapi ketelanjangan di sini merupakan metafor untuk kebenaran yang telanjang, perpaduan antara konsep kebenaran sebagai ketetapan visual dan gagasan bahwa bentuk-bentuk abadi adalah obyek terakhir tatapan atau visi intelektual.
Baca Juga
Indonesia Tidak Ada Cinta: Puisi Wahyu Mualli Bone
Kembali Pra Neanderthal
Namun sebaliknya bahwa semua itu adalah tradisi Yudaisme, pada dasarnya tidak mengenal dualisme model Yunani. Dalam bahasa Ibrani kata ”tubuh” dan “jiwa” pun tidak ada. Bagi orang Yahudi, kenyataan jasmani tidak berubah dengan kenyataan rohani. Realitas spiritual juga sebagai dari realitas yang terus menerus atau saling keterkaitan antara jasmani dan rohani.
Kekristenan yang menjadi tulang punggung kultur Barat klasik, merupakan keturunan dari dua bangsa darah Yunani dan Yahudi di samping kecenderungan-kecenderungan dirinya yang khas. Oleh karena itu, kekristenan mempunyai sikap yang agak mendua terhadap tubuh, tubuh atau daging berada dalam posisi terkait pada perkara kehidupan maupun kematian; gelegak hasrat kehidupan dan kepantasan sesuai dengan martabat yang perlu pengekangan; kejatuhan dalam dosa dan harapan akan kebangkitan badan. Secara umum Kristen klasik menganggap tubuh sebagai fenomena unik. Dalam teologi klasik tubuh memang dianggap terkait erat dengan kejatuhan manusia ke dalam dosa. Hal ini terasa kuat dalam tradisi monastik yang dahulu sangat menekankan sikap asketis, pengekangan tubuh secara keras melalui disiplin, meditasi dan puasa. Hal ini dilakukan demi mengutamakan kehidupan rohani, mati raga demi keselamatan jiwa.
Salah satu contoh penemuan yang berdampak membuyarkan konsep-konsep tentang tubuh dan menggugat kategorisasi dasar yang biasa kita gunakan untuk memahami tubuh, baik pria ataupun wanita, adalah pemikiran Michel Foucault. Konsep gender baginya tidak bisa lagi dilihat secara lugu sebagai sesuatu yang alamiah. Citra, perilaku dan pemahaman diri tubuh dalam jaringan relasi sosialnya merupakan efek yang diproduksi oleh berbagai praktek, pranata dan wacana. Tubuh yang dikonstruksi berdasarkan jenis kelamin tunggal, misalnya, sebagian besar adalah produk administrasi negara dan politik. Di mana dalam kerangka administrasi abad ke-19 M. tubuh haruslah mempunyai satu seks saja, sehingga konsep hermaproditisme, ataupun konsep androgini menjadi selalu tampak bagai dunia fantasi saja. Ambivalensi kelamin tidak bisa dianggap alamiah kodrati.
Michel Foucault dalam dasawarsa terakhir ini, amatlah terang benderang seiring dengan semakin intensifnya kajian tentang Posmodernisme. Beragam artikel kebudayaan, sosial, politik maupun kesenian sering mengutip pendapat Michel Foucault demi memperjelas analisisnya.
Diantara sekian alasan, kepopuleran Michel Foucault sebenarnya bukan hanya kemampuannya melahirkan perspektif baru yang genuine, tapi lebih jauh dari itu, kepopuleran Michel Foucault didukung oleh pemikirannya yang menampilkan perspektif baru tentang kekuasaan. Tesis Michel Foucault mengenai power-knowledge atau kuasa pengetahuan, banyak dimanfaatkan oleh para pemikir untuk menambah ketajaman analisis mereka mengenai problematika kekuasaan, semacam pendisiplinan dan keadilan.
Bagi Michel Foucault, kuasa power terdapat di mana-mana, kuasa merupakan suatu kekuatan yang tidak dapat dipegang intangible. Walaupun demikian, ia merupakan realitas kuat dari eksistensi sosial dan semua hubungan sosial. Karena itu kekuasaan selalu dinyatakan lewat hubungan, dan diciptakan dalam hubungan yang menunjang. Tanpa bisa dipungkiri, lewat Power-Knowledge memang menjadi substansi pemikiran Michel Foucault. Lewat konsep inilah Michel Foucault menjadi salah satu pemikir kontemporer yang amat terkenal di seantero jagat. Namun sejauh pembacaan penulis, tesis Michel Foucault mengarah kepada satu pemikiran yang menghubungkan antara tubuh dan kekuasaan.
Berbeda dengan anggapan banyak kalangan, Michel Foucault menganggap kuasa sebagai suatu mekanisme, bukan milik. Di samping itu kuasa tidak bersifat terpusat, tetapi tersebar. Sementara itu, pemenuhan kuasa dan pengetahuan memperlihatkan bahwa kuasa bukanlah penghambat tampilnya pengetahuan. Justru lewat kuasa yang tersebar dalam mekanisme-mekanisme pendisiplinan, pengetahuan berkembang mengiringinya.
Kuasa tidak lagi menyentuh tubuh secara keji dalam bentuk hukuman fisik, tetapi kuasa menyebar dalam “tubuh masyarakat”, melalui mekanisme disiplin, melalui jaringan baru kuasa berupa penjara, sekolah, barak militer, rumah sakit, panti asuhan yatim piatu dan sebagainya. Melalui jaringan ini, kuasa melakukan pemantauan, pencatatan, perawatan, pengawasan dan pendisiplinan, juga pelatihan sekaligus penaklukan secara tersamar dan tidak kasat mata invisible.
Dalam bukunya Surveiller et Punir, Michel Foucault menelaah perubahan-perubahan strategis kuasa dan teknologi politis terhadap tubuh, yang memperlihatkan kaitan erat kuasa-pengetahuan dan kelahiran individu modern. Dalam telaahnya, setidaknya, terdapat tiga signifikansi yang muncul dari telaah genealogis tersebut. Pertama, teknologi menghukum berubah dari bentuk yang amat kasar dan kejam, menjadi lunak dan semakin tidak menyentuh tubuh. Bahkan berkembang searah normalisasi dan proyek korektif. Kedua perubahan ini disertai dengan perkembangan pengetahuan atas individu. Ketiga, perkembangan pengetahuan ini memang tidak terpisah dari mekanisme penaklukan, tetapi penaklukan itu menjadikan individu patuh dan berguna. Demikianlah, sebuah pandangan filosofis yang rumit tentang tubuh dan kekuasaan bila ditinjau dari pemikiran seorang Michael Foulcoult.*