PIA FRAUS || Yusmar Yusuf

108

Loading

Di persimpangan ini, kita berpisah: Aku ke kiri dan engkau ke kanan. Mmmuuaaah. Ya, sebuah perpisahan yang menghadirkan sejumlah perjumpaan baru yang serba tak terduga. Satu di antara perjumpaan itu adalah dosa putih. Ya, dosa putih. Lalu, apakah memang dosa itu punya banyak warna? Hitam, coklat, biru, hijau, bahkan jingga kita hanya berhenti pada dosa putih. Ya, sebatas itu. Maka, selagi muda, berkelanalah sepuas pencaharian jejak dan tikam. Agar setelah tua, tak gatal lagi untuk bermuda-muda. Puas-puaskan anda menjadi cantik dan ganteng di kala muda, agar di masa tua nanti, anda akan dikesani oleh orang-orang bahwa anda pernah ganteng dan pernah cantik. Sebab, akhir-akhir ini amat pasaran perilaku yang dinampakkan oleh orang-orang tua kita (baik lelaki apatah lagi perempuan); seakan-akan mereka œtak pernah ganteng dan jua œtak pernah cantik pada masa muda dulu. 

Inilah bagian dosa putih (pia fraus)? Mungkin dan barangkali. Berjalan usia, kita menjadi tua, berpenampilan lebih keras, tulang-tulang menonjol, pipi mengalami kempot gradatif, kalau pun gemuk gedebam tak beraturan, sehingga segi-segi tampilan kayu mati kera amat dominan pada sebatang tubuh sosok grontologis seusia saya saat ini. Namun, seiring usia bertambah, semenggila itu pula kita mania berfoto, swafoto (selfie). Ada semacam perilaku yang contradictio in terminis (perilaku yang saling bertinju); semakin tua semakin buruk rupa, malah kian gila berfoto, lalu upload di media sosial. Setelah itu? Mati dalam gagah, mati dalam rasa cantik. Saking gagah dan cantik, dia pun tak mengenal sosok dirinya sendiri hasil selfie yang berjenjang situs; terkadang di lembah dengan latar pegunungan, kali yang lain latar laut, malah ada yang dengan bangga menajukkan dirinya di tengah-tengah sibuknya laluan pada bidang ruas jalan tol. Selfie dalam gaya bertanjak pula. Tetap tidak gila

Dosa putih atau dalam frasa lain disebut bohong putih (white lies) secara dogmatis dan teks amat intens dibincang dalam tradisi Kristen. Namun, dalam tradisi Melayu juga dikenal dosa kering. Lawan dari dosa basah? Bukan. Dia bukan kenyataan oposisional dari dosa basah, sebab tidak ada istilah dosa basah itu sendiri. Para filsuf dan pendeta selalu terlibat dalam proyek memperbaiki manusia atau proyek pemerbaik manusia. Kenapa? Karena kemanusiaan kerap diringkus oleh penguasa yang kejam dan zalim. Kemanusiaan juga sering dilembabkan oleh para oligarkhi picik. Meskipun proyek pemerbaik manusia ini tergolong proyek licin, namun proyek ini telah berlangsung sejak era Manu, juga Plato, Konfusius, Lao Tse, para Master Zen, selanjutnya proyek ini dengan kemilau diusung secara dogmatis oleh para guru Yahudi dan Kristen. Alhasil, dia menjelma bak warisan sejak Manu, Plato hingga guru-guru Kristen dan Yahudi (sebuah legacy demi memperbaik manusia). 

Seorang master Zen berujar; Telunjuk yang menunjuk bulan, bukanlah rembulan. Selanjutnya dalam derivasi verbal tentang dunia nasihat, maka dia akan beralih bunyi seperti ini: dia yang bercerita tentang kebenaran, bukanlah kebenaran itu sendiri. Dia hanya setakat bercerita kebenaran sahaja. Apakah ini juga sejenis dosa putih? Mungkin sang pengkhutbah hanya berkhutbah tentang kebenaran, tapi tak diikuti dengan tindak-laku yang mendukung nilai kebenaran yang dia khutbahkan itu, terkhusus untuk dirinya sendiri. Secara eufemis, kebenaran jenis ini disebut sebagai kebenaran demagogis (kebenaran searah sang pengkhutbah semata). Padahal dalam kemajemukan hidup ini, sisi kebenaran itu sendiri berpembawaan jamak. Dalam konteks menjaga hati, menjaga perasaan, menjaga hubungan diplomatic antara negara dan juga dagang kecil, dosa putih adalah sebuah proyek moderat (di sini letak licinnya itu). Demi etika publik dan perkawanan, walau menaruh benci dan  geram pada si fulan (lawan bicara), seseorang dlm rahasia diplomatik akan tetap senyum dan bersikap sopan, memberi salam hormat ketika mereka saling berhadapan. Amarah dikulum, demi menghormati majelis orang ramai dan etika diplomasi.  Seorang pedagang yang menjual produk ketika ditawar oleh seorang pembeli, maka dia akan menjawab; Aduuuh belum bisa segitu harganya, modalnya aja tak cukup Kakak.  Belum balik modal, masih amat jauh saya, dan seterusnya. 

Seseorang yang bertamu ke rumah orang yang amat dihormatinya, pas jatuh waktu makan siang. Lalu, si tuan rumah mempelawa makan siang bersama. Si tamu dengan bangga menyusun dosa putih: Maaf saya sudah makan Bu. Barusan tadi, sebelum ke sini.

Padahal sejatinya dia memang belum makan dan sedang bertarung menghempas rasa lapar. Wauuuww lalu bagaimana dengan konsep ujub yang amat sangat dielak dalam tradisi tasawuf ? Bisa saja seorang salik (pelaku jalan suluk/satu cabang dari praktik tasawuf), tengah menjalani puasa sunah. Ketika tiba pada kondisi yang sama dengan tamu di atas (ditawari makan siang); maka sang salik itu tidak akan mendaku-daku bahwa dia tengah melaksanakan puasa sunah (mungkin Kamis). Dia, tidak diperkenankan mengekspos dirinya selaku seorang alim dan salik, dengan perkataan Maaf, saya sedang berpuasa sunah, Bu. Malah sebaliknya, dia akan mendatangi meja makan, membatalkan puasa, ikut santap bersama, demi memusnahkan kesombongannya sedang melaksanakan puasa sunah, agar dikagumi sang tuan rumah. Sekaligus menghormati tawaran ihsan nan iklas dari tuan rumah. Dibatalkannya sunah puasa itu demi dua hal: membunuh ujub, merendah hati di depan tuan rumah. Dosa putih juga kah? Ya, sebuah proyek moral yang licinâ

Daulaat Tuankuuu  Sembari merebahkan badan serata lantai. Itulah sikap dan ekspresi para jelata menghormati sang Dipertuan Raja. Walaupun terhadap Raja yang tak disenangi, karena zalimnya teramat aromatik-minor, namun sebagai jelata tetap wajib mendengungkan seruan takzim itu, ketika raja mendatangi kampung jelata. Seru Daulat Tuanku diiringi dengan kentut senyap oleh salah seorang pariah jelata dalam kerumunan, tanpa sepengetahuan Raja. Kentut senyap itu sendiri adalah simbol perlawanan mereka yang lemah sekaligus ekspresi kebencian kepada Raja. Dalam kajian sosial dan humanitas (ekspresi hormat sekaligus kentut) disebut sebagai senjata perlawanan oleh orang-orang lemah (kentut sebagai weapon of the weak). Ha! kok bisa jadi dosa putih yang ganda (double pia fraus). Sekali lagi dia menampakkan diri sebagai proyek yang licin. 

Seketika datang Nietzsche, medaras satu ungkapan, yang setiap orang bisa berujar: Semua cara yang dipakai hingga kini untuk membuat manusia menjadi bermoral, ternyata sepenuhnya tak bermoral. Apakah menjadi proyek kesat?

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan