

Identitas Buku
Judul : Tujuh puluh Puisi
Penulis : Goenawan Mohamad
Penerbit : Tempo & PT. Grafiti Pers
Jumlah halaman : 154
Tahun Terbit : 2011
ISBN : 9786029964301
“Kemampuan membaca, itu sebuah rahmat. Kegemaran membaca, sebuah kebahagiaan.”
Goenawan Mohamad
Quote Goenawan Mohamad ini sudah tersebar di berbagai media. Sebagai penulis dan budayawan tentu kegiatan membaca merupakan hal yang penting dalam kehidupan Goenawan Mohamad. Pernyataan menemukan kebahagiaan juga pengalaman secara personal dalam membaca ini juga dapat kita rasakan ketika membaca Buku Tujuh Puluh Puisi. Buku ini didedikasikan untuk Goenawan Mohamad yang pada saat itu ( tahun 2011) berusia 70 tahun. Hanif Amini, kurator Komunitas Salihara mendapat kesempatan untuk memberikan catatan penyerta di buku kumpulan puisi ini. Dalam catatannya Hanif memberikan ulasan beberapa puisi dan sajak yang ditulis Goenawan sejak awal 1960-an hingga 2011.
Yang menarik dari ulasan Hanif mengenai sajak hibrida. Tentu ini hal yang tidak biasa disebutkan dalam ulasan buku kumpulan puisi. Kata hibrida seringkali muncul pada bidang biologi dan kimia. Di bidang biologi hibrida dikenal sebagai perkawinan silang antar genetika yang berbeda sedangkan di bidang kimia hibrida dikenal sebagai pertemuan orbitan –orbitan atom. Adapun yang dimaksud sajak hibrida di sini berkaitan dengan kelihaian Goenawan Mohammad memadukan alinea yang berisi prosa dengan lirik yang mengalir bersama baris sajak yang berirama maupun bebas. Meski memadukan hal yang berbeda sajak Goenawan tampak indah. Bentuk-bentuk perpindahan dari kwatrin ke sajak bebas maupun prosa sering kali tidak terduga seperti suatu plot twist. Hanif mengumpamakan bentuk ini seperti bentuk mozaik dan Chimera/Khimera yaitu makhluk mitologi Yunani yang berkepala singa berbadan kambing dan berekor ular. Dalam buku ini ada beberapa sajak hibrida yang dapat ditemui pembaca diantaranya sajak yang berjudul Pada Sebuah Pantai; Interlude yang diterbitkan tahun 1973 dan Sajak Untuk Frida Kahlo yang diterbitkan antara tahun 1993-1994.
Dalam Pada sebuah Pantai: Interlude, Goenawan mengungkapkan kepergian yang menimbulkan kehilangan dan kekosongan. Namun dari pengalaman kehilangan ini, subjek pada karyanya mengalami perenungan yang membawanya pada suatu pembelajaran. Bait pertama Pada Sebuah Pantai: Interlude menggambarkan suatu keadaan yang melankolis dikarenakan suatu kehilangan. Bait tersebut berbunyi :
Semua ini hanya terjadi dalam sebuah sajak yang sentimentil. Yakni ketika pasang berakhir,
dan aku menggerutu, ‘masih tersisa harum lehermu’; dan kau tak menyahutku.
Di pantai, tepi memang tinggal terumbu,
hijau (mungkin kelabu).
Angin amis. Dan
di laut susut itu, aku tahu,
tak ada lagi jejakmu.
Penyair menggambarkan situasi kehilangan hingga di bait kedua. Kata sajak sentimentil diulang hingga bait yang keenam. Hal ini mengisyaratkan kehilangan yang dialami subjek adalah hal yang benar-benar menyedihkan. Namun, penyair menggunakan latar belakang pantai. Pantai yang berkaitan dengan keindahan dan tempat untuk rehat sejenak dari hingar bingar rutintas. Sajak sentimentil dan pantai tentu ini merupakan dua hal yang bertolak belakang. Jadi, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa situasi kehilangan yang dialami subjek juga membawanya kepada suatu perenungan tentang makna hidup.
Perenungan tersebut membawa subjek pada suatu kesadaran. Hal ini terdapat dalam bait yang ketiga . Bait tersebut berbunyi:
Aku pun ingin berkemas untuk kenyataan-kenyataan, berberes dalam sebuah garis, dan berkata: “Mungkin tak ada dosa, tapi ada yang percuma saja.”
Kata berkemas dan berberes dalam sebuah baris dapat diinterpertasikan sebagai suatu kesadaran untuk kehidupan yang lebih baik. Hal ini berarti, perenungan yang dilakukan dalam keadaan tenang dan relax di suatu pantai menghasilkan sesuatu yang baik. Kehilangan yang begitu mendalam mendatangkan kekosongan. Tetapi kekosongan itu segera diisi oleh refleksi sehingga kesadaran untuk hidup yang lebih baik tercapai.
Pada sebuah Pantai:Interlude merupakan sajak yang majemuk terdiri dari delapan bait berbentuk prosa dan di setiap prosa mengandung baris-baris puisi yang berirama dan bebas. kemajemukan yang disuguhkan Goenawan pada sajak ini menunjukkan penyair ingin bebas dari ikatan baris–baris puisi konvensional. Selain itu, prosa dan baris-baris puisi dipadukan dengan mengalir apa adanya hingga pembaca terhenti pada bait terakhir yang mengandung falsafah hidup. Bait tersebut berbunyi:
Barangkali saja kita masih mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia.
Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana –
apapun maknanya.
Sajak hibrida berikutnya berjudul Sajak Untuk Frida Kahlo. Sajak ini lebih panjang dan padat dari sajak Pada Sebuah Pantai:Interlude. Bentuk hibrida dari Sajak Frida Kahlo ini sangat menonjol. Pada sajak ini Goenawan mengabungkan prosa berbentuk alinea dengan baris-baris puisi yang berirama bebas. Penyair memuculkan Frida Kahlo sebagai tokoh sentra dalam sajak ini. Gambaran tentang Frida Kahlo yang penuh penderitaan secara fisik dan juga mental di gambarkan pada bait bait puisi sebagai berikut :
di alismu langit berkabung
dengan jerit hitam
dua burung
di ragamu tiang patah
di kamar narsoke, ampul tertebar:
sisa sakit dan sejarah
Dua bait di atas menggambarkan kehidupan Frida Kahlo sebagai seorang pelukis Meksiko yang menderita polio dan tertimpa kecelakaan bus. Dari musibah kecelakaan pelukis yang merupakan istri Diego Rivera ini harus menjalankan 30 operasi di sepanjang hidupnya. Ketika Frida harus berbaring di tempat tidur , melukis adalah kegiatan yang menghibur dan memberi semangat. Bait-bait puisi tersebut juga mendeskripsikan tentnag lukisan Frida Kahlo tentang dirinya. Selama 1940 an Frida Kahlo melukis potret diri dengan berbagai gaya rambut , pakaian juga ikonografi.
Pada bait ketiga Goenawan mnedeskripsikan lukisan Frida Kahlo pada tahun 1946. Di mana pada lukiasan tersebut terdapat kijang yang penuh luka dan anak panah. Adapun wajah dari kijang tersebut adalah wajah Frida Kahlo. Lukisan ini mengambarkan hasrat Frida Kahlo yang selalu ingin dicintai Diego dan luka pada tubuh kijang menggambarkan penderitaan yang dialaminya. Goenawan menulis lukisan itu pada bait sebagai berikut:
tapi kijang yang tak menjerit di hutan
pada luka lembing penghabisan
adalah seorang perempuan
Goenawan membahas tuntas tentang Frida Kahlo beserta kehidupannya di sajak Untuk Frida Kahlo. Intrik rumahtannga nya bersama Diego, gaya berpakaian Frida Kahlo yaitu gaun putih Theuana,kecintaannya pada bunga sampai pada Frida Kahlo menghadapi kematian. Berikut bait yang mendeskripsikan kematian Frida Kahlo:
Apakah mati sebenarnya? Konon di tempat tidurnya – sebelum
orang mengangkatnya ke api kremasi – ada seorang yang
datang dan mencium parasnya, penghabisan kali, “Frida, kau
adalah ketakjuban kepada harum brendi, senyum di
percakapan dan ranum pisang dalam sajian makan malam.
Kau tergetar kepada apa yang sebentar.”
Di akhir sajak untuk Frid Kahlo, Goenawan Mohamad menuliskan falsafah hidup yang penuh makna tentang kematian dalam bentuk alinea. Berikut bunyi alinea tersebut:
Barangkali mati adalah transformasi, perjalanan ramarama
yang sedih yang menghilang ke arah roh: keabadian yang tak
tahu telah berubah lazuardi.
Menurut penyair kematian bukanlah sesuatu benar-benar hilang,. Penyair menyatakan bahwa kematian merupakan suatu perjalanan. Meski Frida Kahlo telah wafat tahun 1954, hingga kini karya-karya masih dijadikan bahan diskusi yang berkaitan dengan psikonalisis seni. Bahkan rumahnya yang dikenal sebagai Blue House di Meksiko merupakan museum benda-benda dan karya Frida Kahlo.
Sajak Untuk Frida kahlo jika ditelah lebih dalam mengulas tentang biografi dan karya pelukis bergaya surealis realisme. Goenawan menyajikan biografi dan ulasan lukisan dalam bentuk yang kreatif dan menarik. Sajak hibrida karya Goenawan Mohamad menyiratkan puisi kontemporer yang tidak hanya berkaitan denga kebebasan bereksprsai dan peraturan yang mengikat tetapi juga bentuk kreartif yang menekankan bahawa puisi adalah seni kata-kata yang terus ada di sepanajng hayat. Dengan berbagai bentuk, puisi dapat menjadi suatu wadah untuk berekpresi, menambah pengetahuan juga meningkatkan kualitas diri.
Tidak ada gading yang tak retak. Demikian juga buku Tujuh Puluh Puisi ini. Buku ini terlihat lebih baik jika daftar isi sesuai dengan abjad judul sehingga memudahkan pembaca mencari judul puii yang ingin di baca. Sayangnya, daftar isi berkaitan dengan tahun terbit puisi sehingga terkesan kurang rapi dan praktis.
Buku puisi yang diterbitkan tahun 2011 oleh PT Tempo dan Grafiti press ini, direkonemasikan untuk pencinta puisi khusunya bagi penggemar Goenawan Mohamad. Rasanya belum lengkap jika tidak membaca karya maestro yang satu ini. Happy reading.
Referensi
https://internasional.kompas.com/read/2018/12/07/13461901/biografi-tokoh-dunia-frida-kahlo-pelukis-asal-meksiko?page=all#google_vignette
https://www.sepenuhnya.com/2004/01/puisi-pada-sebuah-pantai-interlude.html
Goenawan Mohammad. 2011. Tujuh Puluh Puisi. Tempo & PT. Grafiti Press: Jakarta
Amelia Priscillawati menetap di kota Batu Jawa Timur sebagai penerjemah dan proof reader di Mitra Translator. Saat ini mengembangkan ketrampilan menulis di tempo institute.com