Tiras Guru : Mengajar Online di Musim Pandemi Covid-19 – Wifrina, M.Pd

114
Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Loading

Pengasuh : Bambang Kariyawan Ys

Mengajar Online di Musim Pandemi Covid-19

Wifrina, M.Pd.
Wakil Kurikulum SMAS Cendana Mandau

Penghentian sementara kegiatan belajar mengajar di sekolah yang merupakan salah satu dampak dari pandemi covid-19, tak lantas membuat proses belajar siswa terhenti. Siswa bisa tetap belajar secara daring, guru bisa tetap memberikan pendampingan dalam proses belajar siswa, dan orang tua bisa memonitor perkembangan belajar anaknya.

Sekolah tempat saya bertugas sebagai salah satu tenaga pengajarnya, SMAS Cendana Mandau, adalah sebuah sekolah yang berada dalam lingkungan dan harus mengikuti standar aturan operasional perusahaan Chevron Pacific Indonesia. Salah satu standar utamanya yaitu mengedepankan keselamatan. Dengan berpedoman pada standar utama tersebut, maka SMAS Cendana Mandau yang berada di bawah naungan Yayasan Pendidikan Cendana Riau segera mengikuti himbauan pemerintah untuk melaksanakan belajar di rumah bagi para siswanya.

SMAS Cendana Mandau memilih aplikasi schoology sebagai media pembelajaran online sebagai antisipasi pada saat anak-anak sekolah dirumahkan di musim pandemi COVID-19. Pilihan jatuh pada aplikasi tersebut dengan beberapa pertimbangan yang salah satunya adalah memudahkan siswa, guru dan pihak sekolah, serta orang tua untuk mengikuti, mengarahkan dan atau pun memantau kegiatan belajar-mengajar online tersebut.

Saat saya menuangkan ide saya dalam tulisan ini, tepat 2 bulan dan 10 hari sudah saya mengajar Bahasa Inggris sekaligus menjadi wali kelas online dengan menggunakan aplikasi schoology. Hari ini juga tepat merupakan hari terakhir libur sekolah online karena perayaan Hari Raya Idul Fitri 1441 H.

Begitu banyak pengalaman baru yang harus dialami oleh tidak hanya guru, namun juga siswa dalam menjalani proses belajar-mengajar secara daring dalam rangka mendukung kesehatan dan kesejahteraan siswa di masa pandemi ini. Selain guru dan siswa, orang tua siswa juga adalah pihak terkait berikutnya yang harus ikut merasakan dampak pengalaman belajar-mengajar online ini mengingat anak-anak mereka harus dirumahkan dan menjalani hal baru tersebut dalam kurun waktu yang tidak dapat ditentukan batasnya.

Dari sekian banyak pengalaman baru tersebut, saya akan menceritakan salah satunya yang sangat berkesan dan memberikan pembelajaran bukan hanya bagi siswa, namun juga saya sebagai guru Bahasa Inggris dan wali kelas salah  satu dari kelas yang ada yang tetap dilaksanakan secara online.

Bermula dari himbauan kepala sekolah agar proses belajar-mengajar secara daring ini dilaksanakan tanpa membebani siswa dengan tekanan pengambilan daftar hadir berdasarkan nilai berupa penilaian kuantitatif dari kemampuan mereka dalam kurikulum yang ada. Namun lebih pada mengarahkan mereka pada pembelajaran hidup yang bermakna, terutama yang berkaitan dengan pola hidup sehat dan menjaga hubungan sosial berjarak.

Setiap minggu sejak proses belajar-mengajar online berlangsung, kepala sekolah melalui wakil kepala sekolah bidang kurikulum meminta guru-guru untuk memberikan laporan tentang kemajuan program belajar dari rumah tersebut. Setelah adanya perintah tersebut, para guru dan wali kelas pun segera bekerja sama untuk melaksanakannya.

Tentu saja dari sekian banyak siswa SMAS Cendana Mandau, akan ada sekian persen nama yang muncul dalam laporan guru-guru pada wali kelas masing-masing akan kendala-kendala terhadap ketidakhadiran dan kelalaian siswa mereka di mata pelajaran-mata pelajaran kelas online. Saya sebagai wali kelas XI IPA 4 pun tidak lepas dari menerima laporan tersebut mengingat di kelas saya ada beberapa siswa yang memang terkenal sebagai siswa yang jauh dari sikap peduli tentang kewajiban mereka sebagai seorang siswa. Dari minggu ke minggu, saya selalu menerima laporan nama-nama yang selalu sama dari hampir semua guru mata pelajaran yang mengajar di kelas XI IPA 4 saya tersebut.

Padahal sejak awal kegiatan belajar-mengajar online berlangsung, saya sebagai wali kelas mereka selalu mengingatkan mereka pada jam 10 malam melalui grup kelas di Whats Apps agar segera tidur agar keesokan harinya mereka bisa bangun awal di pagi hari dan siap memulai aktifitas belajar online tanpa terlewatkan atau terlambat masuk kelas online. Bahkan setiap jam 6 pagi saya akan segera mulai menyapa mereka secara online dengan sekedar menyapa ringan seperti berikut:

“Assalamu alaikum/selamat pagi, dearest XI IPA4. Sudah siapkah untu masuk kelas online hari ini? Cepat tidur di malam hari ya. Jangan telat kayak kemaren lagi ya. Makanya besok-besok jangan telat  masuk kelas schoology nya. Bangun pagi kayak hari sekolah biasa, lalu mandi pagi, sarapan, baru masuk kelas schoology. Ini bangunnya aja udah pada siang, masuk kelas pun siang, yaaaa udahlah, dipatok ayam lah rezeki itu kata si Kevin. Jaga kesehatan dan kebersihan diri dan sekeliling kalian, serta tetap tinggal di rumah aja, kecuali ada keperluan yang sangat penting”.

Tapi namanya saja anak-anak sekolah usia remaja zaman sekarang yang begitu tahu bahwa kelas dimulai di jam 8 pagi dan online, yang artinya sedikit lebih lama mulainya dan longgar aturannya daripada kelas tatap muka langsung, mereka jadi lalai. Sehingga tidak sedikit di antara mereka yg melewatkan kelas online tersebut di jam-jam yang telah dijadwalkan.

Bukan hanya melewatkan jadwal kelas online tersebut, bahkan ada beberapa nama yang sungguh tidak peduli akan pemberitahuan di grup tentang apa dan siapa saja yang menyampaikan hal terkait kelas online. Sehingga dari minggu ke minggu akan selalu muncul nama-nama yang sama dari nyaris semua guru mata pelajaran tentang kelalaian mereka tersebut.

Setelah mencoba berbagai cara komunikasi yang bisa dilakukan untuk mengingatkan, mengarahkan, membina, dan dengan sedikit mengancam ala emak-emak pada anak-anaknya yang tidak juga patuh (namun tetap tidak mempan), akhirnya saya memutuskan untuk mengeluarkan mereka-mereka yang tidak merespon himbauan saya dari grup WA kelas.

Dengan telaten saya mengambil daftar hadir mereka satu per satu yang meresponnya di grup WA kelas, dari jam ke jam, sampai detik-detik terakhir, masih ada empat siswa saya yang tidak juga meresponnya, sehingga satu per satu saya keluarkan mereka dari grup WA kelas. Teman-teman mereka mulai merespon tindakan saya tersebut dengan berbagai macam bentuk, ada yang dengan kata-kata himbauan pada temannya tersebut, ada yang dengan emoji, ada yang dengan tanda tanya, dan lainnya sebagai bentuk kecemasan akan kemurkaan emaknya ini.

Akhirnya saya sampai pada satu nama siswa yang paling terakhir akan saya keluarkan dari grup WA kelas, yaitu sang ketua kelas, Yanto nama siswa itu. Namun berulangkali saya coba mengeluarkannya, tetap saja tidak bisa. Setelah saya kurangi rasa marah saya, saya pelajari hal tersebut, ternyata, oooh…. ternyata, sang ketua kelas adalah orang yang membuat grup WA kelas tersebut. Tentu saja saya tidak bisa mengeluarkannya dari grup tersebut. Saya lupa bahwa dulu pertama kali saya masuk kelas mereka, saya adalah orang yang meminta Yanto untuk membuat grup WA kelas ini. Hehehe…

Setelah saya tahu bahwa saya tidak bisa mengeluarkan Yanto dari grup, saya berpikir bagaimana cara agar anak-anak tersebut tahu bahwa saya, emak mereka, wali kelas mereka, marah dengan sikap lalai dan tidak peduli beberapa siswa tersebut. Dengan berat hati namun pasti, saya memutuskan untuk mengeluarkan diri dari grup WA kelas tersebut.

Sontak saja bermunculan pesan-pesan ke WA pribadi saya dari semua anak-anak kelas XI IPA 4 yang memohon maaf atas kelalaian teman-teman mereka dalam kegiatan belajar online ini, termasuk Yanto, sang ketua kelas, si pembentuk grup WA kelas ini yang berulang-ulang memohon maaf melalui pesan pribadi di WA.

Saya tidak segera membuka pesan anak-anak tersebut, namun hanya memperhatikan notifikasi pesan masuk saja. Saya ingin mereka mendapat pembelajaran hidup yang bermakna dari kejadian tersebut. Saya ingin mereka tahu bagaimana pedulinya saya terhadap mereka. Saya ingin mereka tahu betapa besarnya keinginan saya melihat mereka menjadi anak-anak yang punya kepedulian terhadap segala sesuatu di sekeliling mereka. Saya ingin mereka tahu betapa saya sayang pada mereka sebagaimana saya sayang pada anak-anak kandung saya. Dan saya ingin mereka tahu betapa kecewanya saya dengan sikap lalai mereka, itu pesan utama yang ingin saya sampaikan dengan keluarnya saya dari grup WA kelas.

Apakah berhasil usaha saya tersebut? Apakah anak-anak tersebut selain merasa bersalah juga memiliki usaha untuk memperbaiki suasana yang terlanjur rusak itu? Apakah mereka mendapatkan pembelajaran hidup yang bermakna dari kejadian tersebut?

Saya akan menceritakannya nanti, pada saat tulisan saya ini masuk nominasi tulisan terpilih pada event “Kami mencari Anda: Para pengajar dan pendidik di tingkat Sekolah Dasar, Menengah Pertama, dan Atas untuk berbagi dan menulis pengalaman Anda dalam mendukung kesehatan dan kesejahteraan mental siswa di masa pandemi saat ini”.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan