Mengingat reputasinya demikian melegenda, ditambah lagi dengan adanya adagium bahwa pirate est hostis humani generis, menyebabkan bahwa nama lanun menjadi stigma negatif bagi suku Iranun itu sendiri.
Pelekatan stigma ini tentu sedikit banyaknya dikarenakan minimnya informasi sahih terkait suku Iranun yang berimbang. Mengingat informasi yang dijadikan rujukan sejarah tersebut kebanyakan berasal dari catatan-catatan lawas Belanda yang tentu saja mengambil perspektif mereka (Belanda) sebagai tokoh utama yang berperan sebagai ratu adil. Sebagaimana pernyataan dari Winston Churcill—bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa ini merupakan perkataan dari Napoelon Bonaparte—”Sejarah ditulis oleh para pemenang”.
Tentu upaya untuk meluruskan pandangan tersebut membutuhkan energi yang lebih berat lagi, mengingat dibutuhkan sumber dan fakta empiris. Permasalahannya adalah, sesuai dengan pengertiannya yang berakar pada bahasa Arab, sajaratun, yang berarti pohon, sejarah memiliki percabangan yang melebar dan pengakaran tunggang yang jauh melesak hingga ke inti bumi. Jangankan cabang, untuk menelusuri satu ranting sejarah itu sendiri dibutuhkan ilmu untuk mengoneksikan dan menghubungkan satu data dengan lainnya. Tentu membutuhkan proses dan verifikasi yang tidak gampang. Dan lagi, seringkali akibat keterbatasan ilmu, proses konektivitas antara satu data dengan data yang lain akan berakhir kepada jebakan “cocokologi” yang barang tentu sangat ingin dihindari oleh ahli atau sebut saja orang yang memiliki ketertarikan terhadap sejarah.
Adalah Rida K Liamsi, seorang mantan jurnalis, budayawan, dan penulis yang mencoba mengambil peran tersebut. Melalui karya-karyanya mengangkat isu sejarah, terkhusus sejarah Melayu, Rida mengonfirmasikan bahwa sejarah Melayu telah tercemar oleh anggapan-anggapan dan stereotip yang menisbikan kemaharajaan Melayu. Dengan sedih, Rida pernah mempertanyakan bahwa bagaimana bisa bangsa yang memiliki peradaban hingga 800 tahun lamanya seperti bangsa Melayu sekarang ini dicap sebagai bangsa pemalas. Tentu ada kekuatan besar yang berupaya membelokkan fakta sejarah.
Maka, berangkat dari keprihatinannya terhadap miskinnya sumber sejarah yang kredibel, dan keinginannya untuk meluruskan pemahaman atas pemelintiran sejarah, Rida rela melakukan riset pustaka dan lapangan bertahun-tahun lamanya hanya untuk sebuah karya saja. Hal itu dilakukannya untuk menjaga kualitasnya tulisan agar bisa dipertanggungjawabkan. Rida sadar bahwa dalam menelusuri sumber sejarah, seorang sejarawan dituntut untuk selalu objektif dan berimbang dalam mencari sumber, serta menghindari perasaan emosional dan melebih-lebihkan fakta. Sungguhpun begitu, subjektifitas itu terkadang juga dibutuhkan dalam hal penulisan sejarah.
Salah satu punggawa sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo membagi pengertian sejarah pada; pengertian subjektif dan objektif. Sejarah dalam arti subjektif merupakan sebuah bangunan dalam kesatuan yang disusun penulis sebagai uraian atau cerita dengan mencakup fakta-fakta yang dirangkai untuk mengambarkan gejala sejarah; baik proses maupun struktur.
Kesatuan itu harus menunjukkan koherensi, yang berarti berkesinambungan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan. Unsur-unsur tersebut saling menopang dan bergantung satu sama lain. Disebut subjektif tidak lain karena sejarah memuat unsur-unsur isi subjek (pengarang, penulis) di mana pengetahuan ataupun gambaran sejarah ini merupakan pengambaran atau rekontruksi dari pengarang sehingga memuat sifat-sifatnya, gaya bahasanya, struktur pemikirannya, pandangannya dan sebagainya.
Di sisi lain, sejarah dalam arti objektif menunjuk pada kejadian atau peristiwa dalam proses sejarah sejarah aktual, yang mana berarti tidak akan ada pengulangan kejadian yang sama. Sehingga, bagi orang yang yang mengalami suatu kejadian, ia hanya dapat mengamati sebagian dari totalitas kejadian itu.
Dengan demikian, pengumpulan perca-perca kejadian itu direkonstruksi dalam sebuah kejadian utuh. Meskipun kemudian sejarah juga memiliki narasi (penokohan) dan juga deskripsi kejadian, namun penyajian dengan berbagai catatan kaki dan bahasa kaku seringkali menjadi momok tersendiri yang membuat beberapa orang alergi untuk membaca tulisan sejarah.
Rida sadar akan hal tersebut. Alih-alih menggunakan bahasa diktat yang kaku, Rida memilih untuk menulis tema sejarah dengan pendekatan melalui jalur sastra dengan harapan lebih bisa mendekatkan dengan para pembaca muda yang barangkali tidak begitu memiliki ketertarikan mendalam terhadap sejarah.
Memang secara mendasar proses pengisahan peristiwa sejarah ini memiliki kemiripan dengan proses deskripsi dan narasi pada sebuah karya sastra. Namun, Rida sendiri mengakui bahwa terdapat sebuah kelemahan besar yang tidak bisa dinafikan yakni, bagaimanapun sebuah karya sastra sejarah itu digarap dengan baik, ia tetaplah sebuah karya sastra yang berarti bermuatan fiksi.
Lalu, tentu akan muncul pula pertanyaan, “Apakah bisa karya sastra dijadikan referensi sejarah dan sejauh mana batasan karya tersebut menjadi sebuah referensi?”
Sebuah artikel yang menarik dari Heri Priyatmoko, seorang dosen Sejarah pada Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, menyebutkan bahwa sastra dan ilmu humaniora (termasuk sejarah) memiliki keterkaitan yang sangat dekat, meskipun memiliki batasan yang jelas dan tegas. Bahkan, sastra memiliki sumbangsih tak sedikit terhadap kerja ilmiah peneliti ilmu sosial. Kemudian, lebih lanjut lagi, Hery menyebutkan dalam kutipan sebagai berikut;
“… Kita tahu bahwa sastra sebagai seni hidup dalam dunia imajinasi, pekerjaannya adalah mengekspresikan imajinasi itu. Sedangkan, sejarah sebagai ilmu hidup di tengah dunia realitas tugasnya merekonstruksi realitas itu. Sejarah merujuk pada sesuatu di luar dirinya (referensi), sementara sastra merujuk dirinya sendiri (ekspresi). Sejarah punya pertanyaan dan metodologi sendiri dan semua sumber (termasuk sastra) terkena kritik sejarah yang tak bisa ditawar …”
Maka, dengan demikian dapat diambil jalan tengah bahwa sah-sah saja menjadikan karya sastra sejarah sebagai sebuah referensi—minimal untuk melihat bagaimana kondisi antropologi manusia pada masa yang dituliskan pada masa tersebut. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru sebenarnya. Misal, dulu ketika novel Max Havelaar yang dikarang oleh Multatuli alias Douwes Dekker beredar di pasaran, dunia Eropa langsung dihebohkan dan menganggap novel itu sebagai jurnal. Dugaan tersebut dikarenakan adanya tokoh yang berperan sebagai narator bernama Stern—novel ini disampaikan oleh tiga orang narator yang berbeda—yang diyakini sebagai Multatuli itu sendiri ketika ia sudah tidak lagi menjabat sebagai Asisten Residen Lebak, dan satu lagi narator tanpa penokohan yang menceritakan mengenai kekejaman Bupati Lebak, hingga kisah cinta Saidjah dan Adinda yang melegenda—sehingga pembaca kemudian menganggapnya sebagai persona Multatuli itu sendiri ketika ia sedang menjabat dan bertugas di Hindia Belanda. Maka, jika kita tetap berpegang pada ketentuan bahwa karya sastra adalah sebuah fiksi yang tidak bisa dipegang dan ditelan mentah-mentah, tentulah Max Havelaar tidak akan memberi sumbangsih terhadap apa yang dinamakan politik etis. Sastra mampu mengabarkan yang kabur yang tidak terjangkau oleh jurnalisme, seperti kata Seno Gumira Ajidarma bahwa sastra harus ambil bicara ketika terjadi pembungkaman pada jurnalisme.
Pendapat lainnya disampaikan oleh Herder yang menyebutkan bahwa faktor lingkungan sosial dan geografis seperti; iklim, lanskap, ras, adat istiadat, dan kondisi politik, memiliki hubungan dengan dengan karya sastra, yang mana kehadiran sastra ini menurut Herder dapat digunakan untuk menganalisis sejarah. Demikian pula dengan sejarah bisa sebagai acuan dalam menganalisa sastra.
Kemudian pendapat ini diamini oleh A. Teeuw yang menyebutkan bahwa karya sastra sejarah merupakan karya tulis yang bersifat ganda, yaitu bersifat sastra dan bersifat sejarah. Jika ditinjau dari sudut (pandang) sastra, sebuah karya sastra sejarah termasuk salah satu jenis sastra, yaitu karya sastra yang bernilai sejarah yang umumnya bahannya diambil dari sejarah. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh kelangkaan sumber sejarah yang berasal dari kalangan orang Indonesia, sehingga mendorong para sejarawan Barat untuk menggunakan karya sastra sejarah sebagai sumber bagi penulisan sejarah Indonesia. Usaha ini sudah dilakukan jauh-jauh hari oleh seorang linguis bernama J.L.A. Brandes (1857-1905).
Kembali lagi pada bahasan mengenai Rida K Liamsi dan karya sastranya, pada novel Lanun Alang Tiga ia mencoba menampilkan sisi lain dari lanun yang selama ini di buku-buku sejarah digambarkan sebagai manusia jahat yang sarat akan tindakan kriminalitas. Sepertinya Rida berpegang pada konsep helicopter view untuk mencoba melihat semua sisi pada sebuah peristiwa. Kosep ini menurut Kuntowijoyo adalah bentuk rekonstruksi masa lalu yang menolak menjadi sebuah antikuarianisme. Ibarat kata, ketika naik kereta, kita menghadap ke belakang, yang memungkinkan kita untuk melihat ke belakang, sekaligus ke kanan dan kiri.
Alhasil, selain kegagahan lanun di medan perang, Rida berupaya menonjolkan aspek epik ataupun epos yang mengedepankan sisi heroisme dari para lanun dalam berjuang melawan Belanda di samping anggapan kriminal yang tetap melekat terhadapnya.
Konsep kriminal yang dianggap pahlawan ini sebenarnya bukan hal yang baru, mengingat kejahatan dan kebenaran seringkali dipandang sebagai dua sisi mata uang yang saling berkaitan, pun sesuatu yang sarat akan kepentingan dan subjektif. Dalam kisah eropa dikenal dengan kisah Robin Hood, seorang perampok yang dianggap sebagai kriminal oleh pihak kerajaan, namun pahlawan bagi rakyat kecil. Di Jawa kisah serupa dituturkan pada kisah Sunan Kalijaga, seorang bangsawan yang merampok orang kaya dan menjadi membagikan hasil rampokannya kepada kawula. Belum lagi Goemon Ishikawa di Jepang, seorang bandit/perompak gunung yang juga dianggap sebagai pahlawan bagi rakyat kecil.
Rida agaknya sangat paham bahwa ia tetap harus mengedepankan dua sisi mata uang yang ingin ditonjolkannya. Ia tidak ingin terjebak pada glorifikasi kejayaan dan kegagahan lanun yang mengakibatkan ia hanya menulis yang baik-baik saja mengenai lanun ini. Rida tetap berupaya untuk berjalan pada rel cerita yang ingin dibangunnya, yaitu menampilkan sejarah dalam artian utuh sebagaimana niat awalnya untuk meluruskan sesat paham mengenai lanun.
Tentu saja jika bicara utuh, maka berarti menyeluruh dan tidak mencecerkan satu hal pun perca dan lubang pada kisahnya. Untuk itu, sebagai penulis, Rida harus paham betul bagaimana alur kejadian, setidaknya kondisi sosial, ekonomi, dan budaya pada linimasa yang ingin diangkatnya.
Penulisan sejarah sebagai suatu rekonstruksi peristiwa masa lampau yang membutuhkan sumber-sumber yang relevan dengan tema atau pokok bahasan mengingat ciri dari sejarah sendiri: geschichte, einmalig, dan unique. Rida harus menggunakan kemampuannya secara subjektif untuk mengedepankan fakta secara objektif. Hal ini dilakukan agar dalam tahap akhir penulisan dapat dihasilkan sintesis dari seluruh penelitian dalam bentuk tulisan disebut historiografi. Proses itu sendiri harus melalui tahapan pengujian dan analisis secara kritis terhadap rekaman dan peninggalan masa lampau.
Oleh Gottschalk, historiografi adalah proses rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses pengujian dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan sejarah masa lampau. Berdasarkan hal tersebut historiografi erat kaitannya dengan otentitas penulis. Untuk itu diperlukan pendekatan multidimensional agar permasalahan yang diteliti dapat diungkapkan secara komprehensif untuk mempelajari fenomena historis secara kompleks.
Kompleksitas ini dapat terlibat pada novel Rida yang mencoba mengurai benang kusut konflik melalui analisis dan diskusi yang disajikan sepanjang cerita ini berlangsung. Agar tidak terkesan sebagai karya sejarah murahan dengan penceritaan yang dalam teori menulis disebut “tell” atau penyampaian oleh narator yang berfungsi sebagai penjelasan sesuatu, Rida mencoba tetap elegan menggunakan metode“show”.
Rida cukup cerdik di sini bermain strategi. Untuk mendeskripsikan sejarah, alih-alih menggunakan POV-I dengan narator yang serba tahu, Rida mengalihkan peran tersebut kepada Prof. Kazai, salah seorang tokoh kunci yang memiliki pemahaman mendalam mengenai sejarah Melayu. Bahkan untuk mempertegas kredibilitas Prof. Kazai, Rida beberapa kali pula menyandingkan “pakar sejarah Melayu” setelah menyebut nama Prof. Kazai. Upaya ini cukup berhasil menggiring peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu dan selipan kutipan-kutipan dari berbagai tulisan dan penelitian ilmiah menjadikan novel ini memang berkualitas dan berbobot untuk dibaca, dan jauh dari jebakan hikayat dan dongeng belaka. Tak mengherankan jika kemudian ada yang mengutip novel Rida sebagai sumber dan referensi sejarah sebab kemampuan Rida membangun historiografi dengan apik.
Kendati demikian, keberadaan Prof. Kazai ini menjadi bumerang bagi alur cerita. Pada beberapa bab awal hingga pertengahan, kita disuguhi kepada dialog-dialog berat antara Nadin si tokoh utama dengan Mustam dan Prof. Kazai. Dialog itu sebenarnya disajikan dengan baik dan merupakan sari dari kisah sejarah; baik itu sejarah Siak, sejarah Riau, Lanun, Iranun, dan lain sebagainya. Hanya saja, dialog tersebut kemudian lebih terkesan seperti kuliah dan pemaparan makalah yang, bagi sebagian orang bisa membuat muntah—meskipun Rida sudah berupaya memaparkannya sesederhana mungkin.
Namun, jika ditilik lebih jauh ke atas, setidaknya bisa dipahami bahwa akar permasalahan yang ingin diulas Rida adalah adanya konflik kekuasaan di dalam sebuah kerajaan Melayu. Dalam sebuah forum diskusi, ia pernah menyampaikan kajian metahistoria-nya melalui dasar sebuah perandaian. Ia berujar, “Andai Megat Sri Rama tidak membunuh Raja Mahmud Mangkat di Julang, tentulah sejarah Melayu tidak seperti sekarang. Andai Tun Tengah tidak selak bidai lepak subang, tentulah pihak Bugis ketika itu tidak menggempur Raja Kecik, dan lain sebagainya.” Konflik yang bersumber dari internal Kerajaan Johor ini kemudian diikuti dengan turut campurnya pihak ketiga (Bugis) dalam pusaran konflik. Alhasil yang awalnya konflik internal di antara sesama Melayu berubah menjadi perseteruan Melayu dengan Bugis.
Konflik antara pihak Melayu dengan Bugis ini meruncing tidak hanya pada Kerajaan Riau Johor Lingga saja, melainkan juga pada Kerajaan Siak. Dari novel Lanun Alang Tiga ini dijabarkan bahwa keterlibatan suku Iranun dalam pusaran kekuasaan kerajaan Melayu ini dimulai ketika Sultan Mahmud Riayat Syah meminta bantuan ke Tempasuk untuk menyingkirkan Belanda yang berdiam di Tanjungpinang. Ketika itu Iranun dari Tempasuk dipimpin oleh Raja Ismail melakukan penyerangan dalam armada besar—terdiri atas perahu yang panjangnya sekitar 80 sampai 90 meter dari haluan ke buritan—yang memaksa Belanda menyerah dan menerima kekalahan. Lalu sebagai upaya untuk menghadapi pembalasan Belanda yang berusaha menguasai kembali Riau sebagai wilayahnya, Sultan Mahmud Riayat Syah pindah ke Daik, Lingga dan menempatkan orang-orang Iranun di pantai timur Sumatera maupun di Riau untuk mengatasi kekosongan kekuasaan di wilayah kepulauan setelah peran Bugis merosot.
Sepanjang sejarah Melayu, hubungan pihak Melayu dan Bugis ibarat pasang surut gelombang: diwarnai dengan konsolidasi, perang, konsolidasi, dan perang lagi. Rida tidak terjebak dengan status sosialnya sebagai seorang tokoh masyarakat Melayu yang harus menampilkan citra baik berkaitan dengan Melayu. Malahan, Rida membongkar bagaimana pengkhianatan itu terjadi oleh kalangan istana. Hal ini disampaikan secara halus pada sebuah percakapan oleh salah seorang tokoh bernama Mustam. Ia mengatakan;
“… Sekali berdamai, sekali melawan, atau sebaliknya. Patutlah orang Belanda itu selalu berkata, perjanjian politik dengan raja-raja Melayu itu, tak boleh dipercaya seratus peratus. Sewaktu-waktu dia berubah.”
Pendapat Mustam itu diamini oleh Prof. Kazai. Secara eksplisit ia menyebutkan;
“…Adakala mereka bersekutu, adakala mereka berseteru. Itu politik bajak laut. Politik itu, kan kepentingan.”
Lantas, jika konsolidasi dilandasi kepentingan, maka kepentingan yang bagaimanakah yang mampu mengikat sedemikian erat? Thomas Hobbes pun pernah menyebutkan,“Homo homini lupus”. Bahwasanya di atas kepentingan, tidak ada persahabatan dan permusuhan yang abadi. Karena sebagaimana sifat dasarnya, manusia itu adalah serigala bagi manusia lainnya, yang saling menggigit, memangsa, dan membunuh demi memenuhi kepentingannya. Bahkan, kepentingan juga bisa mengalahkan ikatan darah dan perkawinan. Tak heran jika pada masa itu ada perkawinan yang ditujukan untuk mengikat secara politik, sebab mereka ketika itu meyakini bahwa ikatan darah tidak bisa diputuskan oleh apapun. Meskipun kemudian, kembali lagi pada persoalan di atas, bahwa ikatan itu tidak akan putus hanya sepanjang kepentingan masih sama.
Kepentingan itu semakin menguat ketika ada pihak luar yang berusaha mengganggu kepentingan tersebut. Dalam hal ini adalah pihak Belanda yang hendak memonopoli jalur pedagangan Selat Malaka yang menyebabkan persatuan dari pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu. Bak kata pepatah lama, Musuh dari musuh adalah teman.
Hal ini bisa dimaklumi, sebab menjelang abad ke-18 hampir seluruh kerajaan di semenanjung Tanah Melayu menumpukan potensi alam di daratan sebagai sumber utama ekonomi semisal pertambangan bijih timah. Menurut Reinout Vos perang bajak laut (lanun) melawan Belanda ini dilakukan tidak semata-mata membalas dendam atas kekalahannya di Riau dan keinginannya membangun imperium dari Lingga, tetapi juga dipengaruhi persaingan dalam perdagangan timah. Rida tidak menampik faktor tersebut, namun kembali lagi, ia tetap mencari sisi lain dari kisah dan sumber lainnya yang tidak hanya berasal dari sumber Belanda yang barang tentu akan selalu mendiskreditkan pihak Melayu. Ia mendedahkan lagi melalui ucapan Mustam;
“…Persekutuan yang pada mulanya karena kepentingan ekonomi, bukan politik. Saya rasa begitu. Cuma merasa sesama rumpun Melayu. Tapi, kemudian baru disatukan oleh kepentingan politik melawan penjajah asing. Di jazirah Melayu ini melawan Belanda dan kemudian Inggris. Di Utara Borneo, melawan Spanyol dan juga Inggris.”