Cerpen Bambang Kariyawan Ys.
Tubuh sungai bagimu adalah nadi. Berdenyut kala kau sentuh dan kau renangi. Bagimu, aroma airnya memberikan sentuhan kehidupan. Kau dipercaya masyarakat menjaga keberlangsungan sungai ini. Tepatnya Sungai Subayang, salah satu sungai yang masih terjaga kejernihannya. Kau masih bisa menikmati kicau burung dari rimbunan pepohonan Sungkai. Menikmati gelayutan lebah madu Sialang. Gemericik air terjun 6 tingkat. Rumah-rumah pohon yang sengaja dibuat untuk mereka yang mencintai alam. Serta sesekali kaulihat perahu motor yang hilir mudik membelah aliran Subayang yang dikenal dengan pighau.
Istilah yang sering kau sebut dengan lubuk larangan untuk keseimbangan alam. Larangan sebagai pantangan yang harus dipatuhi dalam menjaga ikan-ikan yang ada dalam batas kawasan lubuk. Lubuk larangan telah menjadi bagian dalam kehidupan di kampung ini. Bagimu, kenikmatan tersendiri yang menyelusup ke dalam pori-pori tubuhmu kala setiap harinya mengawal ikan-ikan yang terbatasi dalam lubuk larangan berkecipak untuk saling bercanda dalam bahasa mereka.
Terkadang seperti telah bersebati secara batin antara kau dan ikan-ikan itu. Mulut-mulut mungil ikan pantau, kapiek, juaro, baung, selimang, barau dan tapah seakan ingin bercerita tentang bahagianya mereka bisa tinggal di aliran Sungai Subayang ini. Kau pandangi mulut-mulut mereka yang sering kau artikan sebagai nyanyian alam dengan aliran sungai sebagai harmonisasi alunan musiknya.
“Jagalah lubuk larangan itu, sebentar lagi kita akan melaksanakan mancokau,” ujar tetua kampung menyadarkanmu dari lamunan menikmati hilir mudik ikan-ikan yang tak lelah menari di lubuk larangan. Bentangan larangan sepanjang satu kilometer menjadi tanggung jawabmu. Jelang pagi, siang, dan malam, kau jaga batas-batas lubuk larangan agar tidak rusak yang akan menyebabkan ikan-ikan yang siap dipanen warga tidak berlarian ke sungai di luar bentangan.
Kepercayaan yang diberikan tetua kampung padamu membuat teman-teman seusiamu mengambil sikap tidak bersahabat. Apalagi Mahmud, teman bermainmu sejak masa kecil di bangku sekolah. Selalu saja ada lontaran kalimat-kalimat yang menyudutkan dan penuh dengan selidik.
“Apa-apa kau saja yang diberi kepercayaan, macam kami tak bisa saja menjalankan kepercayaan itu,” ujar Mahmud sambil mencari dukungan geng seperkumpulannya.
“Dibayar berapa kau Zainal untuk menjaga lubuk tuh?” kembali Mahmud bertanya seperti meneror.
Kau hanya memberi senyuman atas gurauan teman-temanmu.
“Tak perlulah dimasalahkan siapa yang diminta menjaga tetua kampung, sama-sama saja kita jaga lubuk larangan itu.” Kau jawab dengan seadanya. Bagimu lubuk larangan milik bersama, bukan milik orang-orang tertentu di kampung ini.
Kembali kau diingatkan untuk persiapan menyambut mancokau. Kau persiapkan sebaik mungkin yang menjadi tanggung jawabmu. Kau persiapkan segalanya dengan detil agar mancokau tahun ini berlangsung lebih meriah dari tahun-tahun sebelumnya. Mancokau kali ini adalah mancokau tahun ketiga kau diberi kepercayaan menjaga lubuk larangan.
Tahun-tahun yang lalu, kau masih ingat bagaimana mancokau berlangsung. Prosesi adat yang telah terpelihara ini dimulai dengan pelemparan jaring pertama oleh tetua kampung. Sabetan ikan pertama diangkat. Tak langsung diangkat ke darat, melainkan langsung dipotong dua di tengah sungai. Satu bagian di kembalikan ke sungai, sisanya dibawa ke darat untuk nantinya dimakan beramai-ramai. Yang dikembalikan ke sungai sebagai bentuk penghormatan kepada alam dan leluhur.
Aku selalu merasa miris saat menyaksikan ritual itu. Kenapa mereka justru melakukan hal yang demikian sebagai persembahan kepada alam dan leluhur? Bukankah Tuhan tidak pernah mengajarkan hal yang demikian pada mereka?
“Itulah bentuk tanda syukur kita serta menjaga keseimbangan alam. Mancokau juga mengajarkan untuk kita tidak serakah akan hasil yang diberikan alam,” nasihat tetua kampung pada masyarakat setiap mancokau berlangsung.
Aku masih tidak mengerti. Bukankah yang memberikan keseimbangan alam ini adalah Tuhan yang menciptakan? Kenapa mereka justru melakukan ritual tersebut sebagai bentuk rasa syukur kepada leluhur?
Acara ini semakin semarak karena selama mancokau berlangsung dimeriahkan dengan bunyi-bunyian musik tradisional seperti calempong, gendang dan gong. Shalawat juga dilantunkan oleh tetua kampung, diikuti warga lainnya di tepi sungai. Tetua kampung juga berdoa agar sungai yang masih asri itu tetap terjaga.
Hasil tangkapan ikan beragam. Namun biasanya masyarakat lebih memburu ikan jenis Barau. Ikan ini dikenal dengan daging tebal dan manis, serta menjadi endemik di sungai ini. Bagimu bukan ikan jenisnya tapi kemeriahan warga kampung dalam riuh rendah kebersamaan.
Hari itu jelang bulan puasa, kau bersama masyarakat dan para pemuda mempersiapkan peralatan. Puluhan batang buluh atau bambu, dan puluhan meter jala atau jaring mereka siapkan. Bambu tadi dipasang melintasi badan sungai. Ia disusun silang. Untuk menguatkannya bisa diikat dengan kawat dan dipaku. Setelah bambu terpasang kau tempelkan jaring untuk menahan agar ikan tidak keluar dari kawasan tangkapan.
“Zainal, siapkan tiga pighau terbaik untuk tamu-tamu kita,” pesan tetua kampung. Dengan senang hati kau carikan tiga pighau terbaik yang dimiliki warga kampong. Pighau yang terpilih harus kuhias seindah mungkin untuk membuat tamu-tamu yang menaikinya berkesan.
“Tak kau pilih pighau-phigau kami nih, Zainal? Pilihlah satu saja, biar kami juga merasakan uang kas desa untuk sewa phigau tuh, ” seloroh Mahmud dan kawan-kawannya.
“Aku hanya diminta Tetua Kampung memilih pighau yang ada ukiran lekuk rebung dan julang burung enggang,” kau coba memberikan penjelasan mengapa pighau Mahmud dan kawan-kawannya tak kaupilih.
“Alasan kau sajalah Zainal,” jawab mereka meninggalkan mu dalam kesibukan menghias pighau-pighau yang akan menyambut tamu dalam tradisi mancokau.
Jelang tiga hari mancokau mulai berdatangan orang-orang kampung yang merantau ke kota. Diantaranya telah banyak orang-orang sukses dari kampung kecil ini yang menjabat di kota sana. Kampung ini menjadi ramai dengan tawa dan canda. Walau saat malam hanya bertemankan penerangan genset sampai jam dua belas, namun kau rasakan kebahagiaan setiap mancokau selalu menimbulkan suasana berbeda dari biasanya. Hiburan-hiburan rakyat menambah semarak dan bulan seperti ikut tersenyum menyaksikan kebahagiaan warga kampung.
Berbagai makanan yang khas muncul pada saat mancokau itu dilaksanakan. Salah satunya yang paling dinanti adalah Sambagh Bakacau. Olahan ikan Juaro (Juagho), Baung, dan Barau (Baghau), yang dicampur dengan olahan daun kunyit, daun salam, dan daun jeruk purut. Seperti hari raya Idul Fitri dengan ketupatnya, mancokau selalu dinanti dengan Sambagh Bakacaunya.
Malam menyisakan bulan separuh yang ikut menerangi gemericik sungai. Larut sisa malam membuat mata lelah untuk menyambut pagi. Saat matamu terbuka, dari luar beberapa orang berteriak memanggil-manggil namamu.
“Zainal! Zainal! Keluarlah!” teriak beberapa warga kampung.
“Ada apa?” heranmu sambil mengamati wajah-wajah warga kampung.
“Lihatlah lubuk larangan!” seru mereka.
Kau berlarian menuju lubuk larangan tempat acara mancokau esok lusa. Kau lihat batas-batas lubuk larangan rusak dan dilepas. Tak ada lagi kecipak ikan-ikan yang siap dipanen. Luruh sudah segala jiwa dan energi semangat dari dalam benakmu. Semua mata menatap dan menembus ulu hatimu yang terbuka.
“Semua salah kau, Zainal!” tuduh mereka. Mata-mata merah saga warga kampung seperti bola api memancar.
“Mau diletak di mana muka ini sama tamu undangan yang akan hadir acara lusa ha!” amarah tetua kampung.
“Usir saja Zainal, Pak Tetua!” kaudengar suara Mahmud dengan usulan yang membuatmu menggenggam jemari tangan.
“Saya tak tahu apa-apa Pak Tetua. Seminggu ini dan sampai semalam saya masih menjaga lubuk ini,” jelasmu sambil memandangi satu persatu wajah warga kampung. Sepertinya ada yang tidak kena dengan kejadian ini.
“Banyak alasan kau Zainal! Gagal sudah mancokau tahun ini gara-gara kau tak bertanggung jawab. Benar-benar merusak tradisi kau!” kali ini entah suara siapa yang memberikan penekanan atas tindakan yang benar-benar tidak kau ketahui.
“Sebentar Pak Tetua! Sepertinya ada yang ganjil dengan kejadian ini. Juga sepertinya ada yang mau menfitnah ….” Belum selesai ucapanmu, seperti ada sesuatu yang menghantam kepalamu.
“Usir! Usir!! Usir!!” suara-suara Mahmud kau dengar paling keras meneriakkan kata-kata itu.
Kau linglung dengan kesemrawutan pikiranmu. Hujaman kata-kata warga menggumpalkan aliran nafasmu. Sesak. Gelap pun menyergap. Hitam. Lamat-lamat masih menyisakan suara makian.
Hari-hari berikutnya adalah hari dalam pembuangan. Kau terusir secara adat karena dianggap telah merusak rencana tradisi yang seharusnya dilakukan dan itu menjadi tanggung jawabmu. Sebenar luka membekas pada lubuk hati terdalam. Kekalahan tanpa penjelasan karena fitnah.
Sudahlah. Kau belajar menjalani hari dengan apa yang bisa kaulakukan. Kau yakin Tuhan tidak pernah tidur. Kenangan mancokau telah mengajari akan banyak hal. Detik, menit, jam, hari dan seterusnya membawamu pada pendewasaan diri. Kau terus belajar akan kepasrahan menjalani skenario pemilik alam. Waktulah dengan segala keajaibannya yang akan melupakan kau tentang Sungai Subayang, lubuk larangan, mancokau, dan segala hal yang pernah menjadi bagian dalam hidupmu. Sampai kau pahami untuk siapa sebenarnya kau menjaga tradisi temurun itu. Untuk Tuhan yang menciptakan semesta, atau untuk leluhurmu?
Aku selalu berharap, kau tumbuh menjadi dewasa, berwawasan, dan mengerti apa yang sebenarnya Tuhanmu kehendaki dari alam ini. Melestarikannya dengan penuh rasa syukur, bukan laku ritual pada leluhur.
Setahun kemudian kau kembali ke kampung ini. Wajahmu kulihat kian menyejukkan, penuh cahaya, dan semakin tabah. Kau dekati aku, lalu membasuh anggota tubuhmu dengan wudu.
Kau buka chatt WA dari nomor yang kau kenal. Tetes-tetes airku yang menepel di wajahmu membasahi layar ponselmu.
“Zainal! Maafkan aku, aku dikejar ketakutan dan sakit yang tak berkesudahan karena fitnah yang kubuat setahun lalu. Maafkanlah aku. (Mahmud).
Kau melangkah menjauhiku. Surau yang sepi, kemudian pecah dengan lantunan suramu yang merdu saat mengumandangkan azan. Tubuhku beriak, berdecak penuh kekaguman. Tahukah kau, akulah Sungai Subayang, yang telah lama kau tinggalkan. Dan kini, saat kau kembali, entah kenapa, kebahagiaanku seperti tumpah ruah.
***
Bambang Kariyawan Ys,Penerima Penghargaan Anugerah Sagang 2011, Peserta Undangan Ubud Writers and Readers Festival 2014, Penerima Penghargaan Acarya Sastra untuk Pendidik dari Kemdikbud 2019, Penerima Penghargaan Anugerah Tokoh dan Sastra Kategori Tokoh Pendidikan dari Balai Bahasa Provinsi Riau 2020, Residensi Seniman Riau 2023.