Bahasa Melayu, Sebuah Ikon Sejarah: Catatan Shafwan Hadi Umry & T.Ryo

Keputusan politik untuk mengangkat Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional melalui Sumpah Pemuda (1928) dan pengukuhannya dalam UUD 1945 menciptakan sebuah paradoks yang mendalam terhadap posisi Bahasa Melayu dalam kesadaran kolektif bangsa. Langkah ini, secara tidak langsung, meminggirkan dan memisahkan Bahasa Indonesia dari akar Melayunya. Hal ini terlihat dari beberapa aspek.

Pertama, terjadi pemisahan identitas linguistik. Meskipun bahasa Indonesia secara formal didefinisikan sebagai “Bahasa Melayu yang dibakukan,” narasi kenegaraan secara strategis memisahkannya dari akar etnis Melayu. Paauw (2009) mengamati, “The Indonesian state has strategically framed the national language as a distinct entity from Malay, creating an artificial separation that obscures its ethnic origins while simultaneously claiming it as a unifying force.” Hal ini membuat masyarakat menginternalisasi Bahasa Indonesia sebagai entitas “netral” yang berdiri sendiri, terlepas dari identitas Melayu.

Kedua, terjadi marginalisasi historis. Peran historis Bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara selama berabad-abad sering kali diabaikan dalam kurikulum pendidikan. Seperti yang disoroti Suryadinata (2001), “National narratives emphasize the revolutionary birth of Bahasa Indonesia, overshadowing its Malay heritage and reducing Malay to a mere ‘dialect’ rather than the foundation of the national language.” Konsekuensinya, banyak generasi muda hanya mengenal bahasa Melayu sebagai “bahasa daerah” atau “dialek,” bukan sebagai fondasi historis dari bahasa nasional mereka.

Ketiga, muncul dilema identitas bagi masyarakat di daerah berbasis Melayu, seperti Riau dan Kalimantan Barat. Mereka menghadapi konflik batin: di satu sisi, mereka diminta untuk mempedomani bahasa Indonesia, di pihak lain merawat bahasa Melayu .

Fenomena ini dapat dilihat dari statistik konkret; contohnya, data BPS (2020) menunjukkan bahwa hanya 40% generasi muda di Riau yang fasih berbahasa Melayu dialek setempat. Angka ini mencerminkan erosi yang signifikan terhadap kemampuan berbahasa warisan di kalangan generasi muda.

Kebijakan ini juga memicu fragmentasi identitas. Snouck Hurgronje (dalam Suryadinata, 2001) mengkritik, “By severing the language from its ethnic roots, national policies inadvertently fragmented Malay identity, reducing it to folklore rather than a living civilization.”

Identitas Melayu kini terbelah antara aspek linguistik dan aspek budaya. Budaya Melayu sering kali dikomodifikasi sebagai “objek wisata,” seperti Tari Zapin, tanpa pengakuan penuh sebagai kontributor utama peradaban Indonesia. Gerakan seperti “Bahasa Melayu adalah bahasa kita” di Riau (sejak 2015) menuntut penggunaan Bahasa Melayu dalam pendidikan lokal, dan beberapa daerah telah mengeluarkan peraturan daerah, seperti Perda No. 9/2017 di Kalimantan Barat, yang mengharuskan pengajaran Bahasa Melayu di sekolah. Gerakan ini menunjukkan upaya untuk melestarikan identitas linguistik.

Namun, pertanyaan besar tetap muncul: Sejauh mana gerakan revitalisasi lokal ini mampu melawan arus dominasi bahasa nasional, dan bagaimana pemerintah pusat dapat mengakui kontribusi Melayu tanpa memicu kekhawatiran separatisme?

Paradoks ini dapat dianalisis dari berbagai perspektif, seperti yang diungkapkan oleh para akademisi. Errington (1998) mencatat, “There is a fundamental tension in Indonesian nationalism between the acknowledgment of Malay as the root of the national language and the desire to create a distinct Indonesian identity separate from Malay ethnic associations.”

Kutipan ini menyoroti konflik antara kebutuhan untuk membangun identitas nasional yang inklusif bagi semua suku bangsa dan pengakuan atas kontribusi spesifik etnis Melayu. Upaya “de-etnisasi” ini mencerminkan politik identitas yang bertujuan menjadikan bahasa Indonesia simbol netral, meskipun kenyataannya sangat erat dengan akar Melayu.

Kitley (2000) menyebutkan, “The paradox of Indonesian nationalism lies in its simultaneous reliance on Malay linguistic heritage and its reluctance to fully embrace Malay ethnic identity as central to the national narrative.” Analisis ini menunjukkan bahwa paradoks tersebut dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan simbolis terhadap identitas Melayu.

Akhirnya, seperti yang diamati oleh Suryadinata (2001), “The Indonesian state has strategically emphasized the ‘Indonesian-ness’ of the national language while downplaying its Malay origins, creating a dissonance between historical reality and national narrative.” Ketidaksesuaian ini menimbulkan ketegangan antara identitas regional dan identitas nasional, serta menciptakan pemutusan dari sejarah linguistik bahasa Indonesia yang kaya.

Paradoks identitas linguistik dalam narasi kebangsaan Indonesia. Selanjutnya, metode historis-komparatif digunakan untuk menelusuri perkembangan peran bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara. Perbandingan narasi historis dari manuskrip kuno dan laporan kolonial dengan narasi resmi pasca-kemerdekaan dilakukan. Perbandingan ini bertujuan untuk menyoroti diskontinuitas antara realitas historis—yang menunjukkan peran vital bahasa Melayu—dengan konstruksi naratif modern yang cenderung mereduksi peran tersebut.

Dengan mengombinasikan kedua metode ini, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bagaimana keputusan politik telah mempengaruhi persepsi kolektif terhadap bahasa Melayu, serta mengungkap ketegangan yang ada dalam identitas linguistik bangsa Indonesia.

Mewujudkan narasi kebangsaan yang harmonis dan inklusif di Indonesia membutuhkan pendekatan struktural yang mengakui kompleksitas identitasnya. Salah satu cara untuk mencapai hal ini adalah melalui rekonstruksi kurikulum pendidikan. Taylor (1994) menyarankan, “A multicultural curriculum must position Malay not as a ‘regional culture’ but as the historical backbone of Indonesian civilization, alongside Javanese, Balinese, and other traditions.

Dengan mengintegrasikan materi yang secara eksplisit menghubungkan bahasa Indonesia dengan akar Melayunya, seperti menjadikan Hikayat Hang Tuah sebagai bagian dari sastra nasional, kita dapat membangun pemahaman yang lebih kaya dan akurat. Indonesia perlu mempertimbangkan Kebijakan Bahasa Ganda (Dual Language Policy), Implementasinya dapat mencakup peningkatan status Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di wilayah mayoritas Melayu atau peluncuran program seperti “Bahasa Ibu” untuk melestarikan bahasa daerah.

Upaya lain yang esensial adalah narasi inklusif dalam media dan simbol negara. Anderson (2006) berpendapat, “Imagined communities thrive when symbols of the nation reflect its diverse roots, not just the dominant group.” Pernyataan ini bermakna simbol negara harus mencerminkan keberagaman masyarakat, bukan hanya kelompok dominan. Hal ini dapat membantu menciptakan rasa kebersamaan/inklusivitas dan kesetaraan di antara warga negara. Dalam konteks Indonesia kini pemakaian simbol negara seperti bendera, lambang dan lagu kebangsaan telah ditabalkan (UU Bahasa No. 24/2009).

*Penulis Dosen UISU dan USU tinggal di Medan

Comments (0)
Add Comment