Prof. Harry Aveling (kritikus dan pengamat sastra Melayu Asia Tenggara) dari Australia pernah berkunjung ke Medan (4 Desember 2009). Beliau mengisi acara berkaitan dengan tugasnya sebagai dosen terbang di Sekolah Pascasarjana USU bidang Linguistik dan Kesusasteraan.
Berikut ini diturunkan beberapa pokok pikirannya tentang puisi Aborigin yang lama dan orang Aborigin yang kontemporer.
Orang-orang Aborigin adalah penduduk asli Australia yang tersingkir ke pedalaman, dan hidup dalam wilayah yang sangat sempit. Populasi Aborigin 2 persen dari penduduk Australia yang lain berjumlah 20 juta orang. Cerita Aborigin meninggalkan kepiluan, ketika 40.000 tahun sebelum kedatangan orang kulit putih, mereka menderita karena intervensi dan provokasi, dan nyaris dimusnahkan.
Suku Aborigin tersebar diberbagai tempat memiliki 550 bahasa yang berbeda dengan 600 dialek yang juga berbeda. Mereka terpecah belah dalam kelompok kecil dan mereka tidak pernah sepakat dengan orang kulit putih (emigran Inggris) yang datang ke benua itu. Menurut kritikus Harry Aveling sukar membicarakan budaya Aborigin oleh karena bahasa dan suku yang beranekaragam.
Sastra Lisan
Suku Aborigin mempunyai sastra lisan yang ditandai oleh ciri-ciri yakni, tidak ada inovasi. Tidak ada pemadatan dan keringkasan, hanya ulangan (repetisi), dan pengaruh emosi sangat penting. Sastra lisan adalah milik bersama yang berbicara tentang alam (sungai dan hutan serta bulan). Bentuk sastra mereka setengah puisi dan setengah prosa.
Aveling di sela-sela ceramahnya menyatakan eloklah orang Aborigin bicara, dibandingkan orang kulit putih’. Budaya Aborigin memiliki ikatan berkerabat, ketaatan spritual dan patuh pada pemimpinnya. Komunitas mereka berakar abadi dari generasi ke generasi. Hukum muncul untuk mengatur seluruh kosmos (alam). Hidup di bawah hukum membimbing kebahagiaan dan moral manusia Menurut Aveling ada tiga prinsip moral yang perlu dipertimbangkan.
(1) Keseimbangan, yakni saling mengisi, bukan saling menghancurkan.
(2) Otonomi, yakni tidak ada yang dominan tetapi saling seimbang. Setiap kebahagiaan saling membahagiakan satu sama lain.
(3) Kesemestaan, semua alam semesta hidup berdampingan semacam percakapan bulan dengan kangguru, belalang dengan alam yang menegaskan kepedulian antara dunia material dan spritual. Fenomena kehidupan saling mengisi, saling melengkapi dan bukan asketik (menolak) tapi menyelaraskan.
Puisi Kontemorer Aborigin
“Sejak tahun 1960-an, demikian kata Aveling, “mulailah muncul para penyair Aborigin yang menunjukkan jatidiri sekaligus aspirasi mereka mengenai nasib dan kepentingan di tengah pergaulan dengan masyarakat kulit putih Australia”. Ada tiga penyair yan berbicara tentang Aborigin dalam konteks modern, Pertama Kath Walker yang berbicara tentang “Aboriginal Charter of Rights”. Berikut diturunkan cuplikan puisinya:
Kami menginginkan harapan
Bukan kesukuan
Persaudaraan, bukan penghancuran
Kemajuan kulit hitam, bukan kemegahan kulit putih
Berikan kami hati yang sama, bukan ketergantungan
Kami butuh bantuan, bukan eksploitasi
Kami menginginkan kemerdekaan, bukan frustrasi
Bukan pengendalian, tetapi mandiri
Kath Walker wanita penyair kontemporer ini menulis dengan nada masgul dan pengharapan. Sebagaimana pada kalimat puisinya:
Berikan kami kewarganegaraan, bukan dukungan
Berikan kami keberanian, bukan larangan
Berikan kami rumah, bukan penampungan
Pada puisi ‘My Love’ Kath menyatakan:
Saya mesti bebas, saya mesti kuat
Untuk berjuang dan bukan kegagalan
Oleh karena ada kesalahan masa lalu
Terhadap hak
Dan kesalahan manusia bertahan
Diantara jalan yang panjang dan sungai
Penyair Aborigin yang lain yakni Kebin Gilbert bersuara lantang dalam puisinya ‘People Are Legends’:
Hancurkan legenda
Dan potong-potong
Dengan paham sinis engkau
Dengan kebijakan tanpa kearifan
Hancurkan legenda
Buang jauh-jauh
Dengan paham atheis engkau
Dan kemunafikan turun-temurun
Penyair Jack Davis dalam puisinya ‘The Firs Born’ menyatakan “teriakan melawan ketidak adilan”:
I strain my ears for the sound of their laughter
Where are the laws and the legends I gave”
Tell me what happened to you whom I bope after?
Now only their sprite dwell in the caves.
Suku Aborigin di Australia memiliki sejarah yang sangat kompleks dan tragis terkait dengan kehilangan tanah air mereka. Suku Aborigin telah tinggal di Australia selama ribuan tahun, dengan ikatan spiritual dan budaya yang sanat akrab dengan tanah. Namun, dengan kedatangan kolonialisme Eropa, banyak suku Aborigin yang dipaksa meninggalkan tanh airnya dan beberapa komunitas dipindahkan secara paksa ke pemukiman aau misi tertentu.
Selain itu, pemerintah Australia juga memiliki kebijakan yang kontroersial.Misalnya Stolen Generations tatkala anak-anak Aborigin dipisahkan dari keluarga mereka dan dipaksa untuk berasimilasi dengan budaya Barat.
Penutup
Berdasarkan pada penduduk asli Aborigin mereka (para penyair) mengatasnamakan minoritas rakyat dan bukan mayoritas penduduk. Mereka berjuang demi sebuah dunia yang adil terhadap kaum minoritas apapun, sebab dunia yang bisa memberi tempat terhadap segala perbedaan.
Sebuah dunia yang tak dihiraukan. Oleh karena itu mereka tidak bersandar pada logika “besar menang, kecil kalah”, melainkan sebuah dunia yang mementingkan dialog dan kesepakatan. Sikap ini mirip dengan kaum Zapatist dari Meksiko Tenggara yang memberi perlawanan terhadap penguasa dalam reformasi agraria…… tahun 1911 (Marcos, 2005).
Puisi-puisi penyair Aborigin menggunakan bahasa sebagai senjata atau “Kata adalah senjata” meminjamkan istilah Marcos penulis dan pejuang Meksiko itu. Puisi bukanlah penghiburan, tetapi sebuah pernyataan perang kepada ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.***
Medan, 25/8/2025
Penulis: Dosen dan sastrawan tinggal di Medan.