Puisi Tagore Tentang Indonesia: Catatan Shafwan Hadi Umry

Apakah arti Rabindranath Tagore bagi kita? Dalam Majalah Yong Sumatra (1921) karya puisi Tagore dimuat oleh redaksi majalah itu yakni Mohamad Yamin. Sang pujangga India ini begitu memesona bagi para sastrawan Indonesia. Selain Mohd. Yamin, Amir Hamzah, dan Hartojo Andangdjaya pernah menerjemahkan sejumlah puisinya. Tagore memberikan alternatif menghadapi kemerosotan zaman yang diamatinya yakni memberi solusi pemikiran dengan menawarkan “keseimbangan antara idealisme Timur dan realitas Barat. ” Soalnya yang dilihat pujangga Benggali ini adalah munculnya kemajuan zaman yang tumbuh dalam selera komersialisasi.

Rabindranath Tagore (1861-1941) adalah pujangga paripurna asal negara India. Tagore adalah penulis produktif dengan jumlah 200 judul karyanya. Ia menulis 50 naskah drama, 100 antologi puisi, dan 40 jilid roman serta beberapa buku esai, cerirta pendek dan filsafat.

Iwan N. Djakfar menulis (2018) Tagore sebagai satu-satunya orang Asia ketika itu meraih hadiah Nobel Sastra pada 1913 bahkan Tagore dikenal juga sebagai pelukis. guru, komponis, dan penyanyi.

Ketika Tagore mengunjungi Indonesia di kota Medan, Belitung, Jakarta, Surabaya, Jogya, dan Bandung, ia betemu dengan sejumah budaya yang hidup di Indonesia. Peristiwa lawatan itu dilakukannya sekitar tahun 1927. Kunjungannya di Indonesia membuktikan terjadinya persilangan budaya peradaban antara Asia Tenggara dan India.
Wisata budaya Tagore di Indonesia sebagian besar bertalian dengan ranah intelektual, pendidikan dan kebudayaan. Dalam kunjungannya ke Indonesia, Tagore menggubah empat puisi. Keempat puisinya itu akan dibahas selintas dalam tulisan ini. Pertama puisi “Gadis Laut“ (puisi tentang Pulau Bali), Tagore menulis :

Aku datang sebagai tamu, ujarku
Di rimbamu dekat laut tempat angin selatan bertiup
Hanya winaku yang kumiliki bersamaku
Lihatlah aku, lihatlah apabila kau mengenalku

Puisi ini diasumsikan sebagai suatu kiasan mengenai hubungan India dengan Asia Tenggara (Bali). Membaca puisi ini mengingatkan kita semua hubungan masa lalu India dengan Indonesia (Bali) yang bertitimangsa kembali ke priode gemilang Sejarah India,

Puisi kedua Tagore berbicara tentang “Borobudur

Inilah saatnya
Manusia terikat dan sakit
Sekali lagi
Datang
Ke tempat suci ini
Untuk membaca
Kata yang terukir di atas batu nan bisu

Dalam untaian puisi panjang tentang  “Borobudur” , penyair Benggali ini meneruskan madah rasa dan rasionya:

Manusia zaman ini tak punya kedamaian –hatinya gersang- disebabkan kesombongan/ Dia menuntut dengan heboh, menerima kecepatan yang meningkat selalu dalam suatu amuk dan pengejaran terhadap sesama yang terus-menerus berlari, namun tak pernah meraih sebentuk arti.

Kemudian pada puisinya “Kepada Tanah Jawa”, penyair menyampaikan pengamatan dan perenungannya yang dalam. Sebagaimana ditulisnya di bawah ini:

Karena kita terikat benang-benang kekeluargaan yang menyelimuti yang mengelilingi pergelangan tangan satu sama lain/dan jalan purba permusafiran kita tergeletak bertaburan/ Bersama sisa-sisa ucapanku/Mereka membantuku menyusun kembali jalanku menuju ruang-ruang batin kehidupanmu, tempat cahaya yang kita nyalakan bersama/masih membara pada malam penyatuan kita yang terlupakan./Ingatlah diriku, bahkan sewaktu aku mengangkat wajahmu dan mengenali kepunyaanmu di dalam diriku/ yang purna dan sudah hilang yang diperoleh kembali dan dibuat baru.

Puisinya berjudul “Kepada Tanah Jawa”, Tagore menulislagi dengan solidaritas budaya :

Aku datang padamu melihat ke dalam matamu dan rupanya melihat cahaya keajaiban pada pertemuan pertama kita/di lapangan yang terluang di tengah-tengah tanah rimba/dengan sukacita dan sebuah janji/karena kita terikat benang emas kekeluargaan yang mengelilingi pergelangan tangan satu sama lain.

Puisi di atas merefleksikan rasa persahabatan India-Indonesia sudah terjalin sejak dahulu. Pada puisi Tagore berjudul “Sriwijaya -Laksmhmi” ia mengingatkan tentang rasa persaudaraan sesama orang Asia. Kita turunkan puisinya di bawah ini:

Kala kuingat wajahmu, kuingat kebun kelam penuh tumbuhan hijaumu tempat kita berjumpa/dan kuingat pagi yang beruntung saat kuikatkan/benang sucii itu di tanganmu/masih kulihat gelang yang mengikat di seputar pergelangan tanganmu/ tempat kita pernah menyalakan lentera di saat nan beruntung ini, dengan menyusun tanda-tanda itu/engkau dapat dikenali, dan kini engkau mengenaliku/apa yang kini kau paham ia adalah bahwa kepemilikan purbamu adalah milik kujua! (19 /8/1927)

Puisi “Sriwijaya Lakshmi” di atas ditulis Tagore saat melakukan perjalanan dari Singapura melintasi selat Melaka menunju Batavia (Jakarta). Ia menulis puisinya tentang merayakan pembaharuan atas suatu ikatan setelah seribu tahun perpisahan .Sebuah ode (puisi pujaan) untuk Kerajaan Sriwijaya sebagai kerajaan tertua di Indonesia.

Sejarawan Perancis yang bernama George Coedes mencatat pada tahun 1918 bahwa nama Sriwijaya yang muncul dalam prasasti Melayu Kuno yang berlokasi di Sumatra Selatan juga tercantum dalam sumber tertulis Cina, India, dan dunia Arab.

Demikian sedikit catatan musafir Rabindranath Tagore yang mengembara ke Indonesia dan singgah ke Medan melalui pelabuhan Belawan, Batavia (Jakarta), Surabaya, Bandung, Jogyakarta dan Bangka Belitung. Keempat puisinya telah mewariskan catatan sejarah masa lampau kepada para penyair Indonesia .**

Penulis: dosen dan sastrawan

Comments (0)
Add Comment