

Konon di zaman modern ini, mRNA itu bukan lagi singkatan dari messenger RNA, tetapi musik Remaja Nakal Abal-abal. Setiap kali namanya disebut, langsung bikin geger satu RT. Padahal, vaksin mRNA Covid kerjanya ya biasa saja: mengantar “pesan” genetis sementara agar tubuh kita belajar mengenali si virus.
Itu saja tugasnya. Bukan mengubah kita jadi mutan ala X-Men, apalagi menggelapkan dana bansos. Sekedar mengingatkan, mungkin anda sudah lupa, vaksin mRNA terkenal di era pandemi Covid-19 dengan merek seperti Pfizer-BioNTech (kolaborasi Jerman–Amerika) dan Moderna (Amerika).
Lalu datanglah kabar dari jurnal Nature, seolah ditemukan jamu paling manjur: vaksin mRNA kok kelihatannya ikut-ikutan bantu pasien kanker? Ya Tuhan, dunia medis pun dibuat bingung: vaksin yang tadinya “pemain cadangan di pandemi“, tiba-tiba dicurigai bisa jadi striker utama di liga kanker stadium lanjut.
Dan tentu saja publik heboh. Ada yang berseru, “Nah, kan! Dari dulu saya bilang vaksin itu kuat!“; sementara lainnya bergumam, “Ini hanya trik baru Big Pharma.” Seakan-akan Pfizer itu pabrik jin, bisa mengabulkan segala permintaan: Covid hilang, kanker minggat, ekonomi pulih, dan cicilan rumah lunas.
Mari tenang sebentar, hirup udara, letakkan dulu teori konspirasi. Apa sebenarnya isi penelitiannya?
Di MD Anderson Cancer Center —salah satu rumah sakit kanker paling top di planet ini— diteliti 884 pasien kanker paru stadium 3 dan 4 antara tahun 2015–2022. Dari jumlah itu, 180 orang kebetulan mendapat vaksin mRNA dalam 100 hari sejak mereka memulai imunoterapi; 704 lainnya tidak.
Lalu dihitunglah umur median hidupnya: kelompok divaksin hidup sekitar 37,3 bulan; kelompok tak divaksin sekitar 20,6 bulan. Lonjakan fantastis—75%! Bahkan dokter onkologi yang sudah kenyang melihat mukjizat obat mahal pun langsung menengok ke grafik berkali-kali, memastikan salah ketik atau salah minum kopi.
Temuan itu menimbulkan kecurigaan: apakah jumlah responden cukup? Untuk ukuran studi observasional, 884 orang itu sudah termasuk lumayan mantap. Bukan 20 orang, bukan 50 orang, tetapi ratusan pasien nyata dengan penyakit nyata, menjalani pengobatan nyata.
Namun, tetap saja ini bukan randomised controlled trial. Artinya, hubungan ini masih asosiasi, belum terbukti sebagai kausal. Ibarat melihat seorang suami tiba-tiba jadi romantis setelah istrinya beli baju baru: apa bajunya penyebab, atau suaminya baru menang undian? RCT-lah yang bisa menjawab secara tegas.
Menariknya, efek peningkatan umur ini hanya terjadi pada vaksin mRNA, bukan vaksin non-mRNA. Yang termasuk non-mRNA, antara lain, AstraZeneca (Oxford–UK, berbasis adenovirus), Johnson & Johnson (Amerika, adenovirus juga), Sputnik V (Rusia, adenovirus dua tahap), Sinovac dan Sinopharm (Cina, inactivated virus).
Nah, vaksin-vaksin ini tidak menunjukkan efek tambahan pada survival pasien kanker. Tidak salah apa-apa, hanya memang mekanisme imunologinya berbeda: vaksin mRNA rupanya lebih jago membunyikan “sirine sistem imun” secara luas, sementara yang non-mRNA bekerja dengan pendekatan berbeda yang tidak menimbulkan respons sistemik sebesar itu.
Para ilmuwan pun mulai menduga: jangan-jangan mRNA bukan hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menabuh genderang perang, membangunkan pasukan imun yang tadinya tidur siang di pojokan limpa. Tumor yang tadinya “dingin” alias tidak dikenali sistem imun, tiba-tiba mendadak “terang benderang” seperti rumah yang lupa mematikan lampu tahun baru.
Lalu muncullah pertanyaan filosofis, hiperbolik klasik khas kita bangsa republik dramatis: apakah ini berarti vaksin mRNA bisa jadi “vaksin kanker universal“? Tentu belum. Tapi apakah arahnya mengarah ke sana?
Mungkin, ada harapan. Seperti kata Dr Elias Sayour, mungkin kelak bisa dibuat vaksin non-spesifik yang “mengatur ulang” sistem imun supaya lebih peka terhadap sel abnormal. Ibarat resepsionis hotel yang tadinya suka ketiduran, kini jadi sigap mengecek tamu masuk —bahkan kalau ada yang bawa niat jahat langsung digiring ke luar sebelum sempat buka koper.
Di sisi lain, mari tetap waras. Studi ini bersifat observasional. Butuh konfirmasi lewat uji klinis acak. Butuh pembuktian tumbuhan demi tumbuhan —atau dalam hal ini, sel demi sel. Kalau tidak, kita hanya jatuh cinta pada harapan, bukan pada bukti.
Namun begitulah dalam sains: kemajuan kadang lahir bukan dari eksperimen mahal, melainkan accidental discovery. Penemuan penisilin gara-gara jamur. Penemuan microwave gara-gara cokelat meleleh di saku teknisi radar.
Dan kini, kemungkinan penemuan terapi kanker murah-meriah gara-gara vaksin mRNA yang tadinya cuma diberi tugas menangani pandemi.
Apa pun hasil akhirnya, ada satu pelajaran abadi: manusia sering kali mencari mukjizat di laboratorium, padahal keselamatannya muncul dari tempat paling tak terduga. Kadang dari jarum vaksin, kadang dari data penelitian, kadang dari nyali ilmuwan, dan kadang dari keberanian kita meninggalkan prasangka demi merayakan akal sehat dan kemanusiaan.
Pada akhirnya, mungkin kanker bukan hanya musuh biologis, tapi juga ujian kesabaran. Dan jika seuntai mRNA bisa membantu memperpanjang hidup, walau hanya beberapa bulan atau tahun, maka itu kemenangan kecil yang pantas kita rayakan.
Karena, di dunia yang penuh kehilangan, setiap tambahan waktu adalah hadiah; setiap napas adalah pelajaran; dan setiap temuan sains adalah pengingat bahwa harapan kadang datang tanpa undangan.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 16/11/2025