Kelong Sunyi: Cerpen Bambang Kariyawan Ys.

182

Kesendirian berteman angin malam. Ditemani lampu badai Zainal menyusuri lautan. Bintang-bintang malam bermesra saling berkedipan seolah ingin menjadi peneman malam penghapus dingin menusuk tulang. Di saat anak lain seusianya sedang lelap ditemani mimpi merajut cita-cita besar, Zainal hanya menjalani rutinitas seputar perkampungan Melayu, pantai, laut, sampan, jaring, dan malam di hamparan pantai Sungai Lepah.
Sungai Lepah… bukanlah nama sebuah sungai tapi nama sebuah laut dengan pantai pasir putih yang panjang membentang di Tanjung Uban, Kepulauan Riau. Bentangan pantai menjadi lebih indah dengan pulau-pulau kecil yang merangkai. Semakin kokoh dengan hunjaman dan juluran akar-akar bakau yang menahan lidah-lidah ombak yang menghempas pantai. Keindahan akar-akar bakau yang memanjang dan berkelok-kelok menjadi pahatan alam tak terbandingkan. Beragam jenis bakau mempercantik kelokan akar-akar bakau. Bakau Rhizopora apiculata menghiasi sudut-sudut tanah berlumpur dengan akar tunjangnya bak gurita menggeliat. Keindahan semakin berwarna dengan kombinasi hadirnya tumbuhan kendeka dengan akar lututnya, pohon nirih berakar papan yang memanjang dan berkelok-kelok, dan pidada dengan akar napasnya.
Butiran pasir putih menemani tapak langkah kakinya. Biru laut meneduhkan matanya. Nyanyian daun nyiur saling menggesek menghadirkan melodrama angin dan ombak. Ikan-ikan menari dihamparan laut biru seolah bercanda bersama menjulangnya kelokan pohon-pohon kelapa, pandan laut bak lidah api bergelora, kokohnya cemara laut, dan rimbunnya ketapang.
Perahu kecilnya terbuai dalam hempasan angin dan ombak. Sesekali jaring-jaring ditebarkan dan sesekali pula ditarik sambil melepaskan beberapa ikan yang menyangkut di jaring-jaring. Rutinitas yang dijalani merupakan simponi hidup yang memunculkan hentakan irama dan nada yang sangat indah dinikmati bersama terpaan angin laut.
Hari-hari mereka lalui bersama canda angin laut dan tawa nelayan yang akan selalu menanti panggilan angin untuk melaut. Kebersamaan memiliki laut, membuat semua nelayan perlu mengakrabi laut. Ada yang dengan tekun menanami bakau untuk menahan kaki-kaki gelombang mendeburkan pantai. Ada yang mengumpulkan rumput-rumpul laut yang berserakan untuk dijadikan pupuk tanaman di halaman rumah. Ada yang menepikan beragam sampah yang akan berlayar ke tengah laut bersama belaian angin. Bahkan ada yang menapaki hamparan laut yang sedang surut dengan mengumpulkan beragam jenis kerang untuk menambah lauk makan. Ada remis, gong gong, kerang kepala kambing, teripang, bahkan kerang mutiara dikumpulkan menjadi peneman makan yang menyelerakan. Semua itu bagi nelayan adalah rutinitas kehidupan mengasyikkan sekaligus tanggung jawab menghidupi kehidupan.
“Kau tidak ingin sekolah Zainal?” begitu kata Pak Hamzah, nelayan tua yang selalu menemaninya ketika menjelang malam.
”Tidak mungkin, Pak.” Sebuah jawaban yang pahit keluar dari mulutnya, kemiskinan keluarga menjadi alasannya. Sempat terbayang dalam pelupuk matanya ketika masa-masa manis SMP bersama teman-temannya menghabiskan hari menjemput ilmu.
“Ayahmu sudah tidak kuat lagi melaut Zainal.” Jawaban ayahnya ketika Zainal menanyakan keinginannya untuk melanjutkan ke SMA. Sebuah keping-keping asa masa depan saat itu pun runtuh bersamaan dengan kalimat ketidakmampuan orang tuanya. Sejak itu, laut menjadi teman setianya.
Kesadaran alami akan kondisi yang ada dinikmati dengan kesendirian dan menggeluti laut. Dalam kesendiriannya ada satu tempat bagi Zainal untuk mengeluarkan segala bakat kepintarannya di sebuah kelong kecil milik orang tuanya. Kelong bagi Zainal dan nelayan sepertinya adalah rumah kedua. Kelong dibangun dari batang-batang kayu yang ada di sekitar pantai untuk rumah singgah, hanya seukuran sebuah kamar. Kadang bagi nelayan yang memiliki modal banyak kelong bisa dijadikan tempat penambakan beragam hasil laut selain ikan berupa beragam jenis kerang yang sangat diminati para penggemar seafood. Menghilangkan lelah saat melaut atau menjadi tempat penambakan ikan. Ditemani angin laut yang terasa asin menerpa pipi, Zainal menjalani kesehariannya yang sepi. Namun kepintaran dan semangat untuk maju membawanya untuk belajar mencintai laut dengan sepenuh hati.
***
”Laut adalah dunia dan iramaku, aku ingin menjadikan laut sahabatku.” Semangat total yang sudah menjadi barang langka untuk seorang pemuda nelayan. Tekad itu membawanya mengubah pola lama sebagai nelayan yang hanya sekedar menjalani rutinitas. Segala terobosan dilakukannya, dengan berbincang banyak pada gurunya, Pak Rahman yang semasa SMP merupakan guru yang berasal dari keluarga nelayan dan selalu memotivasi muridnya menata diri untuk maju.
”Kita harus mengubah cara berpikir masyarakat nelayan Melayu, Zainal.”
”Apa maksudnya Pak?”
Pak Rahman menjelaskan maksud pernyataannya itu kalau nelayan Melayu melaut sehari setelah itu istirahat beberapa hari bahkan baru akan melaut setelah persediaan makan akan habis. Penjelasan rinci yang membuka mata dan pikiran Zainal untuk melihat laut dan ikannya sebagai sebuah peluang untuk merajut masa depannya.
”Kalau penangkapan hasil laut dilakukan secara rutin, maka sebuah kekayaan akan mereka peroleh. Bapak pikir Zainal bisa melakukan itu,” mengalir kalimat-kalimat motivasi untuk membangun kepercayaannya.
***
Dengan bimbingan Pak Rahman dan ketekunan Zainal, perlahan-lahan kelong yang biasa hanya menjadi rutinitas dan menghasilkan ikan yang apa adanya kini lambat laun semakin banyak produksinya. Pak Rahman bahkan memberikan jaminan dengan meminjamkan bantuan modal untuk pengembangan usaha Zainal.
”Cobalah baca buku-buku ini,” Pak Rahman menyerahkan beberapa buku dan panduan tentang ”Pemasaran Hasil Laut” dan ”Budidaya Tambak Ikan Laut dan Kerang”.
Dengan berbekal buku-buku itu semangat belajar dan semangat ingin tahu bertambah dan Zainal belajar mengatur waktu dan kelongnya menjadi tempat belajar baginya sambil ditemani lembutnya belaian angin laut bak kipasan alam yang tak pernah habis. Tak kenal lelah Zainal belajar dan mengurus kelong. Keadaan itu membuat emaknya merasa kuatir.
”Zainal harus ingat, terlalu sering di laut tidak baik untuk badan,” kata emaknya saat mengantarkan masakan asam pedas ikan bawal kesukaannya.
”Tak usah kuatirlah mak, pandailah Zainal menjaga badan,” jawabnya sambil menikmati asam pedas bawal buatan emaknya ditambah sambal belacan dan lalapan daun pucuk ubi.
”Emak percaya sama Zainal, tapi lihatlah pengalaman ayahmu karena terlalu sering melaut rusaklah badannya,” nasihat emak mengingatkan Zainal kalau ayahnya karena terlalu memaksakan diri setiap hari melaut menyebabkan paru-paru basah menggerogoti badan ayahnya.
***
Lambat laun hasil tambak dan tangkapan ikan Zainal menghasilkan dalam jumlah yang banyak. Banyak pengusaha seafood menjadikan ikan yang ada di kelong Zainal sebagai langganan. Bermacam jenis ikan laut dan kerang yang biasa dijual pengelola seafood selalu disediakannya.
Namun hari itu terjadi sebuah pemandangan memilukan bagi Zainal karena pagi hari ketika ingin melihat hasil tangkapan ikannya, tambaknya rusak dan kelong kesayangannya telah hangus terbakar tinggal potongan-potongan hitam kayu terbakar mengapung.
”Tidaaakkkk!!!” sebuah teriakan yang menandakan kemarahan, kepasrahan, dan keputusasaan. Pupus sudah harapannya untuk melanjutkan sekolah.
”Sabar nak, emak yakin kau akan dapatkan ganti yang lebih baik.” Nasihat emak yang mengantarkannya ke tepian pantai menuju rumah.
Di sudut pantai, seorang dengan senyum seringainya, ”Rasakan itulah akibat mengambil rezeki orang lain.”
***
Selama beberapa hari Zainal hanya memandangi pantai dan sisa-sisa kelong yang terbakar.
”Mengapa melamun Zainal? Masih banyak harapan yang harus kau bangun,” tiba-tiba Pak Rahman muncul memecahkan sebuah renungan dan wajah putus asa Zainal.
”Benar Pak, tapi yang sebenarnya membuat saya kecewa karena sebagian uang yang saya tabung untuk melanjutkan sekolah ikut terbakar di kelong itu,” tanpa disadari beberapa tetes air mata membasahi pipi kerasnya yang telah terbiasa ditampar angin laut.
”Tapi ingatlah ayah, emak, dan adik-adikmu.” Nasihat Pak Rahman untuk menguatkan hati Zainal yang sempat pupus bersama hilangnya kelong.
Dengan ketabahan Zainal kembali menata hati dan hari untuk membangun kelong untuk melanjutkan kehidupan orang tuanya. Dengan segenap kemampuan yang dimilikinya, beragam jenis kayu disusun kembali di tepian pantai dan dibangunnya sebuah bangunan ketika laut surut untuk menggantikan kelongnya yang sudah terbakar. Kayu-kayu disusun dikuatkan dan menghunjam ke dasar tanah, diikat, diberi rumbia sebagai atap. Selama dua minggu pekerjaan itu diulang-ulang. Emak dan adik-adik Zainal tak pernah henti menemaninya dari kesunyian. Akhirnya terbangun sebuah kelong yang lebih kokoh dan laut pun kembali menjadi teman malamnya dan sumber inspirasi untuk membangun cita-cita melanjutkan sekolah.

***
Ketenangan laut malam itu berganti dengan datangnya awan yang menghitam dan menghempaskan kepekatannya dengan angin dan kilatan-kilatan petir. Banyak nelayan yang belum sempat untuk kembali ke darat dengan datangnya badai tersebut dan secepat angin mengayuh sampannya untuk menuju kelong masing-masing. Berdekatan dengan Zainal, seorang nelayan nampaknya tidak mampu mengendalikan sampannya dan samar-samar di tengah hujan dan petir seperti terdengar suara-suara memanggil.
”Tolooong….!!!” sebuah teriakan yang makin mengecil suaranya ditelan angin-angin yang mengombang-ambingkan yang ada di permukaan laut.
Zainal antara ingin menyelamatkan diri dan rasa kemanusiaannya muncul rasa kasihan untuk menyahut suara minta tolong itu. Kepedulian yang telah tertumpu membuat dirinya memutar haluan sampan sekuatnya untuk mendekati sumber suara. Menahan terpaan hujan lebat dan angin yang mengolengkan ke kiri dan ke kanan sampannya, ternyata suara itu berasal dari sampan yang terbalik.
”Pak Rustam?” teriak Zainal sambil membawa tubuh Pak Rustam yang sudah tidak sadarkan diri ke sampannya. Dengan menghimpun segenap sisa-sisa tenaga yang dimilikinya Zainal sudah tidak kuat untuk mengayuh sampannya. Kelelahan yang sangat membuat Zainal terlelap dan membiarkan sampannya di bawa arus.
***
Layar alam berganti cerah sebuah sampan yang tadinya terombang-ambing kini telah mendekati pantai. Banyak nelayan yang telah berkumpul menjemput keluarganya. Salah satunya ternyata keluarga Pak Rustam.
”Bapakkkk….,” teriak ibu Rustam dan anak-anaknya.
”Bawa segera ke rumah bu.”
”Terima kasih nak Zainal.”
”Zainaalll…,” suara emak memanggil setengah berteriak.
Sisa-sisa badai membawa Zainal dan emaknya menapaki pasir pantai menuju rumahnya. Deburan pantai masih terdengar dari kejauhan, pepohonan kelapa bertiup menggesekkan pelepah-pelepah dedaunannya bahkan menjatuhkan beberapa buah kelapa.
***
Keesokan harinya ketika udara pagi menyeretnya untuk menuju ke kelongnya, seorang nelayan menyampaikan sebuah pesan.
”Nak Zainal, saya menyampaikan pesan dari seseorang untuk menyerahkan ini,” seorang nelayan yang sering menemaninya melaut menyerahkan sebuah amplop.
”Apa itu Pak?”
Dibukanya sebuah amplop berisi setumpuk uang dan sebuah pesan.
Gunakan uang ini untuk biaya sekolahmu dan ambillah kelong yang persis berdekatan dengan kelong Zainal untuk menggantikan tambak yang rusak dan kelong Zainal yang pernah saya bakar dan kerugian lainnya. Maafkan saya.

Tulisan Terkait
Berita Lainnya

Rustam

Antara senang dan heran membuat Zainal hanya bisa bicara lirih.
”Jadi ….?”
”Ya, Pak Rustam,” kata nelayan itu.

 

Pekanbaru, 2010

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan