Ada bisik,
dari urat tanah yang letih
tentang bijih emas fana
yang ditanam manusia
di dada sendiri.
Katanya…
ia berputar di lingkar nasib,
menyala sebentar,
lalu padam
di telapak waktu yang getir.
Mereka berolah hayal di sudut ingin,
menenun percaya dari benang curiga,
menyulam iri jadi selimut kehendak.
Namun
duniawi itu luas,
terlampau luas…
bagi tangan
yang cuma sepemeluk diri.
Angkuh yang dipamer,
tak selalu bermakna.
Akar diri belum kokoh benar,
masih menggantung
di udara harap tanpa tanah.
Tanah itu,
harus berhumus sabar.
Akar harus tahu
ranting tak berdiri sendiri.
Dan daun…ah, daun
masih saja berduka
menatap matahari
yang jujur pada sinarnya.
Gelagat ini…
meminta menunggu tiba.
Antara tumbuh dan gugur,
antara yakin dan culas,
antara diri dan bayang-bayangnya.
Di penghujung malam,
angin mengingatkan aku:
bahwa emas fana itu
tak lain hanyalah
debu yang bercahaya
sebentar.
Sungai Nyamok, 10 Oktober 2025