

Wajah-Wajah Senja adalah 19 cerpen karya M. Irfan Hidayatullah ditulis dalam rentang tahun 1998 s.d. 2014. Diterbitkan oleh Noken Studio Nusantara, Bandung, 2025.
Kumpulan cerpen ini memiliki identitas yang kuat berupa munculnya diksi-diksi yang khas. Diksi itu berupa:
1. Diksi “air” dan turunannya dalam cerpen “Diruangi Hujan”, “Hujan di Etalase”, “Ombak”. Makna pilihan diksi “air” dalam cerpen biasanya berkaitan dengan kehidupan, harapan, kesedihan, pembersihan, perubahan, atau emosi. Penulis memilih diksi “air” untuk memperkuat nuansa, simbol, atau pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.
2. Diksi “senja” dalam cerpen “Senja Bagiku”, “Wajah-Wajah Senja”. Dalam konteks umum di cerpen Indonesia, senja sering dipilih karena menawarkan nuansa puitis, melankolis, dan reflektif, sehingga efektif menciptakan suasana emosional atau momen introspeksi pada tokoh maupun pembaca. Secara keseluruhan, pilihan diksi “senja” memberi lapisan makna yang mendalam, baik sebagai simbol waktu yang terbatas, perasaan yang tak abadi, maupun harapan yang tersisa di ambang perpisahan.
3. Diksi “ibu” dalam “Kematian Seorang Ibu”, “Ibu Kita (Tapi)”, ‘Doa Anak-Anak Seorang Ibu yang Sakit”. Diksi “Ibu” juga membawa makna universal yang mudah dirasakan oleh pembaca, karena hampir semua orang memiliki pengalaman personal dengan ibu. Ini membuat cerpen lebih mudah membangun empati dan kedekatan emosional. Pilihan diksi “Ibu” dalam cerpen adalah sebuah strategi penulis untuk menyampaikan pesan, nuansa, dan emosi tertentu yang berkaitan dengan sosok ibu, baik dari segi kasih sayang, tanggung jawab, hingga simbol nilai dalam masyarakat.
4. Tipografi unik karena pengaruh pola puisi (penulis juga sebagai penyair.
Tipografi khas pada “Doa Anak-Anak Seorang Ibu yang Sakit” (h. 116):
“Ibu, jangan dulu pergi. Aku belum membalas jasa-jasamu.”
“Ibu, jangan pergi dulu. Aku belum membahagiakanmu.”
‘Ibu, bertahanlah hidup. Aku ingin memberimu cucu yang manis dan soleh-solehah.”
…
“Kumasuki Negeri Asing” (h. 119):
“Negeri Anda negeri tetapi, jiwa Anda jiwa tetapi, trend Anda adalah tetapi,”
“Tetapi adalah diksi pembangkangan,”
“Tetapi adalah diksi kekritisan,”
…
Tentang “Wajah-Wajah Senja”
“Wajah-Wajah Senja” adalah kisah reflektif tentang kehidupan, kesederhanaan, dan pergulatan batin beberapa tokohnya yang berlatar di sebuah koperasi dan rumah sakit kelas tiga.
Cerita dimulai dengan narator yang sedang antre di koperasi bersama dua satpam. Narator mengenakan dasi, sementara dua satpam mengenakan seragam. Mereka sama-sama menunggu untuk meminjam uang, namun petugas koperasi bersikap kurang ramah, terutama kepada satpam yang gajinya sudah sangat terbatas akibat banyaknya potongan.
Cerita beralih ke kisah seorang anak bernama Komar yang setia merawat ibunya yang sakit. Ia berbeda dengan kedua adiknya yang hidup lebih mapan dan sering menawarkan bantuan materi, namun sang ibu menolak bantuan itu. Ibunya lebih memilih dirawat oleh Komar yang sederhana, menolak fasilitas mewah dari anak-anaknya yang perlente, karena ia tahu dari mana harta mereka didapat.
Ketegangan muncul saat kedua adik Komar ingin memindahkan ibunya ke ruang VIP rumah sakit, tetapi sang ibu menolak dan tetap ingin dirawat secara sederhana. Sang ibu menegaskan bahwa ketulusan dan doa lebih penting daripada kemewahan.
Setelah satpam kedua selesai meminjam uang, narator akhirnya berhadapan dengan petugas koperasi. Ia juga mengalami nasib serupa: gaji yang hampir habis karena potongan, namun tetap berusaha tegar.
Cerita ditutup dengan narator yang merenung di ruang tunggu rumah sakit, menyaksikan berita korupsi di televisi tua. Wajah-wajah di sekitarnya, termasuk dirinya, digambarkan seperti senja—penuh kegetiran, kelelahan, dan harapan yang samar.
Cerita menyoroti nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan ketulusan dalam menghadapi hidup, terutama dalam keluarga dan pekerjaan. Ada kritik terhadap sistem sosial yang tidak adil, perbedaan kelas ekonomi, dan sikap manusia yang sering menilai dari penampilan luar.
“Senja” menjadi metafora untuk kelelahan, kegetiran, namun juga keikhlasan dalam menerima kenyataan hidup.
Cerita ini menggambarkan realitas sosial yang getir namun penuh makna, dengan suasana “senja” sebagai simbol perasaan para tokohnya.
Analisis Cerpen “Wajah-wajah Senja” dengan Teori Strukturalisme Genetik
Strukturalisme genetik, yang dipelopori Lucien Goldmann, menganalisis karya sastra dengan mengaitkan unsur intrinsik (struktur cerita) dan unsur ekstrinsik (konteks sosial, budaya, dan sejarah). Teori ini menekankan bahwa karya sastra lahir dari interaksi antara pandangan dunia pengarang (atau subjek kolektif) dengan realitas sosial masyarakatnya. Tiga aspek utama dalam analisis strukturalisme genetik adalah:
1. Fakta Kemanusiaan dalam “Wajah-wajah Senja”
Cerpen ini menampilkan fakta kemanusiaan berupa:
a. Kehidupan kelas pekerja melalui narator, satpam, dan pegawai koperasi digambarkan bergulat dengan masalah ekonomi, pinjaman, dan gaji yang minim.
b. Konflik keluarga dan ketulusan ditunjukkan melalui Komar merawat ibunya dengan tulus, sementara kedua adiknya menawarkan bantuan materi yang ditolak sang ibu.
c. Realitas sosial di rumah sakit kelas tiga berupa uasana hiruk-pikuk, bau badan, dan kesederhanaan menjadi gambaran nyata kelas bawah.
Fakta-fakta ini mencerminkan realitas sosial masyarakat menengah ke bawah di Indonesia, khususnya soal ketimpangan ekonomi, solidaritas, dan keikhlasan dalam menghadapi hidup.
2. Subjek Kolektif
Subjek kolektif dalam cerpen ini adalah kelompok masyarakat pekerja (pegawai rendahan, satpam, dan keluarga sederhana) yang mengalami tekanan ekonomi dan sosial. Mereka menjadi representasi suara kelompok yang sering terpinggirkan, hidup dengan segala keterbatasan, namun tetap memegang nilai ketulusan dan solidaritas.
a. Narator dan satpam menjadi simbol perjuangan kelas pekerja yang harus bertahan di tengah sistem yang tidak adil.
b. Komar dan ibunya mewakili keluarga sederhana yang mengutamakan keikhlasan dan moralitas dibanding kemewahan.
3. Pandangan Dunia Pengarang
Pandangan dunia pengarang tercermin pada kritik sosial dan nilai-nilai yang diangkat:
a. Kritik terhadap materialisme. Cerita menolak ukuran keberhasilan hanya dari materi, sebagaimana ditunjukkan oleh penolakan ibu terhadap bantuan adik-adik Komar yang kaya.
b. Kritik sistem sosial-ekonomi. Ditekankan melalui antrean koperasi, potongan gaji, dan suasana rumah sakit kelas tiga yang memprihatinkan.
c. Nilai keikhlasan dan kesederhanaan. Ditekankan sebagai kebajikan utama yang justru menjadi penopang moral di tengah kegetiran hidup.
d. Simbolisme senja. “Senja” menjadi metafora untuk kelelahan, kegetiran, sekaligus penerimaan dan harapan samar dalam menghadapi realitas hidup.
Hubungan Struktur Cerita dan Konteks Sosial
Cerpen ini tidak hanya membangun struktur cerita yang kuat secara intrinsik (alur, tokoh, latar, tema), tetapi juga sangat erat dengan konteks sosial-ekonomi masyarakat Indonesia. Cerita ini merupakan hasil interaksi antara pengalaman kolektif masyarakat kelas bawah dan refleksi kritis pengarang terhadap situasi sosial yang nyata.
Melalui pendekatan strukturalisme genetik, cerpen “Wajah-wajah Senja” dapat dipahami sebagai cerminan realitas sosial masyarakat kelas bawah, dengan penekanan pada nilai keikhlasan, kritik terhadap materialisme, dan solidaritas kemanusiaan. Cerpen ini lahir dari dan untuk subjek kolektif yang mengalami tekanan sosial-ekonomi, sekaligus menjadi refleksi pandangan dunia pengarang terhadap pentingnya moralitas dan kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari. Analisis ini memperlihatkan bagaimana karya sastra tidak pernah lepas dari struktur sosial dan sejarah masyarakat di mana ia dilahirkan.
Cerpen ini berhasil membangun suasana “senja” bukan hanya sebagai waktu, tetapi sebagai metafora perasaan, kelelahan, dan kegetiran hidup. Penggunaan kata “senja” berulang kali mempertegas nuansa melankolis dan getir yang dialami para tokohnya. Setiap tokoh digambarkan dengan detail psikologis yang kuat, terutama dalam menggambarkan perasaan pasrah, ketidakberdayaan, dan konflik batin. Misalnya, tokoh satpam dan Komar sama-sama digambarkan sebagai sosok yang terhimpit keadaan, namun tetap berusaha bertahan dan berbakti.
Namun, sedikit catatan walaupun tokoh utama dan beberapa tokoh sentral digambarkan cukup kuat, karakter pendukung seperti adik-adik Komar dan petugas koperasi hanya digambarkan secara permukaan. Motif dan latar belakang mereka kurang dieksplorasi, sehingga mereka terkesan sebagai pelengkap cerita tanpa kedalaman emosi yang memadai.
Bagaimanapun cerpen-cerpen dalam “Wajah-Wajah Senja” adalah representasi dari karya prosa yang layak diulik-ulik untuk diapresiasi dan diperbincangkan dalam berbagai situasi dan suasana. Tahniah.
Pekanbaru, 20/7/2025