

NANDUNG EMAK
Ibu bapakmu Rabbi kami dengarkan
Anak diayunkan kami nyanyikan
Bersama-sama Rabbi kita doakan
Harapan Allah minta perkenalkan*)
Aku akan diam bila mendengar suara emak bersenandung. Aku akan berteriak sekeras-kerasnya bila nandung itu berhenti. Entah apa yang menjadikan aku seperti ini. Terasa damai mendengar nandung emak. Bagiku baris-baris syair dalam nandung emak itu adalah bait-bait surga. Namun keindahan menikmati nandung itu membuat orang-orang sekitarku menyebutku gila.
“Aku tidak gila, aku hanya ingin dekat emak.” Begitu teriakanku ketika aku tahu emakku telah pergi meninggalkanku.
Aku hanya pasrah ketika orang-orang sekitar untuk memasungku. Aku merasa tidak pernah mengganggu siapapun. Aku hanya rindu dengan nandung emak. Aku masih ingat ketika emak mengayunkan aku dalam rangkaian sebuah tradisi yang biasa masyarakat lakukan. Acara mengayun anak-anak dalam buaian bagi masyarakat Melayu yang dikenal dengan Ayun Budak dilakukan secara beramai-ramai disertai nyanyian lagu-lagu berisi nasehat, petuah, dan doa. Ketika aku lelah memberontakkan kaki dan tanganku untuk melepaskan rantai pasunganku maka aku hanya bisa dengan lirih menyebut-nyebut nama emak yang aku rindukan.
”Emak … emak … emak …”
Berulang-ulang sampai bayangan emak seakan hadir menemaniku baru aku terlelap. Emak bagiku bukan sekedar perempuan yang telah menemaniku. Tapi telah menjadi tumpuan hidupku. Aku masih ingat cerita emak, sejak kematian abah semua tanggung jawab diserahkan padanya. Aku menjadi curahan kasih sayangnya. Aku begitu dilindunginya. Semua gerak, tutur, dan tingkahku emak yang mengatur. Aku tidak boleh bermain di luar pekarangan rumah bersama anak-anak yang lain. Aku bahkan tidak boleh sekolah karena baginya sekolah akan menghilangkan kesempatannya untuk selalu bersamaku. Aku jadi sangat tergantung sama emak. Aku melihat emak sangat menikmati perlindungan yang diberikannya padaku. Kemanapun emak pergi aku akan diajaknya. Akupun sangat menikmati ketergantungan ini.
Aku tak peduli dengan cemoohan orang tentang kemanjaan yang ibu berikan padaku. Namun ketergantungan itu berbuah kekalapan yang tidak biasa kualami sejak kematian emak. Masih terbayang tatapan terakhir emak seakan tidak rela melepaskanku. Saat itu aku hanya bisa sesegukan panjang. Satu persatu orang yang kukenal telah meninggalkanku dalam kesendirian di rumah panggung tuaku. Aku tak mengerti bagaimana menjawab lilitan perutku yang minta diisi. Dahaga tenggorokan ku pun aku tak mengeti bagaimana melegakannya. Aku hanya tahu kalau hari-hariku dalam pasungan di rumah panggung itu. Ada Mak Munah yang kukenal sebagai teman baik emak. Kala siang dan malam Mak Munah menyuapkan makan dan minum. Teriakan-teriakan yang kukeluarkan membuatku lega, namun menjadi bahan ejekan setiap anak-anak kecil yang usil.
”Orang gila … orang gila … orang gila …”
Malamku yang biasanya luka, kali ini membawa aroma lain ketika nandung itu kembali kudengar setelah senyap dalam waktu yang lama. Aku yang biasanya akan selalu berteriak-teriak bila ada orang yang mendekatiku namun karena nandung itu membuatku pasrah mengikuti orang-orang yang katanya dari rumah sakit jiwa melepaskan pasungan dan membawaku dengan mobil yang meraung-raung dengan sirinenya. Telingaku sempat tak kuat mendengar raungan mobil itu. Aku kembali berteriak sekuat yang kubisa. Namun menjadi tenang ketika perempuan itu bersenandung seperti emak.
Ya, nandung itu muncul dari mulut seorang perempuan cantik bak bidadari. Sepotong jilbab putih menghiasi wajahnya bak wajah rembulan. Entah perasaan dari mana yang membuatku ingin berlama-lama menikmati wajahnya. Apa ini yang dinamakan naluri laki-laki, siapapun dia akan merasakan rasa itu. Demikian halnya denganku, lelaki terpasungpun berhak punya rasa itu.
Entah angin teduh darimana yang selalu membawaku selalu tertunduk damai setiap melihat tatapan mata teduhnya. Aku menjadi larut dalam tatapan yang tidak ingin kupicingkan sedikit pun. Itu semua kulakukan kala perempuan itu menyenandungkan yang biasa emak nyanyikan. Sensasi dan gairah hidupku bersemi kembali. Aku akan memberikan senyuman dan pancaran mata terindah yang bisa aku pancarkan. Perempuan bidadari itu dengan pakaian putihnya memberikan senyuman dan sentuhan yang menembus pori-poriku. Aku merasakan kenikmatan yang pernah kurasakan seperti sentuhan emak. Aku selalu berusaha berlama-lama ingin disentuhnya. Saat aku diberikan obat untuk kuminum, saat sendok nasi disuapkan ke mulutku, dan saat steteskop diperiksakan ke dadaku. Aku selalu berdesir ketika jemarinya berada di jantungku. Binar matanya menyemburatkan butiran kesejukan. Detak jantungku seperti ingin mengatakan, ”Kau memang cantik, bidadariku.”
Melihat perubahanku, aku dilepaskan dari pasungan. Aku mulai dipercaya untuk berjalan sendirian. Aku terasa hidup kembali menikmati udara segar dengan menikmati sapaan dedaunan yang dengan setia mengisi paru-paruku. Kebiasaan baru yang selalu kulakukan setelah berjalan di pagi hari aku akan duduk menikmati percikan air di kolam. Aku merasakan kegairahan itu mendekat ketika bunyi langkah bidadari itu menuju ke arahku. Walaupun nandung tidak didendangkan tapi aku seperti mendengar bait-bait nandung yang bergema seiring mendekatnya bidadariku.
”Apa kabar hari ini?”
Pertanyaan biasa yang bagi telingaku mengalirkan nada-nada pantun yang sering kudengar dari mulut emak. Suatu keajaiban kata dokter melihat kesembuhanku. Bahagiakah aku? Aku menjadi tahu banyak hal dengan penjelasan dokter pada perempuan bidadariku.
”Hebat … terapi dengan menyenandungkan syair yang biasa didengar pasien membuatnya sembuh.”
Ternyata tanda-tanda kesembuhanku menjadi bencana bagiku. Aku mendengar dengan kesembuhanku berarti perginya bidadariku. Aku gamang ketika sebuah ucapan selamat tinggal padaku. Aku hanya diam dan menerjunkan butiran air mataku.
”Jangan pergiii!!!” Kembali aku selalu histeris ketika hari-hariku sunyi tanpa nandung emak dari perempuan bidadariku.
*) Nyanyian dalam “Nandung Emak”dalam Tradisi Ayun Budak masyarakat Melayu
Pekanbaru, 2012
Cerpen Terpilih dalam Ajang Ubud Writer and Readers Festival Tahun 2014.
Tradisi menyanyikan lagu pengantar tidur ( lulaby dalam bahasa Inggris) memang menjadi kebiasaan masyarakat di nusantara. Ada banyk pesan yang terkandung di dalam nya. Saya sendiri juga terbiasa di dendangkan emak saat dalam buaian dulu. Kalimatnya Lailahaillah ( di ulang) dengan irama yg bervariasi dan biasa di tambah kalimat seperi ” Cepat tidur dalam buaian, cepatlah besar anakku sayang. Tradisi ini mungkin saat ini sudah jarang ditemukan tapi tak menutup kemungkinan penutur nya masih ada dan kita semestinya meneruskan tradisi tersebut sebagai khazanah nusantara.