

Ini entah sudah yang keberapa kali rapat ini diadakan. Waktunya ada pagi, sore, siang, dan malam. Tapi belum ada keputusan. Dari awal Pak Kades sudah memilih beberapa orang kepercayaannya untuk melakukan pendekatan-pendekatan serta lobi-lobi yang diimingi dengan janji-janji yang ada rezekinya. Tidak berhasil juga. Rapat tetap diakhiri dengan adu argumentasi. Lebih tepat disebut adu mulut.
Sebenarnya, alasan-alasan yang mereka kemukakan bisa diterima oleh akal sehat.Tapi persoalannya bukan soal masuk akal dan tidak masuk akal. Tapi lebih cocok berdasarkan kepentingan.
Untunglah Pak Kades Desa Kayu Arang sangat penyabar. Emosinya tidak mudah naik. Apalagi meledak-ledak. Pak Kades sangat paham, emosi dalam rapat tidak akan menyelesaikan masalah.
Setiap kali rapat Pak Kades selalu menjaga kata-kata yang dia ucapkan semuanya santun-santun. Nada suaranya lembut dan tak sakit telinga mendengarkannya.
“Bapak-bapak, bagaimana usul saya? Bisa Bapak-bapak terima?” tanya Pak Kadis setelah lama berbicara.
“Minta maaf, Pak Kades. Saya monolaknya,” jawab Yong Nuar sambil menunjuk-nunjuk.
“Alasan Yong Nuar apa, kalau boleh saya tahu,” tanya Pak Kades.
“Alasan saya hanya satu.”
“Ya, apa?”
“Saya tidak setuju. Titik.”
“Itu bukan alasan.”
“Kalau bukan alasan, apa namanya?” kata
Pak Kades setelah itu dia diam. Sepertinya ia tak kuasa melayani orang seperti Yong Nuar. Untung saja di desanya orang seperti itu cuma satu orang. Kalau ramai, Pak Kades tak bisa membayangkan bagaimana riuhnya setiap kali rapat Desa.
Pak Kades mengarahkan matanya ke beberapa meja peserta rapat. Di atas meja nampak sudah tak terhitung lagi entah berapa kotak air mineral habis untuk minum para peserta rapat. Mereknya pun bermacam-macam. Tergantung keinginan yang membelinya. Yang pasti setiap kali rapat setiap ketua RT harus membawa satu kotak air mineral.
Pada anggaran desa, dulu ada dianggarkan dana untuk konsumsi rapat. Tapi hanya untuk dua kali rapat saja, yaitu rapat awal dan akhir tahun. Waktu rapat awal tahun, Pak Kades tidak mewajibkan ketua RT membawa air mineral. Waktu itu covid-19 belum heboh. Di beberapa negara memang sudah banyak yang panik bagaimana cara mengatasinya. Namum waktu itu di desa Kayu Arang wabah itu belum heboh. Anggaran desa sesuai dengan yang sudah ditetap sebelum tahun anggaran.
Pak Kades Kayu Arang sangat paham, setiap rapat harus ada konsumsi. Harus ada makan minum. Tergantung lamanya rapat. Semakin lama rapatnya semakin banyak konsumsinya. Bila rapat kira-kira setengah jam, cukup air mineral gelas dan Bu saja. Tak perlu ada kue. Tapi bila sudah satu jam, perlu kue, teh manis atau kopi. Jika hampir dua jam harus ada lontong, atau mie goreng, atau sate. Dan bila sampsi zuhur, harus ada makan siang.
Tahun ini entah sudah berapa kali rapat. yang dilaksanakan entah berapa kali itu tak tahu entah berapa jam. Lamanya pun tidak bisa diprediksi. Kadang-kadang solat Zuhur pun lewat.
Bagaimana konsumsinya? Oleh karena mengharapkan sumbangan dari ketua RT, maka yang ada hanyalah air mineral gelas saja. Bila perut terasa lapar, minum lagi. Lapar lagi ya minum lagi. Begitulah. Kadang ada yang menghabiskan air mineral sampai 10.
Meskipun rapat tanpa konsumsi, penduduk desa Kayu Arang tak mau tahu. Harus rapat. Hasilnya harus keputusan bersama. Itu sudah menjadi komitmen mereka.
Sesungguhnya, yang mereka harus putuskan secara bersama dalam rapat itu adalah tentang kesepakatan membangun jalan penghubung antara desa mereka dengan desa di seberangnya. Desa seberang sudah setuju dibangun jembatan sehingga dua desa itu terhubung.
“Pak Kades, dari dulu kami-kami hidup di penyeberangan itu. Bebera orang kami punya sampan untuk menyeberangkan orang. Beberapa yang lain berjualan di sekitar penyeberangan itu. Jika dibangun jembatan, kami nanti makan apa?” jelas ketua RT 002.
“Ya, Pak Kades,” sambung yang lain.
“Pokoknya tak setuju.”
“Betul.”
“Tak setuju.”
Ruang rapat jadi gaduh. Mulanya berdiri beberapa orang. Kemudian disusul beberapa orang yang lain. Akhirnya, Semua peserta rapat tak ada lagi yang duduk. Ada beberapa orang yang maju mendekati Pak Kades. Berkata-kata dan menunjuk-nunjuk Pak Kades.
Pak Kades berusaha menenangkan suasana. Beliau diam saja. Dipandangnya satu-persatu peserta rapat secara berganti-ganti. Beliau ingat bahwa cara itu paling ampuh untuk mendiamkan orang yang lagi ribut. Teori itu didapatnya dari dosennya sewaktu kuliah di FKIP.
Ruang rapat hening. Semua peserta rapat sudah kembali ke tempat duduk masing-masing. Pak Kades masih tetap menatap satu-persatu peserta rapat secara berganti-ganti.
“Sudah bisa saya lanjutkan?” Pak Kades mengajukan pertanyaan kepada peserta rapat.
“Silakan, Pak Kades.” Seorang peserta yang duduk di kursi depan menjawab.
Pak Kades dapat akal. Ketika itu sudah hampir jam 12 siang. Sudah waktunya makan siang. Beliau yakin, semua peserta rapat sudah lapar. Sebab dari tadi pagi belum ada makan apa-apa. Yang masuk ke dalam perut mereka hanya air mineral. Di depan meja semua peserta rapat terlihat onggokan gelas plastik air mineral.
“Bagaimana jika makan siang dulu? Nanti rapat kita lanjutkan,” ucap Pak Kades dengan kalimat santun.
“Setuju,” jawab semua peserta rapat.
“Rapat kita skor 30 menit.”
Pak Kades memanggil seorang staf Kantor Desa. Diberikannya secarik kertas. Isinya pesanan nasi bungkus dan minuman untuk makan siang peserta rapat.
Dua puluh menit kemudian sampai nasi bungkus yang dipesan Pak Kades tadi. Terlihat para peserta rapat menerima nasi bungkus dan mereka mulai makan. Lahap sekali.
Semua peserta rapat nampaknya mereka
sangat lapar. Nasi bungkus dengan lauk ayam gulai itu tak bersisa. Tulang-tulang ayam potong itu pun habis lumat dikunyah-kunyahnya.
Nikmat sekali mereka makan siang itu disertai segelas kopi dan sebatang rokok gudang garam. Beberapa orang terlihat bersandar sambil mengisap rokok.
Inilah saat paling jitu, pikir Pak Kades ketika dilihatnya semua peserta rapat dalam kenikmatan setelah selesai makan siang.
“Bapak-bapak, apakah sudah bisa kita lanjutkan?” tanya Pak Kades seraya tersenyum.
“Bisa, Pak Lurah,” hampir semua peserta rapat menjawab dengan diikuti acungan tangan tanda sangat setuju.
“Terima kasih,” sambut Pak Kades dengan iringan ancungan jempol.
“Rapat kita sesungguhnya tinggal mengambil keputusan.”
“Lanjut..”
“Baik. Apakah semua setuju dibangun jembatan?” tanya Pak Kades setelah selesai meawali pidatonya.
Semua peserta rapat berdiri. Mereka mengacungkan tangan dan berkata serentak, “Setuju.”
“Setuju.”
“Setuju.”
“Terima kasih,” sambut Pak Kades seraya mengacungkan jempol kedua tangannya. Beberapa saat kemudian beliau memukul palu tiga kali pertanda keputusan itu sudah diputuskan.
Sesaat kemudian rapat ditutup. Para peserta mulai keluar meninggalkan ruang rapat. Mereka pulang dalam keadaan perut kenyang.
Bengkalis, 2020
Aktivitas tulis-menulis sudah mulai ditekuni sejak tahun 1986 dengan berbagai bentuk karya di beberapa koran daerah dan pusat dengan nama pena Risan Dhom. Dari tahun 1991 hingga 2007 sering pula mengikuti berbagai lomba dan sayembara menulis. Pernah 7 kali diundang ke Jakarta sebagai pemenang tingkat Pusat dalam Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan dan Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional. Hingga saat ini sudah menulis 15 buku dan 23 antologi. Penulis pensiunan pengawas sekolah. Kini dipercaya sebagai Koordinator PERRUAS wilayah Riau. Bertempat tinggal di Bengkalis.