

malam sumbang. perihal hidup yang sambung di tubuhmu kian rumpang banyak luka tak rampung. kembali kueja pada hurufhuruf dingin telah lama gugu dan gugur diseru seteru. jejakmu lurus dari timur ke ibukota rupanya sungaimu kini kurus, anakanak tak lagi berenang di air sungaimu mereka telah lama hanyut pada air mata orang tuanya.
pagi piatu. menguar aroma sejarah darah mengucur. mengaliri tanah pernah hampir hancur dihantam penjajahan panjang umur. Jejak itu kembali terhidang untuk disantap pada anakanak barangkali keliru tak lagi melayap akan harap yang lindap. tapi mengapa di tubuhmu masih terlihat arakarakan orang bertelanjang kaki penuh ratap, kelaparan kian akrab muka sembab, nilai tukar terjerembab.
apakah merdeka memang sesingkat itu? seumpama mereguk manis madu dari bunga kemudian layu menunggu catatan kematian padahal pejuang meminta kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. bukan seperti ini menjadi asing sebagai pribumi.
apakah merdeka memang setakat itu? seperti meminum secangkir kopi di kafetaria lebih lama menunggu daripada waktu menghabiskannya. padahal tanah kita subur. sumber daya terukur untuk makmur. bahkan di atas sana telah dipilih orang untuk mengatur tapi mengapa kami masih susah makan teratur? apakah mereka tertidur?
lalu ada pula kita diminta menulis puisi paling puisi tentang kemerdekaan. bagaimana bisa jika katakata kami diterungku, mulutmulut kami dipaksa diam atau raga berakhir mendekam. kita dipaksa tunduk seperti menjaga kesucian kelamin sendiri. adakah sama merdeka yang kita baca?
Sampai detik ini, mulut puisi tak henti bertanya, mengapa di tubuhmu kemerdekaan semakin sungsang?
Tembilahan, 30 Juli 2023
Yudi Muchtar, Pengurus Forum Lingkar Pena Wilayah Riau.