

Hidup di tengah kekacauan yang melanda tidaklah mudah bagi Adena, wanita berusia 23 tahun yang tengah 6 bulan mengandung itu terpaksa bekerja sambil melanjutkan studinya untuk bertahan hidup dikala sang suami terus berjuang mencari keadilan. Adena Kasih nama lengkapnya. Ia menikah dengan laki-laki yang lebih tua 2 tahun darinya. Samoedra Abimanyu yang saat itu sedang sibuk menyemangati mahasiswa saat melakukan demonstrasi terpana melihat Adena yang berani berdiri di barisan terdepan. Menyuarakan pendapatnya dengan lantang. Dari situlah mereka saling mengenal, dekat, hingga lanjut ke jenjang saat ini. Samoedra yang saat ini sudah memegang gelar sarjana masih terus ikut dalam kegiatan demonstrasi.
“Sam, kamu mau pergi lagi? Adena dengar, semakin rawan, Sam… Adena juga sedang mengandung, kalau misalnya kamu pergi nanti-”
“Shussshh, sudah tenang saja. Aku sudah sering ikut. Aku berjanji tidak akan berdiri di barisan depan. Aku berjanji akan pulang padamu.” Belum selesai Adena berbicara, Samoedra mengelus kepala Adena pelan sambil tersenyum.
“Tapi Sam-” Samoedra mencium kening istrinya, lalu memeluknya dengan erat.
“Kamu percaya padaku, kan?” Sam melepas pelukannya, di tatapnya wanita mungil yang berdiri di depannya dengan tatapan khawatir itu mengangguk pelan.
“Sudahlah, jangan terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak. Kamu harus terus menjaga kesehatanmu, Na. Demi bayi kita. Jikalau aku benar-benar tak kunjung pulang, tolong ikhlaskanlah kepergianku. Dan untuk bayi ini, katakan padanya aku sangat mencintainya. Maaf karena aku jarang bersamamu, Na. Tapi ketahui lah, aku tidak bermain-main jika tentangmu.” Air mata Adena mengalir, sedikit terisak. Samoedra tersenyum lemah dan menghapus air mata istrinya, jujur saja hati Samoedra berkecamuk membayangkan jika ia benar-benar tiada dan meninggalkan orang yang dia sayangi.
“Gendhis Abimanyu… Beri ia nama itu.” Sam mengelus perut Adena yang buncit. Adena sedikit memiringkan kepalanya.
“Tapi kita belum tahu apakah dia laki-laki atau perempuan, bagaimana jika dia laki-laki, Sam?”
“Jika dia laki-laki, ya?… Kalau begitu, Ganesh Abimanyu.” Adena menggelengkan kepalanya sambil tertawa ringan, begitu pula Sam.
Sam keluar dari rumahnya dengan hati yang berat. Sebelum ia melangkah, ia berhenti. Menguatkan hatinya dan berdoa agar ia bisa pulang tepat waktu. Ia sudah berjanji pada jantung hatinya untuk pulang setelah 1 bulan. Sam menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. kakinya pun melangkah mantap. Jika takdir berkata lain, setidaknya ia berhasil membantu menyuarakan suara-suara yang sebelumnya terbungkam.
Waktu terus berlalu, hari berganti minggu, Adena selalu menunggu di ambang pintu saat matahari menunjukkan keindahannya sebelum ia tenggelam ke dalam lautan. Bayangan Samoedra muncul di hadapannya saat itu juga tanpa terluka sedikit pun. Tapi semua itu hanya halusinasi belaka yang selalu ada di benaknya karena rindu yang berkepanjangan. Minggu berganti bulan, kerusuhan di ibu Kota semakin ricuh. Korban-korban bergelimpangan, baik yang tiada ataupun dinyatakan hilang. Kekhawatiran Adena semakin bertambah saat mengetahui bahwa Samoedra diculik seseorang berdasarkan kesaksian salah satu mahasiswanya. Dunianya luruh seketika, air mata mengalir di pipinya dengan deras sambil menahan perutnya. Ibu Sam yang tinggal bersama Adena hanya bisa menahan tangis sambil menguatkan Adena.
Siang itu pukul 2 siang, Adena dilarikan ke rumah sakit karena ia merasa buah hatinya akan lahir. Adena berada di dalam ruang bersalin itu berjam-jam, saat itu ia membayangkan bahwa Samoedra datang dan menemaninya. Sekali lagi, itu hanyalah halusinasi. Langit kini berubah menjadi oranye. Sang pusat tata surya turun, menyisakan separuh cahayanya. Tangisan bayi menggelegar di ruang bersalin, dua bayi kembar terlahir secara sehat dan sempurna– tidak dengan keluarga mereka. Adena tak pernah menyangka bahwa ia mengandung bayi kembar, namun ia sempat bingung dengan ukuran perutnya selama mengandung.
“Bunda! Ganesh tidak mengerjakan PR lagi dan Bunda disuruh datang ke sekolah besok!” Gendhis berlari memasuki rumah sambil berteriak dan menuju kamarnya lalu mengunci pintu. Adena yang sedang memasak di dapur hanya mendengus pelan.
“Hai Bun. Bunda cantik sekali hari ini.” Adena merasakan seseorang mencium pipinya ringan. Adena menggeleng pelan.
“Bunda hanya cantik hari ini saja, Ganesh?” Remaja berusia 16 tahun itu tertawa, bahkan sudah lebih tinggi dibanding Adena.
“Tidak Bun, selalu cantik. Maaf Bunda, pelajaran Pak Santo sangat membosankan. Mana ada orang yang mengerti dengan tugas yang dia berikan. Apalagi kerjanya hanya menyuruh kami membaca dan meringkas buku saja tanpa menjelaskan.” Ujar Ganesh meletakkan tas di atas kursi di depan meja belajarnya lalu kembali ke dapur, membantu Adena.
“Jangan dengarkan Ganesh, Bun. Gendhis, Cantika, dan yang lainnya paham kok. Ganesh saja yang malas.” Gendhis keluar dari kamarnya, sudah mengganti pakaiannya ke gaun selutut berbahan kaus berwarna merah muda.
“Minggir, biar aku yang cuci piringnya, kalau kamu yang cuci masih ada minyaknya.”
“Tidak. kamu ngertiin mas dulu, Dhis. Kali ini saja.”
“Cukup. Siap kan piring saja sana.” Tak bisa melawan sang adik, Ganesh mundur dari westafel dan beranjak ke rak piring, lalu menyusun piring di atas meja. Sedangkan Adena menyajikan masakannya dan menaruhnya di atas meja makan.
“Bun, tadi Gendhis sama Ganesh belajar sejarah di sekolah tentang kerusuhan 17 tahun silam.” Ganesh yang duduk di sebelah Gendhis mencubit pinggang Gendhis.
“Gendhis! Kan mas bilang tidak usah di bahas di rumah.” Ganesh berbisik. Gendhis menjulurkan lidahnya.
“Kan aku ingin tahu, mas. lagian Bunda juga gapapa. Iya kan, Bun?” Adena menatap putrinya sambil tersenyum. Ia meneguk air dari gelasnya, sedangkan Ganesh melirik Gendhis dengan tajam.
“Bunda tidak apa-apa kok, Ganesh. Kamu ingin tahu tentang apa, Dhis?” Gendhis menelan makanannya yang sudah habis di piring.
“Apa Ayah termasuk salah satu korban kerusuhan itu, Bun? Maaf kalau Gendhis tanya ini, tapi Gendhis ingin tahu tentang Ayah, Bun.” Memang benar, Adena tidak pernah membahas tentang Samoedra selain mengenalkan bahwa Samoedra adalah Ayah mereka yang tiada di waktu bersamaan dengan puncak kerusuhan di ibu Kota karena penyakit kronis. Dan untuk Ganesh, ia tahu sendiri karena tak sengaja membaca buku catatan harian milik Bundanya yang saat itu tergeletak di atas meja di ruang tamu begitu saja sedangkan Adena tertidur di dalam kamar. Ganesh yang mengetahui hal tersebut langsung memberi tahu pada Gendhis, tetapi Gendhis ragu karena selama ini Bundanya mengatakan bahwa Samoedra– sang Ayah tiada murni disebabkan oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya.
“Bunda, Gendhis mohon banget, jawab dengan jujur. Gendhis dan Ganesh juga harus tahu tentang Ayah, Bun. Gendhis sama Ganesh akan terima kok.” Ganesh mengangguk, setuju dengan Gendhis kali ini. Mau tidak mau, mereka harus segera mengetahui kebenaran tentang Ayahnya.
Adena menarik napasnya dalam-dalam. Sebenarnya ia belum siap dengan situasi ini, tetapi karena itu sudah datang, mau tidak mau Adena harus siap menjelaskan yang sebenarnya kepada putra putrinya. “…Iya. Ayah kalian, Samoedra Abimanyu memang salah satu korban dari kerusuhan itu. Ia hanya dinyatakan hilang setelah kerusuhan itu mereda bahkan tak memiliki jejak. Bunda sudah melaporkan hal tersebut kepada pihak berwajib, pencarian sudah dilakukan hingga akhirnya kasus itu di tutup. Saat itu usia kalian masih 1 tahun.”
Ganesh dan Gendhis saling bertatapan. “Saat itu Bunda selalu menunggu kepulangannya. Bunda sudah pasrah, tidak apa-apa jika yang dipulangkan hanya jasadnya, tetapi hasilnya tetap sama. Hingga sekarang pun, Bunda masih berharap Ayah kalian masih hidup. Bersembunyi di suatu tempat dan kembali ke sini suatu saat.” Lanjut Adena dengan mata sendunya. Bahkan ia tak bisa menangis lagi karena sudah terlalu sakit untuk di tangisi. Kedua anaknya itu beranjak dari kursinya dan memeluk Adena.
“Maaf kan Bunda jika Bunda tidak bisa menggantikan peran Ayah kalian.” Gendhis dan Ganesh menggeleng, mereka tidak ingin sang Bunda menyalahi dirinya sendiri.
“Tidak Bunda. Ini bukan salah Bunda. Bunda hebat karena masih bertahan sampai sekarang.”
“Benar. Maafkan mas yang masih nakal ya, Bun? Mas janji akan berubah…Demi Ayah dan Bunda.”
“Gendhis juga…” Adena memeluk kedua anaknya dan mencium pucuk kepala mereka lalu tersenyum hangat. Sore itu benar-benar menjadi pelajaran bagi mereka bertiga untuk melanjutkan dan menjalani hidup lebih serius. Terkadang jika Gendhis dan Ganesh merasa putus asa dan ingin menyerah, mereka selalu mengulang momen itu dan mengingat bagaimana sang Bunda tak pernah menyerah dan selalu bertahan demi dua orang lainnya yang masih panjang jalan hidupnya.
Desir ombak dan hembusan angin mengenai rambut dan menusuk kulit dengan lembut. Masih mengenakan jubah wisudanya, Gendhis dan Ganesh kini berdiri di depan laut lepas dari atas tebing. Cahaya oranye mengenai rambut coklat Gendhis seolah olah rambut coklat itu bersinar. Ganesh menatap laut lepas sambil memikirkan apa yang selanjutnya ia lakukan setelah mendapatkan gelar sarjana hukum.
“Ayah. Gendhis sudah resmi jadi sarjana ilmu pemerintahan. Ganesh juga sudah resmi jadi sarjana hukum. Ayah apa kabar di sana?” Bisik Gendhis lalu menghembuskan napasnya. Adena yang baru saja turun dari mobil menghampiri dan melingkarkan tangannya di pinggang putra putri kembarnya. “Ayah. Ganesh akan menegakkan hukum sesuai dengan aturan yang ada. Ganesh akan meneruskan perjuangan Ayah. Doakan yang terbaik ya, Yah?” Adena mencium pipi kedua anaknya lalu menatap matahari yang hanya menyisakan separuh bagiannya.
“Terima kasih Tuhan karena memberikan kami Ibu seperti Bunda.” Ujar keduanya sebelum matahari tenggelam ke dalam lautan. Matahari tenggelam menjadi saksi bisu kehidupan yang di jalani Adena. Ia kini mengerti mengapa matahari tenggelam menjadi pemandangan terindah namun juga menyakitkan baginya. Semua yang ada di dunia ini akan berakhir dan tidak ada yang abadi, seperti jantung hatinya– Samoedra Abimanyu. Meskipun matahari tenggelam, ia akan terbit lagi di esok hari secara bertahap. Seandainya matahari menyerah terlalu cepat, mungkin dua orang lainnya tidak akan pernah ada.
Selesai, 31 Januari 2025.