

Setiap hari masjid selalu dikunjungi jamaah yang hendak melaksanakan shalat sesuai jadwal yang telah ditetapkan waktunya. Jamaah yang datang ke masjid beragam, adanya yang fisiknya normal ada yang disabilitas atau berkebutuhan khusus dalam beribadah. Seharusnya tidak ada perbedaan karena masjid merupakan rumah Allah, mestinya juga ramah kepada penyandang disabelitas karena untuk menunaikan kewajibaan beribadah shalat berjamaah atau munfarid di masjid.
Namun, kenyataan di lapangan tak selalu seideal itu. Masjid Manarul Amal yang berada di lingkungan Universitas Mercu Buana, Jakarta, belum sepenuhnya ramah bagi penyandang disabilitas. Inilah yang melatarbelakangi kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Pembinaan Masjid Ramah Disabilitas.”
Mengapa Perlu Ramah Disabilitas?
Bagi sebagian besar dari kita, berjalan ke tempat wudhu atau naik tangga masjid bukan perkara sulit. Tapi tidak demikian bagi mereka yang menggunakan kursi roda, memiliki keterbatasan penglihatan, atau lanjut usia.
Menuju Area Wudhu terlalu sempit, tidak bisa dilewati penyandang disabilitas, area wudlu juga tidak ada railing, sehingga tidak aman untuk lansia dan penyandang disabilitas.
Tidak ada fasilitas disabilitas akan sangat menyulitkan dan mengalami kesukaran bagi penyandang disabilitas, seperti yang mereka butuhkan berupa jalur landai (ramp), ubin penanda, toilet khusus, hingga penanda visual untuk beraktifitas dengan aman dan nyaman di masjid, jalur kursi roda menuju tempat wudhu, jalur menuju ruang di dalam masjid, dan tempat khusus untuk menunaikan ibadah shalat. Kesukaran juga dialami teman tuli karena ketidakmampuan mereka mendengar sehingga tidak pernah mendengar dan memaknai adzan hingga makna shalat.
Apa yang Dilakukan?
Penulis mengajak para pengelola masjid berdiskusi, meninjau langsung kondisi lapangan, dan memberi edukasi soal pentingnya aksesibilitas. Hasilnya cukup mencengangkan: tangga yang terlalu sempit, toilet tanpa pegangan, hingga area wudhu yang tidak ramah disabilitas. Semua itu lalu dibahas dan dicarikan solusinya bersama.
Bahkan, sebuah buku panduan Desain Universal (yang disusun oleh IAI bersama Rachmita Maun Harahap) diserahkan kepada Pengelola Masjid agar kedepannya renovasi atau pembangunan bisa memperhatikan kebutuhan semua jamaah, termasuk mereka penyandang disabilitas.
Penyerahan buku penerbit Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakata, Panduan Ilustratif Regulasi Bangunan & kawasan Jakarta, Desain Universal, 2024 kepada Pengelola Masjid agar Pengelola Masjid dalam melakukan renovasi atau pelaksanaan pekerjaan konstruksi memperhatikan penyandang disabilitas.
Pembinaan ini bukan hanya soal fisik bangunan, tetapi juga tentang membangun empati dan kepedulian sosial. Masjid seharusnya menjadi ruang inklusif yang tidak membedakan siapa pun. Sebab, semua umat berhak merasakan kenyamanan dan ketenangan dalam beribadah.
Andjar Widajanti, Dosen Universitas Mercu Buana, Program Studi Arsitektur.
Rachmita Maun Harahap, Anggota Komisi Nasional Disabilitas Republik Indonesia