Bismillah,
Lebih sebulan riwayat Rempang menjadi buah bibir di kerajaan mancanegara. Relokasi, penggusuran, pengosongan, pergeseran, dan piting menjadi diksi liar yang menggelinding buas. Amuk menjadi semangat utama masyarakat Rempang dalam mempertahankan tanah air dengan air mata mereka. Rempang yang semulajadi aman berubah huru-hara. Angin membawa kesengsaraan warga. Asap menusuk jantung kecerdasan bangsa. Tangisan para pelajar dan warga menggema dalam ruang gulita.
Rempang tetap bagai dara Melayu yang molek. Keindahannya dikurung oleh adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Adab hidup dalam keseharian masyarakat sehingga Rempang tetap perawan. Pantai Melayu di Rempang Cate elok menawan. Angin sepoi-sepoi dan desiran ombak menyapa pasir putih di tepi pantai. Di beberapa sudut, warung masakan khas Melayu pesisir laut menyuguhkan rasa yang berencam. Sambil menikmati hidangan khas Melayu, pemandangan di sekitarnya pun menjadi santapan yang memanjakan mata. Rempang berlaut tenang. Warna air laut berkristal biru kehijauan.
”Ampun Tuanku, Hamba telah melakukan titah Tuanku. Rakyat Rempang sudah setuju dengan rencana yang kita canangkan,” sembah Utimuraja dengan muka bertabir senja.
Wajah Sultan begitu gembira mendengarkan sembah Utimuraja.
”Rempang adalah bukti kekuasaan Beta. Sebagai Sultan, Beta tiada mau ada sembarang halangan apatahlagi pemberontakan. Semua pembesar kerajaan mesti mendukung apa yang telah Beta titahkan. Semua titah Beta untuk kemajuan dan kemakmuran rakyat semata,” suara Sultan menggema di balai kerapatan istana.
”Hamba setuju, Tuanku. Hamba siap sedia lahir batin demi kekuasaan Tuanku dan demi kerajaan ini,” lidah Utimuraja menjulur. Ternyata, Utimuraja bermain mata dengan perwakilan kompeni, Abran Rudi, orangnya berperangai kasar, memerintah dengan keras, bahkan sebagai mitra bisnis, wakil kompeni itu cenderung menjarah.
Tun Ali Haji sangat geram dengan perangai Utimuraja. Pembesar kerajaan ini tahu betul seluk-beluk pikiran dan perasaan penjilat itu. Sudah lama Ali Haji mengetahui bahwa Utimuraja adalah pengkhianat, tetapi Beliau tak punya bukti kuat untuk membeberkannya. Lagi pula, Sultan tidak akan mudah percaya cerita tak elok tentang Utimuraja. Selain pengusaha kaya, Utimuraja adalah tangan kanan Sultan.
”Perkenankan Hamba mengingatkan, Tuanku. Sultan harus banyak arifnya. Di dalam tinggi, ia rendah. Sultan harus banyak tahunya. Tahu tegak pada layaknya. Sultan harus banyak bijaknya. Bijak menimbang sama berat. Ampun, Tuanku,” penasihat Sultan, Ali Haji menyusun jari sepuluh.
”Ampun, Tuanku. Pada hemat Hamba, tak patut Tun Ali Haji bertutur demikian. Kurang arif apalagi Tuanku. Kurang bijak apalagi Tuanku. Kurang tahu apalagi Tuanku. Tuanku tentu sudah mempertimbangkan segalanya dengan kekuasaan Tuanku. Sekali lagi, Hamba siap sedia menyokong keputusan Tuanku,” hujah Utimuraja bergelora mengampu Sultan.
Meskipun nampak tenang, muka Sultan cerah memandang Utimuraja dan masam memandang Tun Ali Haji.
Panglima besar, Raja Ismail memendam geram kepada Utimuraja.
”Penjilat dan pengkhianat,” gumamnya dengan gemuruh di dada.
”Ampun, Tuanku. Hemat Patik, Tun Ali Haji itu benar. Pemimpin mestilah cerdik, bukan licik. Cerdiklah dengan adat sebenar adat, Tuanku. Utimaraja ini hanya mementingkan keuntungan pribadinya,” telunjuk Raja Ismail menuding muka pengkhianat itu.
Tulisan Terkait
Berita Lainnya
Utimaraja salah tingkah. Mukanya merah padam. Dia terduduk sambil memendam geram dan dendam. Rahang pada wajahnya mengeras. Kepal tangannya mengerat. Hati dan otaknya berkecamuk remuk. Raja Ismail dan Tun Ali Haji yang telah lama memendam geram membaca gerak-gerik pengkhianat itu.
”Tuanku mestilah ingat, pengkhianat itu selalu datang dari orang terdekat,” Panglima besar mengingatkan Sultan dengan keberanian karena kebenaran. Semua mata membelalak ke arah Raja Ismail, termasuk Sultan. Balai kerapatan kerajaan diselimut gerah. Raja Ismail tetap tenang menghadapi tusukan mata di balai itu. Mukanya tetap menyinarkan ketabahan tanpa takut.
Tiba-tiba saja, beberapa hulubalang istana berpusu-pusu menghadap Sultan. Semua yang hadir di Balai kerapatan kerajaan terkejut dengan kehadiran hulubalang istana.
”Ampun, Tuanku. Patik ingin menyampaikan kabar penting,” suara hulubalang itu tercungap-cungap.
”Kabar penting apa, Wahai Hulubalang?” Sultan mencoba tenang.
”Ampun, Tuanku. Rakyat Rempang tak bersedia dipindahkan. Mereka rela mati daripada hidup bertekuk lutut.”
Sultan heran sambil memandang Utimuraja. Utimuraja tercengang. Wajah Tun Ali Haji dan Raja Ismail bersinar-sinar.
”Ampun, Tuanku, biar orang-orang Hamba yang meluncaskan rakyat Rempang,” tiba-tiba Utimuraja menyela. ”Bagaimana pandangan Panglima Raja Ismail? Bukankah Tuan Hamba yang seharusnya menyelesaikan tugas ini,” sambung Utimaraja.
”Waspada mulutmu, Tuan Hamba. Mulutmu harimaumu. Ini adalah siasatmu. Mana mungkin Hamba berkhianat dengan rakyat sendiri. Tidak rela Hamba menyakiti rakyat Rempang,” tegas Raja Ismail.
”Tuanku, Hamba segera menyelesaikan masalah ini,” Utimuraja membalikkan badannya dan terus keluar untuk mempersiapkan orang suruhannya.
Tubuh Utimuraja hilang dari pandangan. Tun Ali Haji dan Raja Ismail berkali-kali mengingatkan Sultan agar tidak terlalu percaya dengan Utimuraja. Mereka dan beberapa pembesar istana lainnya pun mengusulkan agar Sultan segera membatalkan keinginan Utimuraja untuk meluncaskan rakyat Rempang yang tak mau dipindahkan. Sultan hanya diam. Balai kerapatan kerajaan hening. Semua bersurai.
Rakyat marah. Di luar istana, suara-suara menggema. Hampir semua masyarakat pulau di kerajaan itu membangkang terhadap keputusan Sultan melalui Utimuraja untuk segera pindah dari kampung halaman mereka. Dari berbagai arah, rakyat bergerak bersama menyuarakan ketidaksetujuan mereka terhadap keinginan kerajaan. Sebelum bergerak, Laksamana Megat telah berjumpa dengan Tun Ali Haji dan Raja Ismail.
”Kali ini, anak Bentan mesti mendurhaka, Datuk. Raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah,” wajah gahar Megat penuh murka.
”Maut jangan ditempa, ajal jangan dicari,” timpal Tun Ali Haji.
”Hamba beri susu dibalas dengan tuba,” sanggah Megat.
”Kita hidup mestilah bersabar,” sanggah Raja Ismail pula.
”Bukan masanya hendak bersabar, Datuk. Harapkan pagar, pagar makan tanaman. Harapkan sokong, rupanya sokong pembawa rebah,” Megat semakin murka.
”Suatu perbuatan hendaklah dengan perhitungan, Datuk,” Raja Ismail mengingatkan lagi.
”Alang-alang menyeluk pekasam biar sampai ke pangkal lengan. Alang-alang mandi biarlah basah,” Jebat yang dari tadi diam saja, kini sudah tak tahan lagi dengan ketidakadilan. Selain Megat, Jebat pun sangat murka dengan Utimuraja.
”Jika Datuk berdua tidak hendak berjuang bersama, jangan halangi Hamba dan Megat mengamok demi keadilan. Kami ini anak Bentan mestilah mengamok, Datuk,” suara Jebat menggegarkan ruangan rumah Datuk Tun Ali Haji.
”Selamat tinggal, Datuk,” Megat bergegas melangkah gagah bersama Jebat.
Di jembatan Rempang, Utimuraja dan ribuan pasukannya sudah tiba. Mereka bergerak hendak meluncaskan kampung pasukan pertikaman keramat. Entah kekuatan dari mana yang telah menyerukan kebangkitan Megat dan Jebat. Tiba-tiba saja mereka berdua muncul di kampung ini ketika air mata rakyat diperas ketidakadilan. Untung saja pergerakan pasukan Utimuraja dihalangi oleh rakyat yang sudah siap mati. Megat mencari Utimuraja.
”Di mana kau, Utimuraja. Dasar pengkhianat pengecut. Keluar! Hadapi aku di tengah-tengah jembatan ini,” Megat menyergah garang.
”Kalian jangan maju dan jangan ikut jadi pengkhianat. Ini semua ulah Utimuraja yang ingin menggunting dalam lipatan. Dia ingin mengelabui Sultan dan telah berkongsi dengan penjajah,” Jebat menghalangi pasukan Utimuraja.
”Hei, Utimuraja, hadapi Hamba jika memang satria,” suara Megat menggaung.
Dari celah-celah pasukannya, Utimuraja muncul. Mukanya garang.
”Kita berjumpa lagi. Jangan katakan Tuan lupa dengan Hamba. Hari ini, kita tuntaskan dendam silam yang belum selesai. Tuan tentu tidak menyangka kalau Hamba dan Jebat hadir membela rakyat,” sergah Megat.
Angin mulai bertiup kencang. Badai sepertinya segera datang. Awan hitam bergulung dari arah Timur jembatan. Laut Rempang mulai bergelora. Pepohonan di sisi kanan dan kiri jalan bergoyang kencang bagai gelora marah di hati Megat dan Jebat. Pertikaman Megat dan Utimuraja tidak terelakkan. Megat dan Utimuraja saling serang, saling mengelak, dan saling menangkis. Mereka bertikam dalam hujan. Jebat melemparkan Tamingsari dan disambut oleh Megat untuk menumpaskan Utimuraja. Dengan gerak silat yang gagah dan permainan keris yang cakap, akhirnya Utimuraja tak mampu mengelak. Tamingsari menumpahkan darah Utimuraja di sepanjang jembatan Rempang. Kilat bersabung. Badai pun reda.
Alhamdulillah.
Bengkalis, Sabtu, 28 Rabiul Awal 1445 / 14 Oktober 2023
Musa Ismail lahir di Karimun, 14 Maret 1971. Beliau menulis cerpen, puisi, esai, dan novel. Hingga kini, baru 13 karyanya yang sudah dibukukan. Pernah meraih Anugerah Sagang kategori buku pilihan pada 2010. Meraih penghargaan dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Riau pada 2012 kategori Seniman Pemangku Prestasi Seni.