

1. Kesetiaan dalam puisi dunia yang mendudu
Penelaahan bermula dari yang manis-manis menuju yang pahit-pahit. Berawal dari kesediaan Iyut mengungkapkan tentang kesetiaan menunggu sesuatu dalam karyanya berikut.
berulangkali ditinggal ia terus menunggu
masih pantaskah untuk bertemu
musim demi musim berlari
semenjak kekanak bergayut di dada ibu
bermain hujan dan layang-layang
ketapel juga sepak tekong
lalu terdengar suara azan dari surau kayu
di sebelah rumah yang pohonnya tak lagi berbuah
pohon-pohon yang kemudian ditebang dan dilelang
antara kenang itu ia mencarimu
“berulang kali ia mengirim surat
berulang ia dilupakan
pada dunia yang berpacu segala lebih mendudu.”
ia baca kalimat tersebut di dinding rumah yang mungkin tak dikenal lagi
warnanya
di dalam musim bertumpuk
kini ia mencarimu di taman-taman kota
taman kota entah lengang entah jalang
jalang gelisah dan cemas
juga di surau kayu yang telah lama rubuh
berkali-kali runtuh waktu
masih pantaskah ia menunggu?
Iyut memilih diksi ‘menunggu’ tidak kata menanti. Jika dirujuk pada makna kamus, maka kata menunggu adalah pekerjaan pasti. Hal yang ditunggu itu sesuatu yang pasti akan datang. Berbeda dengan kata menanti, dalam artian sebuah pekerjaan yang tidak pasti apakah datang atau tidaknya. Pemilihan diksi menunggu sangat tepat dalam puisi tersebut. Meskipun pada dasarnya ia berulang kali ditinggalkan, ia terus menunggu karena ia yakin sesuatu yang meninggalkan itu pasti akan datang kepadanya.
Persoalan ini selalu terjadi pada kehidupan seorang perempuan. Puisi ini mengingatkan pada kisah seorang sahabat yang masih sangat setia pada suaminya. Bertahun-tahun suaminya telah meninggalkannya bersama buah hatinya karena panggilan Illahi. Ia tetap sabar menunggu. Banyak lelaki yang datang untuk meminang, tak sedikit pun ia memberi ruang. Seakan-akan pintu hatinya sudah tertutup. Ia fokus menyibukkan diri melakukan banyak kebaikan, hanya untuk melayakkan diri bergandingan dengan suaminya di Surga. Tak jarang ia mengajukan pertanyaan “Apakah abang sudah bersama bidadari ya?” Jawaban untuk pertanyaan ini mestilah merujuk sabda Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, Shahih menurut Al-Albani yang artinya “Wanita-wanita dunia yang shalihah lebih utama daripada bidadari-bidadari surga…”
Bait kedua puisi ini juga rilet dengan kehidupan teman saya yang kini jauh diperantauan. Kondisinya cintanya lebih padat dari sahabat itu. Suaminya pernah jaya, di waktu mudanya. Kejayaan itu membuat ia berubah haluan meskipun berada dalam satu kapal. Berkali-kali ia diselingkuhi, tetap ia setia. Ia selalu sabar dengan bayangan luka yang setiap hari menggenangnya. Cintanya tetap subur meskipun suaminya sudah Allah jemput. Semua kesalahan hilang, yang tampak hanyalah kebaikan suaminya. Ia terus memperbaiki diri dan menolak semua cinta yang datang.
Merujuk dari puisi yang rilet dengan sahabat dan teman ini, muncullah sebuah pertanyaan apakah layak mereka menunggu sesuatu yang sudah kembali pada Tuhannya? Banyak jawaban yang mungkin timbul. Satu dari sekian itu adalah ‘layak’. Cinta sejati tidak dapat dipisahkan oleh jarak dan waktu. Bahkan kematian pun tak mampu mencincang tali yang tersambung antara dua insan yang berkasih. Justru orang yang ditinggalkan akan semangat mencintai dengan terus memperbaiki diri untuk memenuhi janji Tuhan “Perempuan-perempuan yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk perempuan-perempuan yang keji (pula), dan perempuan-perempuan yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk perempuan-perempuan yang baik (pula)” (QS. An-Nur: 26)
2. Keangkuhan Penguasa yang Tersuruk dalam Puisi arah pulang
Penjelajahan makna ini bermula dari puisi yang berjudul ‘arah pulang’. berdasarkan perenungan mendalam lahir sebuah peringatan akan pentingnya pertanyaan ‘hidup ini mau dibawa kemana? Dari mana kita berasal? dan kemana kita akan Pulang? Peringatan ini muncul pada cuplikan puisi berikut.
jalan riuh. kota melenguh
gulungan lengang tiba-tiba
ia berjalan bimbang. lalu tertegun
menatap lampu-lampu
tiang-tiang cahaya
kemana arah pulang?
waktu hanyut seiring usia
menenggelamkan langkah-langkah cecer. berdepa depa
“berhimpun-himpun derita
derita manis dunia
tumpah pada hari-hari bara.”
mungkin ia catat ucap seorang beroman murung. entah siapa
para pemburu
serigala yang merasa tak pernah tersesat
bergerak dengan kepala tegak
di jalanan riuh
di kota melenguh
menabur luka demi luka.
ia, seseorang entah siapa. mungkin terus mencatatnya
Makna tersurat yang diceritakan Iyut dalam bait pertama tentang sepenggal kehidupan manusia. Lazimnya seseorang yang hidup di dunia ini, terkadang bingung dengan hidupnya. Saat manusia itu galau maka ia rentan terpengaruh pada hal positif, apalagi yang negatif. Saat ia tertegun menatap lampu-lampu, tiang-tiang cahaya bisa diterjemahkan sebagai seseorang yang terpesona dan terbuai dengan kemilaunya dunia yang mengakibatkan ia bingung kemana arah jalan pulang. Pernyataan ini bisa juga ditujukan pada orang yang berpengaruh pada praktik buruk dalam kehidupan, membuatnya tersesat hingga tumbuh penyesalan pada dirinya, dan ingin kembali kepada Tuhannya tapi sudah tidak tau jalan atau caranya untuk bertobat.
Iyut secara tersirat pada puisi ini mengingatkan pembaca untuk tetap berhati-hati pada praktik buruk yang tak kasat mata. Sebut saja, sifat sombong dan angkuh yang tumbuh dalam hati seseorang, sangat sulit untuk dihapus. Makna tersirat dari para pemburu adalah penguasa. Serigala juga diibaratkan penguasa. Serigala yang merasa tak pernah tersesat juga bisa ditujukan pada penguasa yang tak pernah merasa tersesat. Ada banyak pemburu, bahkan berkelompok-kelompok seperti kawanan serigala. Sesama pemburu saling baku hantam, namun mereka tidak pernah merasa tersesat. Merekaa akan selalu merasa benar. Di sini Iyut mencoba mengungkapkan bahwa perbuatan memburu hingga mematikan biasanya dilakukan oleh penguasa yang paham dengan daerah kekuasaannya.
Hal terpenting dalam mengambil hikmah dari puisi ini adalah makna tersuruknya. Bait ketiga yang ditulis Iyut ini rilet dengan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini. Perenungan panjang penyair ini memuncahkan kenyataan yang terjadi saat ini. Selain itu, goresan tangan Iyut pada bait ketiga ini bisa dianalogikan pada penguasa yang angkuh dan sombong dengan jabatannya, mengucapkan kata-kata yang menyinggung hati masyarakat. Muncullah demo yang berjilid-jilid. Memang ada saja yang mengendarai kejadian penjarahan tersebut baik secara kasat mata. Tetapi akibat mempertahankan kesombongannya, maka manusia akan menerima padanya. Aib yang mati-matian disembunyikan tersimbah ke permukaan. Bukan hanya sekedar jadi jadi tontonan, tetapi jadi buah bibir, bahan tertawaan, bahan candaan dan banyak praktik buruk lainnya yang tak terlupakan dan catatan digital. Hal ini membuktikan akibat dari seseorang yang bersikap angkuh dan sombong. Orang yang terjebak dengan sifat ini susah untuk menemukan ‘arah pulang’. Hanya kematian saja yang bisa memutus rantai kesombongan dan keangkuhan seseorang.
3. Ketidakstabilan dan Krisis Sosial-Ekologis dalam puisi tanah goyah
kabut asap dan udara hitam yang dikirim itu
sudah biasa memeluk tubuhnya
setelah tanah, asal, bukit-bukit, dan pohon tinggal nama
ia kini adalah burung dengan sayap sebelah
burung berparu arang
mencari tempat hinggap ketika embun tak lagi turun
matahari kalah
dibalik masker yang angit. sesak dan pengap
ia rintihkan doa doa di antara sengal napas
diantara tabur beragam tuba
gelombang banjir berpulun yang dikirim itu
sudah biasa tiba di beranda
sedangkan tenang tumbuh tak jadi, ini bah lapar bergulung
ia kini adalah ungguk puing berbaju lecau
puing bertimbun basah
menunggu matahari
dalam doa terkurung murung
ia lihat rumah-rumah hanyut
hanyut pula sawah sawah
ia kini adalah tanah yang goyah setiap di pijak
Membaca judul kumpulan puisi ini saja langsung mengarahkan kita kepada teriakan-teriakan orang tak berdaya. Kata dengung adalah bunyi yang menggema, juga dikenal dengan istilah menggaung. Bunyi ini biasanya terjadi terus menerus seperti suara mesin, lebah, dan bunyi nyaring lainnya. Dengung biasanya menyusup di telinga. Telinga berdengung, sebagai tanda Rasulullah merindukan hambanya. Ketika tanpa sengaja air masuk ke telinga, maka bunyi dengung juga terdengar. Itu semua makna secara tersurat dari kata dengung dalam judul kumpulan puisi ini. Secara tersirat dengung diartikan sebagai simbol ancaman, ketidak tenangan, atau peringatan yang samar-samar. Jika dengungan itu tidak segera ditangani oleh orang yang berkewajiban menyelesaikannya, maka akan melahirkan teriakan, kemarahan dan ketidak stabilan emosi.
Kata kedua dalam judul adalah tanah. Secara tersurat atau konkret tanah adalah unsur bumi. Secara tersirat dalam istilah kultural tanah diartikan sebagai identitas sebuah bangsa. Secara tersuruk ia menjadi simbol kehidupan, penderitaan, atau krisis. Tanah sebagai asal usul atau identitas yang kita kenal dengan istilah tempat asal, kampung halaman. Tanah bukan hanya asal muasal manusia diciptakan, tetapi tanah juga merupakan tempat berpijak bagi manusia. Tanah dalam konsep religiusitas karya sastra banyak digunakan sebagai tempat berpulang. Tanah menjadi benda penting dalam kehidupan manusia yang harus dimiliki, dimanfaatkan dan dijaga untuk kelangsungan keturunan. Ia menunjukan kepemilikan sekaligus melekat padanya kekuasaan atau status manusia.
Kata ketiga dari judul tersebut adalah goyah, yang merupakan satu kata sifat. Kata ini dimaknai sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak stabil, atau tidak kokoh. Goyah dihubungkan dengan pendirian, berarti seseorang yang tidak teguh pendiriannya, mudah terhasut dan terpengaruh oleh orang lain. Selanjutnya goyah juga sering menunjukkan krisis mental atau emosional yang bisa diartikan tidak kuat secara batin. Goyah dalam istilah agama merujuk pada kondisi yang butuh perhatian serius, karena timbulnya keraguan, kehilangan kepercayaan diri dalam keimanan. Dalam istilah politik goyah menggambarkan merujuk pada sistem pemerintahan, negara, atau kepemimpinan yang tidak stabil.
Kata tanah dan goyah disatukan menjadi frasa tanah goyah menumbuhkan makna simbolik yang banyak terjadi di lingkungan sekitar. Frase “tanah goyah” melambangkan kondisi darurat atau krisis-baik. Secara ekologi, diartikan sebagai krisis lingkungan, politik, maupun sosial. Tanah yang dulu dianggap stabil kini goyah, bisa secara literal maupun kiasan. Secara tersurat tanah goyah adalah tanah yang secara fisik tidak stabil seperti, longsor, retak, dan hancur serta tergerus. Selain itu bisa dimaknai sebagai negara yang sedang mengalami krisis moral yang nilai-nilai luhurnya lulai luntur bahkan tercabut. Selain itu ini juga bisa diartikan sebagai fondasi kehidupan yang rapuh (krisis eksistensial) dan kehilangan tempat berpijak secara spiritual maupun fisik. Ketidakstabilan inilah yang memulai munculnya dengung. Artinya ketidakstabilan ini menjadi pemicu perpecahan di sebuah negara.
4. Kesenjangan antara Harapan Kenyataan dalam puisi negeri berpagar rimbun
setiap berjalan. simpang-simpang membelintang
kebimbnagn tebal bagai selimut
bagai duka tiada surut
menidurkan ragu
tapi perjalanan bukan tentang berhenti
karena rasa selalu ingin sampai
serupa angan terus menggamit-gapai
selalu ia bayangkan sebuah negeri berpagar rimbun
berpagar damai dalam pantun
“sudah masak padi di sawah, padi di ladang menguning pula.”
rasian saja rupanya. jauh tak terjuluk tangan
kelam bersibak malam
simpang-simpang membelintang di depan
gemuruh bagai langit pecah
bagai pekik damai tak sampai-sampai
musibah dan bencana. lagu perang demi segala kuasa
tapi langkah diayun bukan untuk menyerah
selagi badan di kalang, mungkin-mungkin akan terus datang
datanglah hari terang-benderang
“ladang tebu menyentak ruas
pisang berdukung di tandannya.”
sekadar pepatah lama. sampai pada sampiran saja
bulan dilukis hitam
negeri dalam angan-angan
ia hanya membayangkan
Makna mulai ditelaah pada baris selalu ia bayangkan sebuah negeri berpagar rimbun. Iyut dalam baris ini membayangkan sebuah negeri yang dipagari oleh rimbunnya pepohonan atau alam. Makna kiasan yang timbul adalah negeri ideal yang tenang, subur, alami, tertutup dari kekacauan luar atau sebuah utopia yang hidup dalam bayangan dan harapan. Kata “rimbun” memberi kesan damai, aman, terlindung. Tidak tertutup kemungkinan juga menyiratkan sesuatu yang tertutup atau tidak terlihat jelas.
Iyut juga menginginkan negeri yang berpagar damai dalam pantun artinya negeri itu tidak hanya dipagari oleh alam, tapi juga oleh pantun, yang merupakan simbol budaya, tradisi lisan, dan kedamaian masyarakat lama. Pantun yang mengandung hikmah dan petunjuk arah bagi manusia untuk melakukan kebaikan dan menjauhkan diri dari keburukan. Pantun sebagai simbol kesopanan dan nilai dalam adat istiadat Melayu. Iyut menghendaki negeri itu dijaga oleh nilai-nilai kultural dan kesopanan, seperti yang ditemukan dalam adat dan sastra lisan Melayu-Minangkabau. Kehendak ini muncul dari kerinduan pada masa lalu atau tatanan budaya yang dulu dianggap damai.
Iyut dalam baris ‘sudah masak padi di sawah, padi di ladang menguning pula’ menginginkan kemakmuran bagi masyarakat karena adanya keteraturan musim. Hal ini dibuktikan dengan hasil tani yang melimpah. Secara budaya baris ini menggambarkan kondisi ideal masyarakat agraris yang makmur, damai, dan penuh berkah. Mereka tenang karena ada hasil panen yang bisa dinikmati dan dibagi kepada orang-orang yang membutuhkan. Hasil panen melimpah bisa didapat jika ketersediaan pupuk itu terjamin. Persoalan pupun kembali lagi ke urusan negara. Hasil tani juga, akan berharga tinggi jika dikelola oleh orang yang jelas. Tapi penempatan bait ini sebagai kutipan menunjukkan itu hanya memori atau gambaran, bukan realitas.
Baris ‘rasian saja rupanya’ dapat diartikan ternyata hanya rahasia, angan-angan belaka. Jauh tak terjuluk tangan merupakan gambaran bahwa negeri itu tak tergapai, kekuasaan tidak mudah dipegang oleh rakyat kecil. Negeri yang idealis idealisme itu mustahil dijangkau. Makna: Negeri damai yang dibayangkan itu ternyata hanyalah mimpi. Dalam kenyataannya, ia tak bisa diraih—seperti khayalan akan masa lalu yang sudah hilang.
Kelam bersibak malam merupakan larik yang menggambarkan suasana yang suram. Sementara itu kelam dan malam sama-sama mewakili ketidakpastian, kegelapan, dan ketakutan. Frase Bersibak malam bermakna sebagai malam yang terbelah oleh kelam, atau bahwa malam itu sendiri penuh kegelapan tambahan. Hal ini menegaskan realitas yang dihadapi penuh kekacauan dan jauh dari harapan.
Iyut menulis puisi yang sangat kuat dalam membangun kontras antara harapan dan kenyataan. Ia membahayakan negeri damai hanyalah sebuah rasa rindu terhadap dunia yang hilang. Gambaran nyata dalam puisi ini adalah kerinduan penyair terhadap negeri ideal, penuh damai, subur, dan beradab tetapi sayangnya, negeri itu hanya hidup dalam bayangan dan puisi, tidak nyata di dunia yang sekarang gelap dan penuh kekacauan. Dunia yang dulu mungkin ada, berubah ganas dengan bergantinya penguas. Selain itu bisa saja negeri yang rimbun ini hanya ada dalam angan, atau bahkan menjadi doa.
5. Makna dan Kata dalam Puisi bagi penyair
Sebagai penyair Iyut mencoba merenung dan menyadari betapa pentingnya penekanan makna dalam sebuah karya sastra. Hal ini terbangun dalam puisi berikut.
ia bagai penyair mencemaskan kata-kata
kata terjalin indah tapi lupa pada pedih
hari memucat
menggigil dalam rima palsu
melambungkan mimpi di antara diksi-diksi basi
di antara bangkai-bangkai kelaparan
di hamparan cakrawala angin silang siur. awan kabut
berarak sendu
lalu hujan si sekujur bumi
kata mana mampu mengguyur sejuk selain air mata?
ia bagai penyair mabuk sanjung puja
diemparan beberapa orang melempar langit
larik-larik haru. bulan tak jatuh
nasib se makin lintuh
bait demi bait hanya barisan luka belungguk
serupa kata-kata lupa cara berdoa
ia bagai penyair tenggelam oleh bahasa
bahasa hilang muka
muka topeng seribu
harapan, impian cita-cita
hancur berkeping makna
ia bagai penyair yang tak bisa berbuat apa-apa
menghanyutkan kata demi kata
ke sungai-sungai tak bernama
Tidak semua karya sastra yang diciptakan itu syarat makna. Ada karya sastra yang tampak bagus dengan pilihan kata yang indah, tetapi maknanya jadi kalah. Sebuah karya sastra dibangun dengan dasar menyampaikan hikmah kepada pembacanya. Artinya, setiap orang yang membaca sebuah karya sastra dapat mengambil pelajaran dari persoalan yang dibicarakan dalam karya tersebut.
Penyair menjadi gerbang terakhir untuk kemerdekaan berpendapat sebuah bangsa. Penyair bisa dengan leluasa menyuarakan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa dengan menggunakan lambang bahasa. Untuk itu penyair harus bisa sekuat tenaga memecahkan persoalan tertentu, agar lantang penanya tidak menjerumuskan ia ke jeruji besi. Tidak dapat dipungkiri, manipulasi kata terkadang menenggelamkan makna bagi pembaca. Apa yang dicemaskan Iyut dalam Sesuai dengan baris pertama. Supaya kata-kata yang terlahir dari pena penyair itu bermakna, maka mereka perlu merenung menatap langit malam dan menemukan kalimat dalam cahaya bintang, tapi tak sanggup menuliskannya. Jika penyair kehabisan kata-kata, bukan bukan berarti puisinya telah mati. Jadi mereka tidak perlu memaksakan diri untuk mengeluarkan kata-kata untuk memenuhi tuntutan kuota sastra yang ada. Penyair perlu menyadari bahwa kata-kata kadang bersembunyi di balik luka yang belum selesai dimaknai. Ketika penyair memilih diam, bukan karena tak punya cerita. Biasanya dadanya sudah penuh dengan dunia, hingga tak tau mana yang harus dikeluarkan. Bisa jadi pikiran mereka penuh aksara. Proses perenungan untuk menyampaikan luka dan duka, karena cerita tidak mudah untuk diringkas dalam aksara.
Ucapan terima kasih untuk Zulfitra yang sangat dikenal dengan nama pena Iyut Fitra. Ia merupakan sastra kelahiran Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat pada 6 Februari 1968. Pekerjaan lelaki berdarah minang ini adalah penulis puisi,penyair; pendiri Komunitas Seni “Intro” di Payakumbuh. Banyak karya-karya yang telah dihasilkan usim Retak (2006); Dongeng-Dongeng Tua (2009); Beri Aku Malam (2012); Baromban (2016); Lelaki dan Tangkai Sapu (2017); Mencari Jalan Mendaki (2018); Sinama (2020); Kepadamu Kami Bicara (2022); Dengung Tanah Goyah (2024). melalui buku Mencari Jalan Mendaki ia memperoleh penghargaan Buku Terbaik bidang puisi dari Perpustakaan Nasional RI (2019. Selain itu pria berperawakan tenang ini juga pernah menerima Penghargaan Sastra dari Kemendikbud RI untuk buku Lelaki dan Tangkai Sapu (2020) di tahun 2022 ia menerima Anugerah Payakumbuh Award Kategori Tokoh Seni & Budaya. Beliau Aktif dalam komunitas sastra; sering terlibat dalam workshop, festival sastra; komunitas Intro Payakumbuh sebagai wadah pengembangan dan apresiasi puisi.
* Roziah, FKIP UIR, roziah@edu.uir.ac.id
** Disampaikan pada acara Bincang Buku Sastra #4 Dengung Tanah Goyah oleh Suku Seni Riau tanggal 23 September 2025