

Kita pernah menjadi asing di negeri sendiri. Kala perebutan ladang minyak di bumi bertuah ini. Banyak pihak yang berdatangan untuk menikmati manisnya anggukan sumur minyak. Dinamika kehidupan antara pribumi dan pendatang mengalami pasang surut dalam proses harmonisasi. Konsekuensi proses berinteraksi pun mengalami berbagai pernik persilangan budaya. Dinamika itu terkadang menjadi ide dari berbagai kalangan untuk menuangkannya dalam berbagai medium. Salah satunya monolog.
Monolog “Otobiografi Riuh” mengangkat tema keterasingan pribumi dengan datangnya orang asing karena ladang minyak ditulis dengan apik oleh Fedli Azis. Beliau menggunakan gaya bahasa yang puitis dan emosional, menciptakan imaji yang kuat dan menyentuh. Penggunaan metafora seperti “sangkar emas” untuk menggambarkan keterikatan pada adat istiadat sangat efektif dalam menyampaikan perasaan terjebak dan kehilangan kebebasan. Kalimat-kalimatnya sering kali panjang dan berbelit, menciptakan nuansa melankolis yang sesuai dengan tema kesedihan dan penyesalan yang mendalam.
Monolog ini menampilkan konflik internal yang dialami oleh tokoh utama, Riuh. Dia menghadapi kesulitan dalam hubungannya dengan suaminya, Cal, dan juga dengan lingkungan sosialnya. Riuh diposisikan sebagai seorang perempuan yang dibesarkan dalam keluarga berada dengan aturan yang ketat, tetapi dia menemukan dirinya terkurung dalam sangkar adat istiadat. Di sisi lain, dia juga menghadapi kekecewaan dalam pernikahannya dengan Cal, yang tampaknya tidak memahami atau menghormati budayanya.
Konflik internal Riuh sangat menonjol, di mana dia berjuang antara cinta dan rasa sakit akibat pengkhianatan. Dialog internalnya menunjukkan kerinduan akan masa lalu yang bahagia, namun juga kemarahan terhadap situasi saat ini. Ini memberikan kedalaman karakter yang membuat pembaca dapat merasakan penderitaannya.
Struktur naratif monolog ini mengikuti alur flashback, di mana Riuh merenungkan masa lalu sambil menghadapi kenyataan pahit di masa kini. Pendekatan ini memungkinkan pembaca untuk memahami perjalanan emosional Riuh secara lebih mendalam. Namun, terkadang alur cerita terasa terlalu lambat karena panjangnya deskripsi dan refleksi, sehingga bisa mengurangi ketegangan dramatis.
Karya ini juga mengandung kritik tajam terhadap norma-norma patriarki dan kolonialisme. Riuh tidak hanya berjuang melawan suaminya tetapi juga melawan warisan budaya yang mengekang perempuan. Pernyataan-pernyataan tentang kekerasan simbolis dan fisik yang dialaminya mencerminkan realitas banyak perempuan dalam masyarakat patriarkal.
Penggambaran Cal sebagai sosok yang egois dan manipulatif memperkuat kritik terhadap laki-laki yang memanfaatkan posisi mereka dalam hubungan. Riuh menyebutnya sebagai “perompak,” sebuah istilah yang menekankan pengambilan paksa atas hak-haknya sebagai istri.
Secara keseluruhan, “Otobiografi Riuh” adalah sebuah karya yang kuat dengan penggambaran emosi yang mendalam serta kritik sosial yang tajam. Fedli Azis berhasil menciptakan karakter Riuh yang kompleks dan relatable, menggambarkan perjuangan perempuan dalam menghadapi konflik budaya dan gender. Meskipun ada beberapa bagian yang mungkin terasa berlarut-larut, kekuatan naratif dan gaya bahasa membuat monolog ini menjadi sebuah karya sastra yang patut diperhatikan dalam konteks diskusi tentang gender dan identitas budaya.
Pekanbaru, 21/10/2024