

Yang belum pernah kena tampar mari mendekat.
Tidak perlu dibayangkan, sudah jadi perbincangan publik bahwa sekali tampar bisa dapat duit. Ada yang mau ditampar dan ada yang tidak, tergantung motifnya.
Bukan sekali dua kali, sering bahkan bertubi-tubi, kiri-kanan, kiri-kanan tamparan maut mendarat ke pipi. Bikin takut anak-anak sekarang saja, akibat ditakut-takuti oleh orang-orang terdahulu yang takut dengan komitmen pertamparan.
Selagi sepakat dengan sebab akibat, bekas jari di sekujur tubuh hanya bikin sakit biologis, sedang psikis menulis puisi di alam angin dengan tajuk dan bait-bait nyentrik, ragam majas, pujian, peringatan sampai sindiran membuat bahu kian tersandar.
Disiplin Asrama butuh aneka perencanaan dengan ragam metode bidik dalam mendidik, agar ke depan tidak gampang terbidik jadi budak warna-warni bendera, apalagi dengan gampangnya menjadikan diri sebagai bandara, tempat mendaratnya aneka pesawat anekdot.
Cukuplah bekas lima jari mendarat di lingkungan hidup dua puluh empat jam, meski kadang sedikit memar, tapi tamparan maut tidak mematikan, hanya membuat diam, tidak bergerak, rusak bahkan hilang bibit-bibit perusak masa depan diri Bangsa dan Negara.
Di zaman anti kekerasan, tamparan maut pindah landasan tuk mendarat, namun tembakan mainan masih laku jual, konsep rakitan mematikan juga laris manis, malahan berlaku dalam pertempuran yang justru tidak diawali dengan pertamparan. Pesawat mendaratkan peluru saja tanpa bandara juga masih laris jadi tontonan.
Mantab, seperti menonton film laga. Untung saja pesawat tidak dibuat tangan dan kaki. Nanggung, muka dan perasaan sekalian biar tidak nanggung interpretasi dan bedah rasa besi terbang itu.
Tamparan maut, kini bertampar sebelah tangan. Untung udara tidak bilang aduh atau au saja, beradu, lalu-lalang sampai ke mana-mana berubah nama jadi angin.
Timur, barat, selatan, Utara hingga tenggara, daya dan kerabat lintas arah.
Bengkalis, 26 November 2023