

Surat kecil buat Abah dan Emak
Angin telah mengeja pesan di daun jendela yang terbuka waktu itu
jendela rumah kita yang menghadap ke laut lepas.
Pasir putih dengan karang-karang kecil di tepi pantai menebar aroma asin yang khas
masih sangat terasa sensasinya
serpihan bunga karang dan sarang siput yang terbawa gelombang terdampar di tepi pantai
aku dan adik-adik suka memungutnya kala senja tiba, mengumpulnya untuk jadi mainan sehabis mengaji di ruang tengah rumah kita
Masa itu, kau beritakan tentang
pesan-pesan sakral yang diukir dengan jiwa dan hatimu, di langit rumah kita.
lewat nenek yang bercerita tentang Baitullah yang dipuja.
lewat atok yang meng-iya
bahwa kita harus punya mimpi yang sama, menjejak di tanah-Nya
menjadi tamu-Nya di tanah suci surgawi, Mekkah Mukarramah jannah dalam berkah
Cerita yang sering berulang ketika 10 Zulhijah tiba.
Menggenang air mata di kelopaknya
kau mengiba dalam doa ingin terpanggil ke sana
bukan hanya sekadar pinta dalam cerita, tapi mimpi yang jadi nyata
Potret buram kapal Gunung Jati tergantung sakral di atas jendela ruang tamu rumah papan kita
Potret agung yang terpajang, tak pernah tergeserkan oleh lukisan maestro tersohor yang pernah ada
Potret usang itu, aku lupa kapan adanya
Bahkan sebelum kulahir, mungkin sudah terpajang agung di sana.
“Nek dan atokmu, 3 bulan naik kapal ini menuju Baitullah. Abah dan Emak juga akan ke sana. Kelak, suatu ketika.”
Itu mimpimu di masa kecilku,
Suara jiwa di antara deru ombak pantai dekat rumah kita
Dalam derit daun-daun nyiur yang melambai mengikuti arah angin.
Kau menatapku dan adik-adikku yang sedang duduk besila sehabis menderas kalam illahi.
Rotan kecil bersahaja yang selalu di tanganmu, terletak diam di sisi lipatan sila kakimu.
Berpasang-pasang mata kami menatap sekilas penuh damai.
Rotan kecil itu berehat dengan nyaman di sana.
Ciut nyali pun seakan sirna entah ke mana.
Kala itu, kau sematkan pesan di dada kami tentang kisah relegi nek dan atok berhaji.
Berbulan-bulan dan berhari-hari menjadi kisah relegi yang menginspirasi.
Hingga akhirnya kau tunaikan niat suci, merengkuh Baitullah, mengelilingi Ka’bah menyempurnakan iman islami
Sekian belas tahun sudah,
tidak lagi dengan kapal Gunung Jati, tapi sudah dengan pesawat besi
pergi berhaji berharap mabrurrahi
Di sana, di kaki-Nya kau bersabda dalam bahasa nurani
melambaikan pinta, menyeru beberapa nama agar berjejak juga di tanah haram-Nya.
Segala pintamu tumpah di sana
Memanggil-manggil dan menyeru kami di atas doa tertinggi, di atas arsy ya Rabbi
Masih membayang masa itu saat Kaki kecil ini menyambut hadirmu,
kembali pulang di kampung halaman
Kain sorban penutup kepalamu melambai indah tertiup angin hutan karet yang tak jauh dari rumah kita
Jubah putih beraroma ihram yang masih melekat di tubuhmu berkibar mengiringi langkahmu
Menuruni tangga-tangga pesawat yang membawamu kembali
Aku menghampiri, tak sabar menanti.
Kau tiup ubun-ubunku dengan rangkaian doa suci dalam pejam mata dan kecup hangat di dahi
Sepenuh pinta dalam syukur yang sarat
Dalam segenap doa tak bersyarat.
Saat ini, baru kumaknai arti doamu di ubun-ubunku kala itu.
Abah, Emak.
Ini adalah ijabah atas doamu
Ini adalah inginku di masa remaja
Mimpi yang kau sematkan kala aroma Baitullah masih melekat di jubah dan gamis putihmu.
Pada igal yang melingkar indah di kepalamu.
Igal hitam yang kau pasangkan di kepalaku ketika qatam Quran di ijab kabulku
Kala kalam illahi masih terdengar sumbang dari mulut-mulut kecil kami
Abah, Emak. Aku rindu tatapmu yang diam
Aku rindu petuah dan amanahmu dulu
Unilah inginmu waktu itu
Mengikuti jejakmu
Memenuhi panggilan-Nya,
Menyempurnakan iman Islam
Lewat lambaian tanganmu di Jabal Rahmah, kau serukan namaku, kau panggil aku dalam rangkaian doa di Multazam
Dan Dia mendengar segala pinta.
Kini saatnya tiba anakmu merangkai pengakuan dosa
Atas segala kilaf dan alpa
Di Baitullah, di antara batu hitam dan pintu Ka’bah-Nya, di antara para insan yang menghiba pinta.
Ini nyata. Bukan mimpi kemaren.
Bukan asa masa remaja dengan pita rambut warn-warni sebagai tanda cinta.
Ini kisah yang diijabah dan pinta yang jadi sempurna
Tanah haram telah menghalalkan jejakku menapakinya,
Menikmati setiap langkah dalam masa yang tak lama
Aku menggesa pinta sekuat daya, setinggi upaya, seberapa bisa.
Harap menggunung, setinggi Jabal Nur, semegah Jabal Rahmah.
Aku mendakinya dengan segenap pinta tak berujung
Dengan segenap pengakuan dosa tak bertepi
Aku luluh lantak dalam derai penyesalan panjang
Dalam isak tangis tertahan meruah dalam sujud diam..
Abah, Emak.
Aku telah bersengaja mengukir rindumu pada dinding baitullah
dinding batu tanpa jendela yang dipuja-puja
Aku menyaksikan senyum merekah di balik qiswahnya
itulah senyummu, Abah
Aku melihat telapak tangan melambai dan mengusap ubun-ubunku
Itulah telapak tanganmu, Emak
Abah, emak. Kabah padaku
begitu dekat dan aku memeluknya dalam rengkuhan rindumu dan tangan-Nya
seperti dulu di waktumu
35 tahun berlalu.
sebagaimana dulu, ketika kau lambaikan jemarimu memanggil-manggil dan menyeru namaku, begitu pula kupanggil dan kuserukan nama-nama buah hatiku
rindu yang sama, ingin dan pinta yang sama,
berharap Dia menjemputnya, menyambutnya suatu ketika, menjadi tamu-Nya, kembali merengkuhnya. Seperti saat dulu.
Seperti saat ini.
Ingin masa ini kembali lagi.
Kembali lagi. lagi dan lagi
Ini adalah doamu
Pinta yang kau gantung di tiang para-para dapur Emak yang legam
Bara api semangat menyatu dalam sisa abu dan arang kayu bakar di atasnya
Doa emak membumbung mengikuti arah asap yang menguap ke celah para-para dan langit-langit rumah kita
Kini untaian doa Emak nyangkut di qiswah-Nya
Kain hitam yang suci surgawi.
Aku menggapainya, menciumnya lewat terpaan angin gurun pasir.
Lewat debu yang menghadirkan flu
Aku menghela napas tersengal di antara tangan-tangan kekar
Di antara jubah melambai-lambai
Di antara sela alunan doa-doa yang dilafaskan para pemuja
Mengitari baitullah berharap jannah
menjalani tawaf wajib dan sunah karena Allah
mengikuti pusaran arus para insan yang tak henti mengumandangkan talbiah.
Labbaik allahumma labaik.
Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah.
Aku kembali membaca rangkaian doa yang kau tulis dalam bahasa arab di buku kecil bersampul hitam.
Buku yang kau selipkan dalam tasku waktu itu
Doa yang juga pernah kau tulis di dinding papan rumah kita.
yang terukir rapi meski tak terbaca mereka.
Katamu, jangan lupa amalkan, dan yakinlah dengan semua pinta.
Petuah itu selalu teraba di detak jantungku.
Kini segala pinta jadi nyata
Segala doa jadi fakta,
Senyummu mengambang di antara jejak-jejak para jemaah dan peziarah
Aku membaca pesan yang kau titipkan di setiap doa mereka
tentang aku, anakmu yang papa
Rindu menggumpal di balik desis zikir dari bibir-bibir kering.
Zam-zam membasahinya.
Meleburkan sisa rindu kita
Abah, Emak..
Ini kisah yang sengaja kutuliskan
syair yang kurangkai untuk kukirimkan padamu.
Ini untaian manis sarat rindu.
Dia akan menyiapkan sepercik cahaya agar kau bisa mengeja pesan yang kutuliskan
Aku meyakininya
Meskipun kau tak lagi bisa membacanya
(Mekkah, 25 Juli 2019)