Negeri Kata-Kata: Cerpen Mohd. Nasir

28

Akhirnya, paham juga aku negeri itu. Sebuah negeri yang diceritakan oleh banyak pencerita. Bukan karena kaya makmur atau tumbuh subur, dan gemah rapahnya loh jinawi. Tidak pula disebabkan oleh keramah-tamahan penduduk dan para pemimpinnya. Tapi karena negeri itu punya nama aneh. Belum pernah nama seperti itu ada di mana pun di dunia.
Negeri itu bernama Negeri Kata-kata.

Ah, benar nih? Tanya orang yang baru pertama kali mendengar nama itu. Aku juga dulu begitu ketika pertama kali orang mendengar cerita. Si pencerita pun akan menjelaskan sejelas-jelasnya. Kadang-kadang sampai urat lehernya terlihat jelas.

“Betul ni, Do?” tanya Dul Karim pada Mak Udo ketika mulai menyebut nama Negeri Kata-Kata itu.

“Dikau pasti baru mendengarnya,” balas Mak Udo pada Dul Karim.

Lelaki setengah baya yang dipanggil Dul Karim itu, mengangguk beberapa kali untuk membenarkan pernyataan Mak Udo

“Negeri itu aneh, Dul. Aneh. Betul-Betul aneh,” Mak Udo mulai bercerita.

“Aneh? Apanya yang aneh, Di?”
Mak Udo ketawa terbahak-bahak. Giginya yang sudah tinggal beberapa batang terlihat jelas. Bisa dihitung ketika mulutnya terbuka. Ya, karena tinggal beberapa batang saja. Itu pun letaknya ada yang tidak tegak lurus lagi

Dul Karim ini ikut pula tertawa. Semakin Mak Udo ketawa, semakin kuat pula ketawa Dul Karim.

Dul Karim ketawa karena melihat gigi Mak Udo yang tinggal dua tiga batang itu. Sedang Mak Udo ketawa karena terbayang lucunya para pemimpin di Negeri Kata-Kata itu.

“Lanjutkan ceritanya, Do!” pinta Dul Karim sambil menahan ketawanya.

“Lucu…” ucap Mak Udo sambil menutup mulutnya untuk menghentikan ketawanya.

“Cepatlah, Do!” pinta Dul Karim sudah tidak sabar.

Mak Udo mendehem tiga kali sebelum memulai ceritanya tentang Negeri Kata-kata. Lelaki setengah baya itu sengaja begitu untuk melapangkan kerongkongannya dari dahak yang menempel di dalam.

“Dengar baik-baik ya,” ucap Mak Udo setelah berhenti mendehem-dehem.

Dul Karim mengangguk seraya menatap mata Mak Udo. Tapi saat melihat mulut Mak Udo terbuka ketika sedang berbicara, Dul Karim tak mampu menahan ketawanya. Bentuk lucu gigi lelaki berkumis tipis itu yang membuat hatinya jadi tergelitik. Rasa mau tumpah ketawanya.

Mak Udo mulai berceita. Sedang Dul Karim mendengarkan cukup serius meski kadang-kadang ia ingin terbahak-bahak juga.

“Begitulah negeri itu,” kata Mak Udo mengakhiri ceritanya. Setelah itu ia terbahak-bahak.

Memang benar. Pas sekali. Tidak salah jika negeri itu disebut Negeri Kata-Kata. Apa yang diceritakan Mak Udo pada Dul Karim beberapa waktu yang lalu memang terbukti.

Aku sudah lama ingin berkunjung ke Negeri Kata-kata. Bukan disebabkan ingin membuktikan kebenaran cerita Mak Udo pada Dul Karim. Tetapi ingin tahu bagaimana rasanya hidup di Negeri Kata-kata.

Di negeri itu kata-kata diberi warna. Diberi rasa. Dibumbui wewangian. Dilukis-lukis seperti pemandangan fatamorgana.

Suatu kali aku mendengar pidato pemimpin negeri itu. Ketika itu sedang musim politik katanya.

Aku kurang paham maksud musim politik, sebab di kampungku yang disebut musim itu biasanya yang berkaitan buah-buahan. Yang paling terkenal adalah musim durian. Musim itu selalu ditunggu kedatangannya.

Musim politik yang dikatakan di Negeri Kata-kata itu nampaknya musim orang merayu. Musim orang membuat janji. Musim orang menyampaikan programnya. Musim orang memberi harapan. Semuanya lewat kata-kata. Melalui kalimat-kalimat. Kata dan kalimatnya indah-indah. Lebih indah dari nyanyian.

Di negeri itu siapa saja yang ingin mencalonkan diri jadi pemimpin harus menyampaikan visi dan misinya. Visi dan misi adalah kata-kata. Adalah kalimat-kalimat.

“Ah, di mana tempat dan negara seperti itu juga,” sanggah Mursidi.

“Betul,” kataku.

Patutlah Mak Udo seakan tak mampu menahan ketawanya bila terbayang Negeri Kata-kata itu. Seperti aku juga saat ini. Belum seminggu berada di negeri ini, bawaan perasaanku ingin ketawa saja. Mau terbahak-bahak sekuat-kuatnya. Rasa ingin diluahkan semua rasa yang menggelitik di hati ini.

Bila kalian ingin tahu bagaimana Negeri Kata-Kata itu, pergilah ke negeri itu. Di mana? Ya, di negeri yang para pemimpinnnya memimpin dengan kata-kata. Membangun dengan kata-kata. Peraturan dan undang-undang dengan kata-kata. Membuat kebijakan-kebijakan dengan kata-kata. Pokoknya semuanya dengan kata-kata.

Kata-kata menjadi segalanya di Negeri Kata-Kata. Ingin tahu di mana Negeri Kata-kata itu? Yuk kita cari…

Bengkalis, 31 Januari 2025

Aktivitas tulis-menulis sudah mulai ditekuni sejak tahun 1986 dengan berbagai bentuk karya di beberapa koran daerah dan pusat dengan nama pena Risan Dhom. Dari tahun 1991 hingga 2007 sering pula mengikuti berbagai lomba dan sayembara menulis. Pernah 7 kali diundang ke Jakarta sebagai pemenang tingkat Pusat dalam Sayembara Penulisan Naskah Buku Bacaan dan Lomba Penulisan Cerpen tingkat Nasional. Hingga saat ini sudah menulis 15 buku dan 23 antologi. Penulis pensiunan pengawas sekolah. Kini dipercaya sebagai Koordinaator PERRUAS wilayah Riau. Bertempat tinggal di Bengkalis.

Berikan Tanggapan

Alamat surel anda tidak akan dipublikasikan