

Bulan Oktober ini, tepatnya 28 Oktober 2025 kita kembali memasuki ‘Bulan Bahasa‘. Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahasa dibuat untuk menyembunyikan pikiran, karena di balik pikiran itu ada sesuatu kepentingan yang harus dipertahankan.
Kata-kata ini dikutip dari Moliere sastrawan Prancis. Ambillah misalnya, kata hegemoni (kekuasaan) yang sepertinya merangkul tetapi kenyataannya membunuh) menginjak-injak tetapi seolah memijati, sang penindas yang berbohong menjadi penolong. Sikap ini mencerminkan paradoks dalam berbahasa.
Eep Saefulloh (2011) pernah menulis tentang sikap orang yang sering berkhianat pada kata. Ia mengambil contoh pamflet patung di Jakarta tertulis dalam baris “tepat waktu adalah cermin kepribadian bangsa“. Namun, ketika dicocokkan dengan jam tangan ternyata terlambat 35 menit. Iklan rokok yang menganjurkan merokok dapat menimbulkan impotensi tetapi sekaligus ia melamar para perokok untuk membeli dan menikmati.
Sikap paradoks ini tetap menjadi kecenderungan orang berbahasa. Selalu kata-kata dikhianati oleh pengucapnya sendiri. Pengkhianatan itu dilakukan seolah tanpa perasaan berdosa dan diulang-ulang sebagai kebiasaan.
Bangsa ini pernah menemukan penggunaan kata-kata sebagai senjata otoritianisme. Pertama, manipulasi dan kedua eufemisme (pelemasan/penghalusan bahasa). Kata-kata dipakai sebagai bagian dari politik kebohongan. Pihak keamanan menenangkan masyarakat dengan statement tidak ada kerusuhan, namun beberapa bulan kemudian terjadi ledakan bom dan kerusuhan. Pengkhianatan pada kata-kata telah menyebarkan sejenis virus yang berbahaya di tengah masyarakat dan menciptakan penyakit sindrom ketidakpercayaan pada kata-kata.
Ketika sejumlah tokoh berkampanye tentang menolak korupsi/katakan tidak untuk korupsi ternyata beberapa tahun kemudian praktik itu muncul dan melibatkan para pelakunya sendiri. Masih contoh lain, ketika orang dibuat pusing dengan kenaikan harga terus-menerus, pejabat bukannya melakukan stabilisasi harga melainkan menghapus kata ‘kenaikan harga‘ dengan ‘penyesuaian harga’. Sikap ketidakpercayaan ini menanggapi sebagian besar masyarakat terlebih-lebih jika ia mewakili institusi formal.
Soal ini telah diberi reaksi oleh sebuah media Jakarta; untuk mengeluarkan bangsa ini dari ketidak percayaan pada kata-kata diperlukan suatu gerakan membangun sistem politik kredibel, responsif, dan kompeten dengan aparatur yang berkarakter.
Pada musim kampanye (pemilihan beberapa bupati) yang melanda beberapa daerah di Indonesia. Banyak pertimbangan yang diberikan dan pendapat disampaikan oleh para kolumnis dan pengamat politik agar jangan membeli kucing dalam karung. Rakyat berhak tahu dulu isi kepala dan menakar dulu janji seorang calon pemimpin sebelum memutuskan pilihannya. Pemimpin tidak berhak meminta cek kosong dari rakyat. Siapakah sebenarnya rakyat?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) rakyat; 1. Penduduk suatu negara, 2. Orang kebanyakan; orang biasa, 3. Pasukan balatentara; anak buah; bawahan. Dalam KBBI perkataan rakyat mengacu kepada rakyat kecil, tidak ada rakyat besar. Kata ini hanya berpadanan mesra dengan kata kecil; rakyat biasa; rakyat jelata. Istilah kedaulatan rakyat atau suara rakyat adalah suara Tuhan tidak terdapat dalam kamus bahasa Indonesia. Namun pada musim Pemilu pasti kata rakyat dicari, ditemui, dan dikejar dalam ladang perburuan untuk mengumpulkan ‘suara rakyat‘ tadi.
Kembali kepada kata-kata yang menjadi alat eufemisme dan manipulasi bukan terjadi di kalangan elit birokrasi saja tetapi juga di tingkat elit politik. Bahasa dalam posisinya sebagai alat komunikasi dipakai sebagai penghujat oleh politisi untuk memojokkan lawan politik dan menyalahkan orde kekuasaan.
Dalam hidup bernegara birokratisasi bahasa terjadi di mana-mana termasuk bahasa formal dan taklimat resmi yang disampaikan ke khalayak. Dalam hal ini diperlukan kecerdasan wartawan untuk membahasakannya kembali, menafsirkan kembali dan bukan serta-merta merekam bahasa birokratisasi yang penuh basa-basi itu.
Bahasa harus diubah kembali fungsinya sehingga menjadi termometer bagi masyarakat. Bahasa diharapkan sebagai alat ekspresi yang jujur dari satu komunitas bahasa. Sebagai alat birokrasi sebenarnya bahasa memiliki tujuan menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan kebijakan. Namun, di pihak lain bahasa birokratisasi menjadi alat memisahkan masyarakat dari proses politik. Politisasi yang berjalan sepanjang Orde Baru dengan politisi menyebabkan para birokrat menempatkan dirinya sebagai politisi.
Akhirnya banyak jabatan birokrat dipolitisasi. Bagaimana bahasa dipakai di masa Orde Baru dan juga Orde Reformasi untuk menghujat masa lampau, bagaimana bahasa dipakai untuk menghujat orang yang tidak disetujui, dan bagamana para politisi naik kariernya bukan karena kedekatan dengan rakyat, melainkan karena kepandaiannya bersilat lidah.
Sebagai penutup, kita mengajak para pengguna bahasa Indonesia untuk membersihkan kerancuan dan manipulasi kata-kata dari lautan dan perairan bahasa Indonesia secara jernih, jujur dan santun.***
*Penulis dosen dan sastrawan tinggal di Medan